Batikk.. Saya penikmat batik. Itu sebabnya menyenangkan sekali bisa ke Museum Batik dan Pusat Batik di Pekalongan. Pernah bela-belain ke pameran perangko untuk.. beli perangko batik hehehe. Saya tidak pernah main-main dengan batik. Ada ide dan tenaga besar yang ditumpahkan untuk menghasilkan selembar batik. Itu sebabnya saya tidak pernah menawar batik (ini soal batik tulis loh ya). Saya paling cuma meratap perih ketika batik tulis tersebut menjadi sebuah gaun cantik ide saya sendiri tercebur ke mesin cuci atau kekecilan *perihnya tuh di sini*.
Museum Batik Pekalongan sekilas pandang mengingatkan saya dengan Museum Tekstil Tanah Abang. Bangunan tua dan deretan kain tradisional. Cuma bedanya di Museum Batik koleksi lebih banyak. Sama-sama menawarkan kelas membatik. Saya membayangkan selama liburan sekolah atau lebaran, anak-anak bisa berlibur ke Museum Batik Pekalongan. Anak-anak bisa belajar tentang apa itu membatik dan belajar sejarah secara nyata daripada cuma sekedar menghapal dari buku usang. Liburan tidak melulu ke kolam renang kan ? kan ? kan ?
Deretan batik yang menjadi koleksi tertata dengan apik dengan beragam corak sesuai daerah asalnya. Saya sejujurnya tidak begitu hapal motif batik yang ada. Pekalongan sebagai pusat perdagangan batik memiliki motifnya sendiri yaitu Buketan dan Jlamprang. total ada 1200 koleksi batik di sini jadi agak keder juga untuk menyebutkannya satu per satu.
Museum Batik Pekalongan sendiri terletak di seberang Kantor Pos Lama Pekalongan. Bangunan kuno ini dulunya adalah Kantor Administrasi Pabrik Gula (1906), sempat menjadi balaikota lalu kemudian menjadi Museum Batik. Tujuan Museum Batik ini tentu saja menjadi pusat riset batik yang mana beberapa motif telah menjadi langka.
Setelah dari Museum Batik Pekalongan tentu saja perjalanan dilanjutkan ke Kampung Batik Pesindon. Kami berkunjung ke Larissa Gallery and Workshop. Larissa dikelola oleh Pak Eddy Wan. Pak Eddy Wan kuliah di Administasi Negara Universitas Diponegoro. Selama kuliah Pak Eddy Wan memang sudah berjualan batik. Di tahun 1980 Larissa dimulai dari berjualan batik sampai kemudian memproduksi batik sendiri di tahun 90. Pak Eddy Wan sangat sadar dengan hak cipta sehingga semua produksi Larissa sudah dipatenkan. Mengingat saat ini persaingan batik semakin ketat bukan dari antar kota produksi batik seperti Solo, Jogja atau Sumenep tapi dari Cina. Pengrajin batik sendiri sudah semakin langka karena tidak banyak generasi muda yang mau membatik sekalipun di Pekalongan batik sudah dimasukkan dalam kurikulum SD sampai SMA dan SMK. Para pengrajin ini ada yang dibayar bulanan, sesuai proyek, harian, ataupun mingguan. Saat ini produksi mengalami penurunan sehingga suasana workshop terbilang sepi. Oh iya Larissa sendiri juga sudah menerapkan instalasi pengelolaan air limbah sehingga lingkungan sekitar tetap sehat.
Famtrip yang seru ya Mbak. Kain-kain batik yang dipajang dalam foto, sungguh bikin ngiler 🙂
kita rampok aja apa ? #eeaa