Sepertinya hampir dua tahun saya tidak menyambangi Soto Ngawi yang ada di seberang Gunadarma Margonda. Dulu ketika saya masih tinggal di salah satu ruko Margonda dengan suhu harian mencapai 33-35 derajat Celcius, Soto Ngawi sering saya kunjungi sebelum berangkat mengajar di ITC Depok.
Kemudian 2013 saya pindah ke tempat yang lebih kecil karena keterbatasan dana dan berpetualang dalam kisah #PinggirPasar. Di masa ini saya tidak pernah ke Soto Ngawi karena perputaran hidup saya bergeser di sekitaran Kelurahan Kemiri Muka plus saya sudah tidak memiliki motor jadi susah untuk pergi ke sekitar Kelurahan Pondok Cina. *yak begitulah kira-kira hidup di Depok tanpa ojek aplikasi, satu kecamatan aja belum bisa tersentuh sebulan sekali*
Sekalipun hidup di #PinggirPasar, setiap kali melintas saya selalu memperhatikan Soto Ngawi ini. Saya memperhatikan bagaimana mereka renovasi, tetangga mereka berubah setiap waktu dan masih banyak dinamika perubahan di Jalan Margonda. Soto Ngawi dimiliki dan dikelola oleh keluarga: ayah, ibu dan ketiga (?) anak perempuannya. Soto Ngawi sampai saat ini berhasil melalui tahun demi tahun bertahan hidup di Margonda. Percayalah, kalau pernah hidup di Margonda, pasti tahu Margonda adalah jalan pertumpahan darah, uang dan keringat. Zoe yang awalnya berkonsep kafe buku ketika saya menjelang lulus kuliah di tahun 2005 ternyata masih bisa bertahan sampai sekarang. Burger and Grill yang sempat mencoba variasi shabu-shabu dan barber retro yang sedang trend ternyata tutup di akhir April 2016.
Soto Ngawi sendiri sebenarnya cukup populer dengan mbak kasir yang jutek haha mengingatkan saya dengan Warung Gembira. Namun termaafkan dengan rentang pilihan menu yang beragam dan rasa yang enak.
Saya ingat di satu hari antara 2012-2013, saya bertemu teman SMA yang sebenarnya sudah saya kenal sejak SMP (udah iyain aja sik). Menurutnya, dia sudah sering makan ke sini ketika dia berkuliah di Gunadarma. Makk itu artinya di era tahun 2002-an (ketahuan deh angkatan kuliahnya..). Saya di masa kuliah tentu tidak berani mencoba makan di rumah makan seperti itu. Keseharian saya makan sendirian di warteg Barel (karena ketika itu semua teman saya makan di kantin, sementara itu di luar budget saya). Mencukupkan diri dengan uang Rp. 4000 untuk beli nasi 1/2, sayur, dua tempe goreng, sambal plus air es *ulangi setiap hari*. Saya ingat dulu ketika diajak teman makan di Rumah Makan Berkat yang legendaris itu saya keringat dingin karena takut uang tidak cukup. Sepanjang kuliah saya hanya 1 kali makan di Berkat dan beberapa kali makan di kantin karena kepepet waktu.
Saya akhirnya mencoba Soto Ngawi setelah saya punya penghasilan sendiri. Pertama kali mencoba saya sampai bengong. Koq enak banget ya? Saya suka tongseng. Saya sudah coba rupa-rupa tongseng di sepanjang jalan Margonda dan di kolong Pasar Kemiri Muka. Selain Soto Ngawi, tongseng juga ada di Warung Betawi Tulen yang ada persis di sebelah Ace Hardware. Namun saya paling suka tongseng di Soto Ngawi. Kuahnya keruh karena ada santan, palanya terasa, manisnya pas, dan yang paling suka : kambingnya tidak berkhianat. Saya tidak makan lemak, jadi saya paling jengkel kalau harus makan tongseng dengan banyak lemak. Oh ya standar uji saya tongseng itu daging kambing ya. Bukan sapi apalagi ayam. Dagingnya lunak dan cabe rawit yang dibiarkan utuh membuat kita bisa mengatur mau sepedas apa tongseng yang kita makan. Dulu ketika tinggal di Margonda, saya suka merayakan pindahan dengan makan tongseng tanpa nasi, sate kambing, perkedel kentang dan es sop durian. *pantesan sekarang kegemukan yakkk*
Oh ya es sop duriannya jauh lebih enak daripada sop durian yang ada di dekat lampu merah Arief Rahman Hakim apalagi Lodaya. Memang sop durian di pertigaan Arief Rahman Hakim – Margonda yang pertama ada di Depok baru kemudian Soto Ngawi juga membuat, tapi sebenarnya jauh lebih berasa di Soto Ngawi. Sumpahlah sop durian di Soto Ngawi adalah candu: durian, susu, mutiara, keju. Bayangkan anda hidup di dalam ruko tanpa AC di Margonda lalu minum es seperti itu.. surga dunia..Jika datang dengan partner, kami memilih untuk pesan sendiri-sendiri demi menghindari ketegangan cuma karena sup durian *karena ketegangan seharusnya karena hal lain* #mulaik
Nah menurut partner, dia mulai makan di Soto Ngawi sejak bekerja di UI. Kerja ya bukan kuliah. Jaman kuliah dia lebih melarat daripada saya *anaknya ga mau kalah ya bro*. Nah dia setia banget dengan sop iga. Lucu ya kami berdua justru ga terlalu memuja soto ngawinya sendiri. Padahal kalau masuk ke rumah makan ini, bakul soto masih ada terpampang gagah. Memang persis seperti bakul soto di kampung halaman saya di Pare. Sebenarnya masih banyak menu yang enak dan yang membuat saya bolak balik ke Soto Ngawi kaya pengamen jalanan. Omelette, ayam rica-rica, sate adalah beberapa di antaranya. Ayam rica-rica itu pedesnya ga karuan tapi saya suka tergoda pesan lalu over ke partner karena tidak sanggup menghabiskan dan kemudian menenggak es teh manis sebanyak-banyaknya.
Oh ya, selain makanannya yang enak, bapak pemilik Soto Ngawi berjasa dalam memberikan pencerahan lagu jawa dengan irama bosanova. Iya cita-cita mulia saya adalah jadi penyanyi keroncong di warung sendiri. Saya sampai beli CD Bosanova ini. Memang di warung ini alunan lagu selera saya rutin mengalun dengan manis. Saya pernah protes koq tidak ada lagu ketika salon mereka rusak ((salon)) ((ndeso))
Apakah ada kemungkinan saya menyukai Soto Ngawi lebih karena banyak kenangan sentimentil di sini? Ya kalau iya memang kenapa? Coba dulu gih ke Soto Ngawi baru kemudian boleh ikut komentar di bawah ehehehehehe.
Tampilanya enak saya yakin rasanya pasti mak nyuzz 🙂 nice inpo
samasama
baru tau ada resto ini selama 4 tahun di depok. dulunya sebelah sevel kan ya ini?
bukan. dia persis seberang Gundar Margonda. Sebelahnya udah gonta ganti. yg jelas sih ada toko listrik-kantor notaris-warung soto ngawi-canon billiard