36

Setelah ditunggu selama setahun, akhirnya selamat datang babak kedua. Ini adalah usia perdana saya di babak terakhir. Per saat ini, saya dengan sukacita melakukan hitung mundur menjelang tutup usia. Memiliki target kapan sebuah babak hidup itu sebaiknya usai buat saya pribadi lebih membantu sehingga saya tidak merasa hidup hanya sekadar menghabiskan waktu untuk menunggu (dipanggil Tuhan).

Oh ya, selingan. Mungkin anda tertarik membaca beberapa tulisan saya dari babak pertama. Dibaca dengan alur maju akan melihat perkembangan saya dari segitu pahitnya ke segitu tenangnya. Dibaca dengan alur mundur anda akan sepakat bahwa kehidupan kita terlalu biasa saja untuk dirayakan:

  • 30
  • 31 (tulisan dihapus)
  • 32 (tulisan dihapus)
  • 33
  • 34
  • 35
  • 37 (pembaruan ya, saya tidak menulis banyak di usia ini karena saya sedang berobat jalan di poli jiwa)
  • 38
  • 39 (enggan menulis apa-apa karena linglung kombinasi berduka dengan banyak drama

Di awal babak kedua ini, saya sudah cukup terlatih jujur menampilkan emosi negatif seperti iri, cemburu muncul beberapa kali. Berusaha mengabaikan atau menghilangkan emosi negatif dengan kutipan ayat atau bungkus religiusitas menurut saya membuat diri seperti penuh batasan dan seperti kelilit benang layangan putus: ribet. Ketika saya secara terbuka membiarkan diri saya merasakan iri, kesal, atau sirik, saya justru mendapati kondisi diri yang jauh lebih tenang. Tidak lagi meledak-ledak..

Di awal babak kedua ini saya secara tenang membiarkan diri saya rapuh menangis. Sesuatu yang dulu pantang saya lakukan karena gengsi untuk tegak berdiri. Heran. Gengsi sama siapa juga sik gue? Yah namanya babak pertama ya.

Jika di pertengahan babak pertama saya banyak mengagumi eksistensialisme, saya bersyukur di babak kedua ini saya mencoba memahami Stoisme dan tentu saja Humanisme.

Bayangkan di penghujung babak satu saya berpegang pada AMOR FATI. Maka di awal babak kedua ini saya bersyukur bisa KONGRUEN. Istilah kongruen ini saya ambil dari buku Carl Rogers. Sudah lama sekali sejak 2005, seperti Amor Fati saya tidak menggunakan istilah Kongruen dalam pembicaraan saya sehari-hari.

Hanya di babak ini saya kembali membaca tulisan Carl Rogers. Dari lubuk kerinduan yang terdalam, beliau menginspirasi saya untuk menulis sebagus dan sedalam itu suatu saat nanti. Tidak banyak buku di bumi ini yang sekalipun telah ditulis lama masih relevan sampai sekarang, Mungkin itu cita-cita saya di babak kedua ini: menghasilkan tulisan yang bernas.

Seperti yang saya jelaskan di atas, memasuki usia ini, saya hanya tinggal perlu menghitung mundur dari babak terakhir. Mengapa membayangkan bahwa saya akan selesai bertugas di dunia ini 35 tahun lagi? Alasannya sederhana:

  • 34-35 tahun yang akan datang 2044-2045 adalah puncak kelelahan bumi ini menahan beban dari sifat dasar manusia: enggan mencukupkan diri. Kita tidak perlu menunggu dajjal karena kita ini manusianya yang akan jadi tukang jagal.
  • Harapan hidup saya berdasarkan genetik keluarga ya memang 70 tahun. Mengulur waktu untuk saya saat ini tidak ada keuntungan pribadi.
  • Saya butuh menjadi individu yang terlihat penuh gelak tawa. Dengan memiliki slot waktu yang diset terbatas, saya berharap saya tidak seperti di babak 1 yang menyimpan masa lalu untuk kembali dikorek sampai…10 tahun kemudian. Mengapa koq saya ingin jadi orang yang ceria? Ya satu paketlah dengan rencana saya ngecat rambut dan operasi estetika.

Baiklah alasan sudah, beberapa cerita dari babak pertama sudah. 1 babak tersebut saya bayangkan dalam 4 season, 1 season ada 9 episode. Ini hidup apa serial Netflix sih?

Season 1

Dengan asas yang saya junjung dari babak pertama:

Manusia Berencana

Tuhan Bercanda

Bencana datang kapan saja

Vivi Alone – 2020

Maka 1 season tersebut baru semacam draft yang hanya menampilkan tujuh tahun pertama lengkap dengan stiker-stiker untuk menutupi apa tulisan sebenarnya. Mengapa saya menutupi stiker tersebut? Saya belajar dari babak 1 banyak tulisan yang akhirnya saya putuskan hapus karena tidak kejadian. Daripada tengsin mending distikerin aja. Jadi, ya bersyukur. Ga jadi, kan ga malu-maluin amat. Saya sudah memasuki usia yang merelakan bahwa keinginan terjadi ketika saya telah melupakannya.

Namun rencana di atas kertas itu lebih membuat saya bersemangat karena akhirnya saya menemukan titik terang untuk memberdayakan perempuan secara lebih luas. Tidak sebatas tim Sahabat atau teman-teman yang mendukung Sahabat. Bagi saya hal ini menjadi menyenangkan karena dilakukan berdua bersama teman bergelut saya. Iya taman bergelut.

2 pemikiran pada “36

Tinggalkan komentar