Pembaruan di tahun 2016:
November 2015, para tetangga saya tinggal di pinggir rel diberi waktu 1 minggu untuk pindah termasuk keluarga Siomay Arman. Setelah penggusuran tersebut papa Arman berhasil membuka cabang baru di Jl. Ridwan Rais menumpang Tambal Ban Batak . Lokasi siomay tidak jauh dari sekolah Muhammadiyah – Lapangan Hawai. Hehe. Memang namanya aneh Lapangan Hawai tapi percayalah semua orang tahu lapangan hawai. Mengapa namanya Lapangan Hawai? karena lapangannya luas sekali dengan banyak pohon palem raja besar seperti di Hawai. Yah kami sih belum pernah ke Hawaii tapi sepertinya miriplah dengan film-film yang kami tonton. Oh ya Siomay Arman ini sendiri juga bisa ditemukan di pintu Masuk Motor UI Jalan Palakali dan Gunadarma Kelapa Dua

Hore akhirnya melanjutkan tulisan seputar #PinggirPasar yang sudah pernah beberapa kali tayang dalam bentuk perenungan hidup, cerita kucing jalanan di sini, dan pamer lapak. Latar belakang saya menulis soal #PinggirPasar ini sederhana. Saya dulu tinggal di Pasar Minggu tapi tidak di pinggir pasarnya. Saya tinggal di komplek perumahan yang nyaris homogen dan monoton. Saya tidak merasa jenuh dengan kondisi tersebut. Nyaman malah karena sebenarnya saya menikmati hidup yang penuh keteraturan dan terjadwal.
Lalu datanglah suatu masa sok kepahlawanan saya mendukung Ramot untuk buka lapak (alias wirausaha). Jungkir balik tiada henti sampai saya sekarang berada di pinggir pasar Kemiri Muka. Pasar Kemiri Muka hanya berjarak 100 meter dari tempat saya membuka lapak dan berteduh. Jalan Kedondong yang mungil menjadi perlintasan truk besar pengangkut ayam dan kelapa. Bahkan tetangga saya membuka toko kelontong sebagai toko cabang dari milik pamannya di Pasar. Pasar Kemiri Muka sendiri berdiri tanpa plang megah. Persis seperti Pasar Minggu di tahun 90an. Amburadul dan jorok. Namun kali ini saya berdekatan dengan mereka. Tidak lagi terbatasi tembok rumah tempat tinggal. Tetangga saya semuanya pedagang karena hanya itu yang bisa mereka lakukan. Mereka semua ingin menjadi pegawai untuk sebuah kepastian masa depan. Namun toh nasib menentukan berbeda. Mereka berdagang tahu, siomay, kelapa, toko kelontong, nasi goreng, barang bekas, dandang, ikan dan seterusnya. Beberapa dari mereka sudah naik haji tanpa perlu menjadi tukang bubur. Beberapa pula terlibat cinta segitiga sampai akhirnya usaha berhenti..

Daya beli orang di sini memang terbatas. Mahal ga laku. Beda 500 rupiah orang ganti warung. Namun mereka tetap tahu mana makanan enak. Mereka suka makan atau mungkin tepatnya jajan. Salah satunya siomay. Harga siomay ini diberandol 1000 rupiah per buah. Dikenal dengan nama Siomay Arman. Jika dulu dia membuka gerobak siomay sendiri, saat ini pasangan suami istri ini sudah fokus ke produksi saja alias sudah ada penjual yang datang dengan sepeda motor untuk mengambil siomay dan batagor. Siomay Mama Arman dijual di pintu keluar Kukusan UI dan di Gunadarma Kelapa Dua. Sedangkan saudara ipar Mama Arman mangkal di Stasiun Pondok Cina. Biasanya pelanggan setia ya mahasiswa dan pengguna kereta. Yang jelas siomay ini enak. Memang belum menyamai siomay langganan masa kecil saya tapi rasanya juga tidak menyesatkan seperti siomay yang dijual dengan sepeda keliling di sekitar UI. Bumbu tidak enak dan siomay lebih banyak kanji. Saya kapok mencret urusan siomay Depok sampai akhirnya saya kenal dengan tetangga saya penjual siomay ini. Pabrik produksi siomay sekaligus tempat tinggal mereka hanyalah sebuah bangunan dari seng di pinggir rel tapi semua tertata rapi dan bersih. Bisa dibeli jam 8.30 sebelum siomay tersebut diangkut para bapak penjual. Untuk cerita makanan lain di #PinggirPasar ada di sini
2 pemikiran pada “Catatan #PinggirPasar : Siomay Arman”