Nak Millenials Pola Pikir Kolonial

Tulisan ini cuma asal-asalan diketik dari ponsel sambil menunggu orderan kotak kudapan Mayestyk. Intinya adalah Generasi Millenials yang terus menerus dijadikan topik artikel bisa jadi tidak sebombastis itu.

Okelah generasi ini adalah yang mengalami transisi analog ke digital. Dari muterin pita kaset kusut pakai pensil menjadi pendengar Spotify (sekalipun sebenarnya masih banyak budget terbatas dan memilih unduh mp3 bajakan).

Mungkin ada pergeseran dari kebutuhan pengeluaran sandang, pangan, papan jadi sandang, pangan, papan, liburan. Namun kalau anda melihat di Indonesia bukan cuma kaum menengah ngehe Jakarta maka kaum rentang Millenial ini masih persis tidak beda jauh dengan generasi sebelumnya :

  • Ketakutan terhadap uang digital apalagi kartu kredit. Pembayaran masih saja antri di ATM. Mobile banking tak ada, internet banking gagap, kartu kredit takut. Mereka sama saja seperti generasi orang tua mereka yang melihat bahwa mereka adalah mahluk hidup pakai otak yang tidak cukup bernalar mengatur keuangan
  • Mungkin mereka punya ponsel yang paling canggih tapi seperti generasi tua, mereka masih gagal bersikap kritis terhadap ‘info dari grup sebelah’ Salahkan pendidikan Indonesia yang masih gagal move on dari pendidikan kolonial : hapalan & kepatuhan.
  • Tentu efek selanjutnya adalah ketidaksadaran diri bahwa mereka dibesarkan oleh keluarga dan budaya pendidikan yang mempersiapkan mereka jadi pegawai tanpa perlu mempertanyakan hidup. Jadi ketika trend menjadi wiraswasta (atau bahasa kerennya Milenial : entrepeneur; sungkan kali mereka pakai Bahasa Indonesia dengan alasan Bahasa Indonesia tidak bisa menjelaskan dengan pas), di bayangan mereka cuma seputar bikin sesuatu (yang cenderung latah) lalu berharap investor mendanai. Padahal kalau saya mau kejam, dunia itu kejam dik. Indonesia ini memang memberikan kesempatan seluas-luasnya naik derajat. Dari anak sopir jadi bos misalnya. Namun banyak juga bisa terlihat sukses karena orang tua mereka sudah kaya lebih dulu jadi paparan keberhasilan mereka lebih cepat dijadikan terkenal oleh media. Koq gitu? Kan sebenarnya Indonesia tidak pernah jauh dari era Kolonial. Lebih banyak saja raja penjajahnya sekarang ini.
  • Jadi wajar ya kalau pendidikan sebatas mencipta hapalan dan kepatuhan, ujung2nya yaa cita-cita Milenial berharap dapat pekerjaan pasti syukur-syukur jadi pegawai negeri. Ga lebih. GA RIBET. Yang penting masuk surga coy.
  • Yang paling saya sebal efek pendidikan ini adalah mereka benar-benar menjalani kehidupan feodal yang tak pudar begitu saja. Contohnya? kegiatan Asal-Bapak-Senang atau baru kerja setelah ada bos pasang mata elang siap mencabik-cabik. Masalahnya perilaku seperti itu super usang dan saya heran perilaku abad 20 masih dibawa di abad 21. Ga ngaca sama umur..

-tulisan ini akan bersambung ya. Silakan tulis komentar dari berbagai arah. Pasti saya akan tambah dan rapikan setelah pekerjaan printilan demi mendukung suami menjalani kehidupan wiraswastanya-

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s