Saya baru sepuluh hari ini kembali pulih dari masa murung saya. Masa kelabu itu memang cuma 10 hari, tidak ada air mata yang banyak tertumpah dan tidak ada yang tahu tapi untuk pulih ya pelan-pelan tapi pasti.
Kemurungan ini sudah menjadi bagian dari saya dan saya belajar hidup dengannya. Selama hampir 10 hari tersebut, alih-alih memaksakan diri untuk bangkit dan memotivasi diri, saya belajar diri saya hanya butuh waktu untuk bangkit. Saya masih ingat di masa itu saya berakhir menangis sendirian menjelang mandi hanya karena menemukan.. uban. Iya uban. Namun saya tidak berlama-lama menangis karena ada pekerjaan yang sudah menunggu.
Mengapa di masa 10 hari tersebut saya tidak ambil liburan? Perlu diketahui bersama, bahwa berlibur alias tidak mengerjakan apa-apa itu punya dua kondisi yang hanya membuat saya beresiko meledak:
- Saya perlu mendelegasikan banyak tugas, dari megang token saya dan internet banking saya untuk membayar suplier => yang mana tentu tidak ada pegawai yang bisa melakukannya. Apalagi urus order barang ke suplier. Lebih ga bisa lagi.
- Tidak melakukan apa-apa membuat saya jauh ke dalam sumur keterpurukan.
Bayangkan masa 10 hari ini terjadi ketika pandemi masih terjadi, pemerintah memang sudah melunakkan PSPB tapi tetap beresiko untuk jalan-jalan misalnya sekadar duduk diam naik kereta Depok Tanjung Priok. Netflix tidak membantu. DI masa terpuruk itu tidak ada satu film pun menarik minat saya. Apakah saya mendadak begitu saja murung? Tidak koq. Ada peristiwa terjadi beruntun:
- Kematian kucing klien paska steril
Klise kan? Cuma dua masalah itu doang. Namun di dalamnya ada putus asa karena seberusaha apapun saya bertindak baik, selalu ada kegagalan yang mengintai. Detilnya tidak bisa saya ceritakan di sini yang jelas efeknya adalah cuma karena uban saya nangis, saya keluar 1 WAG, dan sebenarnya di masa itu setiap malam saya terpuruk. Tidak ada jejak mata bengkak karena menangis membuat tidak ada yang tahu keesokan paginya bahwa saya sedang tidak baik-baik saja.
Mengapa tidak bicara saja? Kan akan lebih enak? Membicarakan kalau ada yang tulus mendengarkan kan pasti orang tersebut jadi nyaman untuk berikutnya berbagi cerita. Namun ketika tidak ada kepastian kadang dia didengarkan, kadang dia cuma dijadikan becandaan, seringan omongannya dipotong untuk bahas hal lain ya tentu individu tersebut (dalam hal ini saya) memilih berhati-hati untuk bicara.

Solusinya tentu saya berkicau di Twitter. Sudah 10 tahun saya menggunakan Twitter untuk melemparkan unek-unek.


Sering saya buat utasan memaki lalu saya hapus lagi. Lumayan membantu.

Setelah saya pulih, saya menyadari bahwa manusia itu bisa sembuh dari luka batinnya sendiri. Berikan ia waktu. Setelah saya baikan, saya pun mulai berbicara kepada dua orang profesional. Satu untuk urusan teknis. Satu untuk urusan psikis. Kedua orang ini memang saya hubungi japri jadi kalau anda mungkin butuh dukungan psikis tapi tidak tahu mulai dari mana, bisa nonton :
Ketika saya sudah baikan dan ada yang mengalami hal yang sama di Twitter, saya pun memberikan tips:

Sama seperti bahagia itu sifatnya sementara, kesedihan pun sementara.