Ternyata hikmah tinggal di #PinggirPasar selama dua tahun membuat saya belajar banyak hal termasuk bahasa. Ketika teman bertanya kepada saya bagaimana mengajar bahasa Inggris kepada anak usia 5.5 tahun, baru saya sadari ternyata saya belum pernah menulis artikel soal itu. Hanya tersusun rapi di perenungan dan tidak pernah tertuliskan.
Saya memutuskan menulis di sini, bukan berkepanjangan menulis di whatsapp group karena dengan begitu semua catatan saya tercatat untuk sewaktu-waktu diperbaiki ataupun diperbaharui. Tadinya saya mau langsung menulis langkah-langkah yang saya lakukan kepada Puji, murid TK saya yang tersisa (yang lainnya pindah tercerai berai sejak gubuk mereka digusur) namun mari belajar sebentar dari pedagang pasar Kemiri Muka dan masa lalu saya.
Seperti kita ketahui bersama (ini kenapa jadi kayak pembukaan surat pemberitahuan Pak RT sik), Pasar Kemiri Muka menjadi denyut kehidupan Margonda dan sekitarnya. Rasanya kelewat muluk jika saya bilang Pasar Kemiri Muka menjadi denyut kehidupan kota Depok, bagaimana perasaan pasar-pasar lainnya seperti Pasar Agung atau Pasar Segar yang sunyi? Saya berani menebak bahwa 80% penghuni Pasar Kemiri Muka dan pinggirannya (emang lu pikir martabak..) adalah pendatang. Suruh buka dompet masing-masing, akan anda bisa melihat penghuni datang dari berbagai penjuru daerah. Jawa Barat dan Jawa Tengah masih mendominasi tapi tidak menutup mata ada pendatang dari Aceh, Minang, dan yang selalu jago rantau… Madura.
PEDAGANG dan Anak-anaknya
Penikmat blog ini tahu bagaimana saya bersahabat baik dengan Sabri yang notabene seorang Muslim dari Aceh tapi mendukung saya pelihara Goofy *lirik sadis ke tetangga yang pernah mencoba menculik Goofy untuk laponya* Nah tipikal saya, kalau akrab sama satu orang, saya seringkali akrab juga dengan keluarga besarnya. Ada hal menarik (yang sebenarnya wajar terjadi di kalangan pendatang) adalah bagaimana mereka konsisten berbahasa Aceh (maafkan saya tidak bisa membedakan aksen yang bermacam-macam di Aceh) kepada anak-anak mereka (usia balita sampai SD) sekalipun anak-anak ini lahir di Depok.
Apakah ada kesepakatan bahwa sang ayah yang harus terus menerus berbahasa daerah dan si ibu yang berbahasa Indonesia? Ndak sama sekali. Semua sama-sama berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia kepada anak-anak mereka. Bagian ini yang menyadarkan saya. Selama ini saya punya idealisme bahwa salah satu orang tua konsisten menggunakan satu bahasa supaya anak tidak bingung dalam bahasa kedua (entah itu Inggris atau bahasa daerah). Ternyata para pedagang yang tidak peduli dengan pedagogi atau teori berbahasa, pede aja mengajari anak-anaknya berbahasa daerah karena mereka yakin menguasai bahasa yang mereka ajarkan.
Staf saya berasal dari Kabupaten Purbalingga dengan keunggulan bahasa Jawa..NGAPAK. Namun dia tidak merasa rendah diri dengan bahasa Jawa Ngapak yang sering menjadi bulan-bulanan di layar kaca. Anak pertamanya yang saat ini sudah berusia 20 tahun berbahasa Jawa Ngapak, sementara anak terkecilnya, si Puji, yang baru berusia 5.5 tahun baru sebatas mengerti belum bisa menjawab dalam bahasa Jawa. Apakah itu membuat Bu Yati dan Pak Yanto berhenti berbahasa Jawa Ngapak kepada Puji? Mereka terus saja bicara dan Puji konsisten menjawab dalam bahasa Indonesia. Apakah orang tua Puji frustasi? Tidak sama sekali. Oh ya, Bu Yati dan Pak Yanto pernah tinggal 5 tahun di Bandung, sehingga selain Jawa Ngapak, mereka juga berbahasa Sunda kepada Lukman (kakak Puji). Lukman di usia 20 tahunnya lancar berbahasa Jawa Ngapak, Sunda, dan Indonesia. Tidak ada tepuk tangan dari orang tua muda masa kini karena bahasa tersebut bukan bahasa internasyonel yang bisa menaklukan dunia (baca: di masa depan anak bisa punya karir prima).
Nah terus apa yang bisa dipelajari dari Sabri dan Keluarga Pak Yanto?
-
Percaya diri dengan bahasa yang ingin anda ajarkan ke anak anda. Apakah itu bahasa Batak mar pasir-pasir atau bahasa Jawa yang medok. Bicara saja.
-
Selesaikan dalam satu kalimat. Ingat buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kalau anda PEDE dengan bahasa yang ingin anda ajarkan, anda dapat menyelesaikan dalam satu kalimat utuh. Bukan bahasa yang dicampur-campur ala sosialita gagal populer. Kalau anda mencampur atas nama yang-penting-sedikit-sedikit-dikenalkan-bahasa-Inggris, anda hanya mengajarkan anak anda untuk tidak ajeg pada satu bahasa
Uniknya, pedagang-pedagang itu menerapkan aturan nomor dua begitu saja. Mengapa mereka tidak mencampur bahasa daerah dan bahasa Indonesia dalam satu kalimat? Karena mereka percaya diri sekali bahwa mereka bisa berbahasa tersebut secara membabi buta lebih dari satu kalimat plus mereka tidak melihat bahasa satu lebih keren dibanding bahasa lain 🙂
NOSTALGIA
Bicara, bicara, bicara. Itu terpaan yang saya alami. Saya hidup 28 tahun di Pasar Minggu dan saya menguasai bahasa Jawa dengan aksen Jawa Timuran bukan pesisir (nah loh bingung deh lu). Kehalusan saya berbicara Jawa sering membuat orang berpikir saya berasal dari Solo atau Jogja. Tunggu sampai saya sumpah serapah, orang langsung tahu saya berasal dari Jawa Timur. Apakah saya ujug-ujug bisa berbahasa Jawa? Tentu tidak. Saya baru percaya diri berbahasa Jawa setelah saya angkat kaki dari Pasar Minggu alias 5 tahun yang lalu. Hidup sendiri di Depok, kadang saya memperoleh masalah lebih cepat selesai ketika saya berbahasa Jawa dengan beberapa rekan kerja (baca: tukang bangunan, tukang ayam langganan, tukang jamu, dsb dst).
Dulu ketika saya hidup di Pasar Minggu, saya merasa belum percaya diri untuk menyahuti ibu saya yang selalu berbahasa Jawa kepada saya karena saya tidak bisa bahasa Jawa kromo inggil. Akhirnya saya berbahasa Jawa pasif. Di Depok? Hahaha pedagang gitu loh, mereka dengan penuh toleransi membiarkan saya berbahasa Jawa ngoko.
Bagaimana dengan bahasa Inggris saya sendiri? Saya akhirnya lancar berbahasa Inggris setelah bapak saya meninggal. Sumber penghidupan dari kost-kostan yang baru dibuat, saya berusaha sekali bisa dipahami dan memahami bahasa Inggris dengan aksen Australia (nyaho pisan) demi rupiah yang bisa membuat saya lanjut kuliah (walaupun akhirnya membuat surat keterangan miskin juga karena memang tidak bisa bayar).
Ibu Glenda, orang pertama yang ngekost di tempat kami, berjasa banyak melatih dan mendorong saya maju dalam bahasa Inggris. Ini kejadian tahun 2004 alias baru 12 tahun yang lalu alias 1,5 tahun sebelum kuliah saya selesai. Artinya? Bahasa Inggris saya di LIA tiada gunanya plus 2,5 tahun di awal kuliah saya sebenarnya lebih banyak berjuang mengerti buku diktat saya. Bandingkan dengan partner saya yang di masa mudanya belajar bahasa Inggris lebih banyak dari permainan elektroniknya tanpa pernah belajar bahasa Inggris secara akademis. Ironis? Bodo amat.
Ibu Glenda TIDAK PERNAH :
-
Jadi grammar nazi
-
menertawakan cara bicara Inggris saya
Ini yang saya pegang teguh bahkan ketika akhirnya saya menjadi guru bahasa Inggris. Intinya kan bahasa ada di mahluk hidup bernalar untuk saling memahami. Saya tidak melihat ada manfaatnya menjadi orang yang sangat detil memperbaiki kesalahan pengucapan ataupun penulisan orang lain.
Saya ingat sekali Ibu Glenda meminjamkan buku White Thorne kepada saya. Novel itu tebal amit-amit jabang bayi tapi saya tidak mau mengecewakan beliau. Saya berjuang membacanya tanpa bantuan dari Google Translate (ketika itu Google Translate belum sakti seperti sekarang), hanya dengan kamus saku Oxford yang lagi-lagi pemberian beliau. Usia berapakah saya baru bisa percaya diri membaca buku bahasa Inggris dengan lancar? Dua tahun kemudian, 2006, ketika saya mulai bekerja di sebuah sekolah internasional.
Saya bersyukur perjalanan hidup saya yang celap celup berbagai profesi memang memperkaya keahlian saya untuk mengajarkan bahasa Inggris. Jadi saya tahu racikan yang tepat setelah coba ini itu.
HUBUNGANNYA DENGAN MENGAJARKAN BAHASA ASING?
Ya dimulai dengan bicara. Kemudian saya juga dengan BERNYANYI. Untuk Puji yang notabene baca bahasa Indonesia belum lancar, saya selalu suka menggunakan media lagu. Pilihan lagu saya ambil dari Youtube karena disertai gambar. Kalau disuruh membuat daftar lagu saya memilih lagu dari SuperSimpleSong yaitu:
- Head-Shoulder-Knee (saya mengajarkan versi pelan, lalu cepat, sampai paling cepat yang dinyanyikan oleh seekor gajah)
- Make a Circle (ini juga kami lakukan bersama jadi Puji dapat ide mengenai ‘BIG’ ‘SMALL’ dst)
- Walking in the Jungle (ini juga diterapkan bersama)
Pilihan lagu berikutnya berkembang cuma karena memang ada target agar Puji bisa setidaknya cukup bisa membaca dan menulis plus saya juga ingin Puji mengenal lagu anak-anak dari Indonesia, saat ini hanya seminggu sekali Puji bernyanyi dalam bahasa Inggris.
Trus langkah berikutnya apa? Saya tidak akan mengambil langkah lebih jauh sebelum Puji ataupun anak didik saya lancar membaca dalam bahasa Indonesia karena hanya akan menambah bingung anak.
KALAU UDAH BISA BACA?
Kalau anak sudah bisa membaca, saya akan masuk ke metode membaca yang saya dulu pernah gunakan: Phonemic Awareness tandem dengan buku Fitzroy (kebetulan saya mendapat satu set dari salah satu orang tua murid les saya yang mirip dengan ini. Saya akan pakai nanti.. kalau sudah punya anak didiknya).
Gimana sudah coba googling soal Phonemic Awareness? Siwer? Hehehe. Okelah coba strategi yang dilakukan Rumah Inspirasi dengan Reading Eggs nya. Silakan ditanyakan ke Mas Aar atau Mbak Mira apakah diskon masih berlaku 🙂