Beberapa minggu ini saya sulit untuk berbahagia. Okelah, memang secara umum orang awam mengenal saya sebagai orang yang getir dan nyinyir.. Namun beberapa minggu ini saya menjadi apa-adanya-saya. Gelap dan getir.
Banyak yang menjadi penyebabnya. Keputusasaan saya mengurus kucing-kucing yang terserang flu dan saat ini mati satu per satu (ketika saya menulis ini, erangan anak kucing yang meregang nyawa menjadi latar belakang suara..), anjing yang belum bisa saya latih untuk diam, target waktu untuk punya anak, dan jenuh melihat usaha yang sepi.
Saya seperti biasa memposisikan diri ya-udah-jalanin-aja. Kucing dan anjing yang belum teradopsi ya diurus saja semampunya, perihal punya anak saya abaikan karena memang saya tidak peduli soal itu (entahlah saya paling benci jika ada target waktu dalam hal nikah dan punya anak. 2014 akhirnya menikah itu 100% karena iman pasangan saya saja, saya sendiri cuma duduk-duduk tidak peduli), usaha yang sepi ini saya cuma punya 1 pengharapan, ‘tepat pada waktunya, akan ketemu hikmah dari semua usaha keciprak cipruk ini‘.
Saya mungkin dalam suasana haru biru yang terus menggelayut, tapi sebagai setelan robot saya terus mengerjakan rutinitas saya tanpa ampun. Sempat minggu lalu karena satu kritikan dari partner saya akhirnya menangis tersedu-sedu di taman. Saya tahu ini bukan karena kritikannya saja tapi lebih karena segala keputusasaan bercampur di dalamnya. Saya lelah dan saya tidak tertarik untuk memberikan senyuman. Sebagai pelipur lara, saya mendengarkan album natal Bubble dan belajar make up sambil menunggu jualan bensin. Selesai jualan bensin jam 10 malam, menutup gerbang, memastikan ruangan cukup bersih, membersihkan make up lalu tidur.
Saya berhenti memikirkan liburan, saya berhenti memikirkan impian. Cukup hidup hari lepas hari dengan hidup sehat sambil sesekali menata taman.
Satu pemikiran pada “Karena Perih, Saya Menulis”