Liburan Murah ke Penang

Perjalanan ke Penang ini sebenarnya di luar rencana. Kebetulan ada promo tiket Jakarta Penang dari Memos Travel (IG @bigsaleairasia) sebesar Rp.750.000 pp ya sambar aja. Tiket baru dibeli 2 minggu sebelum keberangkatan jadi memang benar-benar tanpa rencana. Karena kami sama-sama sibuk, susunan acara di Penang ya tidak dipersiapkan secara khusus. Barang saja beberapa kali terlewat untuk dimasukkan ke koper.

Lukisan di Hotel I Stay

Selain tiket, pengeluaran yang kami siapkan adalah untuk penginapan. Kami menginap di I Stay selama tiga hari dan mengeluarkan biaya Rp.921.124. Untuk kamar yang nyaman, bersih, dan colokan segala rupa ada, rasanya senang sekali bisa menginap di sini. Tentu saja alasan sentimentil juga karena saya sangat suka bangunan kuno. Ketika ke Singapura pun saya juga memilih penginapan di daerah yang banyak bangunan tua karena hobi saya tersebut. Maklum usia millenial tapi jiwa terjebak masa kolonial.

rupa sudut kota Penang

Hari Pertama: Jelajah Mural

Begitu mendarat di Penang, kami mengunjungi lokasi wisata yang dekat penginapan saja. Targetnya untuk melihat lukisan mural dan lagi-lagi bangunan lama di Penang. Georgetown Unesco Heritage Site akan mengingatkan kita dengan Kota Tua Jakarta sebenarnya. Cuma jauh lebih rapi, lebih jelas kisah sejarahnya dan sekalipun ramai, kita masih bisa melihat bangunannya dibanding warung tendanya.

Di situ saya juga jadi paham mengapa lukisan mural di Penang menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan dibanding lukisan mural di sepanjang jalan raya Juanda Depok. Bukan berarti lukisan mural di Juanda Depok jelek loh ya. Banyak yang bagus. Cuma tidak ada alasan orang untuk datang ke situ. Kondisi ini mirip dengan wisata kuliner di Depok. Sebenarnya banyak titik di Depok yang bisa kita kunjungi karena keunikan makanannya. Cuma mengingat akses jalanan di Depok seperti itu, ya tentu saja orang sudah lelah dulu sebelum sempat cicip pecak ikan di Tapos atau nasi uduk jengkol di Tanah Baru.

Balik lagi ke Penang. Setelah hari Minggu tersebut kami manfaatkan berputar-putar dan membeli oleh-oleh, kami mengawali kegiatan di hari Senin dengan sedikit siang.

Hari Kedua: The Habitat – Padang Kota Lama – Sup Hameed

Ternyata antrian ke atas Bukit Bendera lumayan menguji kesabaran. Hampir 2.5 jam berdiri mengantri karena kereta sempat ada masalah. Di stasiun bawah kami membeli tiket The Habitat seharga RM55. Setibanya di atas kami langsung mengunjungi The Habitat. Suasana sangat sepi ketika kami datang, berbeda jauh dengan kondisi stasiun atas Bukit Bendera yang dipenuhi orang membuka makan siang.

Di The Habitat kita bisa tahu seperti apa hutan jika dibiarkan alami tidak diubah jadi kebun atau vila. Tentu saja dari The Habitat kita bisa melihat bangunan lama yang di era pendudukan Inggris digunakan sebagai vila/hotel/ balai pengobatan. Namun itu tidak membuat seluruh pengembang di era kemerdekaan berbondong-bondong membangun vila dengan iming-iming investasi menggiurkan yang harganya naik di hari Senin. The Habitat ini cocok untuk berjalan bersama keluarga karena jalan setapak bisa dilalui sambil membawa kereta bayi. Minum pun bisa kita ambil secara gratis dan toilet bersih. Tidak perlu khawatir kelelahan ketika sedang berjalan di The Habitat, banyak titik peristirahatan di sini.

Setelah dari The Habitat, saya tidak sanggup untuk kembali mengantri kereta turun karena kembali manusia mengular efek masalah tadi pagi. Saya memilih fast lane demi kenyamanan kaki. Di stasiun atas, jalur cepat cukup nyaman karena ada tempat duduk ala menunggu kereta jarak jauh di Stasiun Senen. Lumayan kaki saya yang cukup nyeri karena plantar fascitis jadi bisa beristirahat dulu. Begitu turun kami pun meluncur ke Sup Hameed karena sudah kelaparan.

Karena hari masih sore, tentu kami tidak mau rugi cuma rebahan di hotel. Kami pun berjalan kaki ke pantai Padang Kota Lama. Niat banget lah kalau liburan aja mau jalan kaki. Kalau di Depok, ke mana-mana maunya motoran. Cukup banyak orang lokal menikmati sore di sini. Kami pun menyempatkan diri melihat kapal pesiar bertolak dari Penang. Saya baru tahu loh kapal pesiar sebesar itu. Yah namanya juga anak ndeso.

Soal makanan, banyak lokasi wisata kuliner yang top wahidnya di Penang tidak bisa kami kunjungi karena waktu yang tidak cocok. Nah, tidak perlu khawatir sebenarnya karena banyak sekali warung tenda yang enak-enak. Kalau hari Minggu kami makan di sekitaran area Georgetown, maka Senin malam kami makan tidak jauh dari hotel. Banyak turis dari China yang makan di situ. Apakah makanan di Penang semurah itu? Iya kalau dibandingkan dengan Jakarta. Namun jika dibandingkan dengan Depok ya agak mahal sedikit. Apakah makanan di Penang seenak itu? Iya koq tapi di Depok juga ada yang enak dan tidak bisa ditemukan di Penang. Cuma itu lah. Dengan kondisi udara Penang yang jauh lebih bersih, jalan lebih teratur, dan lingkungan yang lebih hijau, orang sudah keburu senep dulu melihat Depok.

Hari Ketiga: Taman Negara – Batu Ferringhi

Di hari terakhir kami di Penang, kembali mencoba sarapan ala orang lokal: nasi gurih dan roti bakar. Lokasi Joo Leong Cafe jauh dari hiruk pikuk wisatawan. Sengaja. Biar tahu suasana para pekerja sarapan sebelum ngantor. Kebetulan karena ketika kami datang adalah masa liburan anak sekolah, banyak yang datang membawa anak-anak siap untuk pergi piknik.

Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke balik pulau. Ini juga sengaja supaya kami bisa melihat pulau Penang secara lengkap bukan cuma daerah wisatawannya saja. Ternyata daerah balik pulau ini berkelok-kelok mengingatkan saya pada alas roban atau jalan Jember-Banyuwangi. Lagi-lagi jalannya lebar dan tidak ada aspal tambal sulam. Bayangkan dengan jalan berkelok, pengemudi Grab Car nyaman memacu mobil dengan kecepatan 40 km/ jam. Saya sudah khawatir seseorang yang mabuk darat akan memuntahkan isi sarapannya ketika mengamati dewa Ganesha yang disangkutkan di kaca spion mobil bergoyang kencang mengikuti irama lagu Billie Eilish. Tujuan kami ke Taman Negara bukan berhenti di salah satu warung durian karena musim durian sudah berlalu di Penang jadi semacam percuma mampir berhenti di sepanjang jalan tersebut.

Taman Negara ini masuknya gratis. Nah karena ada jalur trekking yang ditutup karena longsor, maka pemilik boat pun menghampiri kami agar naik kapal saja daripada jalan kaki. Weits jiwa ga mau kalah saya membara dong. Tidak bisa ke satu trekking, ya pilih jalur trekking yang satunya lagi lah! yang notabene lebih jauh. Ternyata perjalanannya mendaki, menurun, dan menguji kekuatan fisik jiwa yang jarang olahraga ini. Jalur trekking ini sangat menyenangkan sebenarnya, mirip seperti The Habitat, ada penjelasan sejarah juga di sepanjang jalur. Namun jangan berharap ada jalan setapak yang disemen paripurna. Hanya di awal saja ada jalan seperti itu. Sisanya tanah. Kita bisa berhenti sejenak sambil merasakan sejuknya air sungai dan menertawakan nasib. Sangking medannya yang membuat saya terkejut, hampir tidak banyak momen yang saya rekam di sini. Ambisinya sudah semata-mata: mana sih ini pantaiiii, udah menurun koq masih ndaki laggggiiiii. Apalagi petunjuknya khas orang Melayu : 30 min lagi. 5 menit lagi. Apaaaaaaannn. Bunyi debur ombak tanda sudah dekat pantai pun tak ada.

Tentu saja pengunjung kebanyakan adalah wisatawan asing. Jiwa melayu saya sudah mulai merana membayangkan akan ada warung di pantai lalu beli es kelapa. Ternyata begitu kami tiba, matahari menyengat luar biasa sampai saya tidak sanggup untuk foto-foto di batu-batu pantai Keracut tersebut. Apakah warung idaman saya ada? Tentu tidak karena pantai ini adalah pusat konservasi kura-kura. Huahahahaha. Di situ saya sudah bertekad tidak akan kembali masuk hutan untuk kembali ke kantor sekretariat. Kami butuh kapal!!! Ternyata memang penduduk lokal semacam sudah tahu, macam orang seperti saya pasti cuma mau duduk manis setelah perjalanan sejam lebih itu (Google Map dengan tidak ada dosa mencantumkan perjalanan tersebut hanya 40 menit. Kaki sapa tuh? Rambo?)

Dengan RM20 per orang kami pun meluncur kembali ke pintu depan Taman Negara naik speedboat. Sang nahkoda pun dengan ramah menjelaskan batu-batu unik yang kami lihat di sepanjang pantai. Ada yang berbentuk kelinci, buaya, dan kura-kura.

Begitu tiba di kantor, kami tidak bisa menemukan Grab Car. Ini disebabkan karena ada peraturan pemerintah lokal yang mewajibkan Grab Car punya e-hailing seperti taksi biasa. Jadilah tidak ada yang beroperasi di siang hari. Untung kami punya uang receh, jadilah naik RapidPenang yang lagi-lagi kami harus melintasi jalan berkelok-kelok dengan kecepatan tinggi. Tujuan kami adalah Batu Ferringhi. Ternyata pantai ini semacam Kuta yang mana sepi kehidupan ketika siang. Kami berakhir mendinginkan diri di… Mc Donalds yang berada di pom bensin Petronas. Hahaha.

Dari Batu Ferringhi kami pun menuju supermarket. Lagi-lagi merasakan diri seperti orang lokal. Saya tidak tahu apakah Tesco Seri Tanjung Pinang ini supermarket favorit untuk lokal karena koq pilihan produknya tidak sebanyak supermarket TipTop; supermarket kesukaan ibuk-ibuk di Depok hehehehehe. Mengapa kami ke sini? Sederhana sih. Mau beli Milo hahaha. Karena sudah super tepar, kami akhirnya kembali naik Grab Car menuju hotel.

Apakah setelah tiba di hotel maka liburan kami usai? Tidak juga. Kebetulan ketika perjalanan pulang, saya melintasi sebuah mini petshop yang mengingatkan pada lapak saya sendiri. Mampirlah di sana ngobrol ke sana kemari dengan pemilik sampai toko tutup. Selalu menyenangkan to bertemu dengan orang yang satu resonansi: peduli hewan terlantar. Namanya jiwa asia, tentu saja ia pun membawakan oleh-oleh yang rencananya akan saya jadikan giveaway kepada follower saya uwuwuw.

3 pemikiran pada “Liburan Murah ke Penang

  1. Aduh aku kangen kulineran ke Penang, klo ke sana pasti aku ke Ayer Itam makan Asam Laksa paling legendaris di sana eheheh. Duh kapan ya pandemi berakhir, pengen segera plesiran.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s