Banyakan untungnya sih sebenarnya. Namun saya perlu menjelaskan soal ada hal yang perlu antisipasi ketika mengandalkan BPJS Kes. Sekadar catatan, saya adalah anak seorang pegawai negeri sipil yang sejak usia 10 tahun sampai 20 th pergi ke Puskesmas Jatipadang mengandalkan kartu ASKES u ntuk rutin kontrol gigi enam bulan sekali. Ya elah ke Puskes aja kan udah murah ngapa kudu pake askes segala sik? Ya gimana dong alm bapak saya itu kalau bisa dibayari negara-kenapa-kudu-kita-yang-bayar. Dulu sebenarnya ada dokter gigi terkenal di Pasar Minggu cuma ya karena bayar tentu saja balik badan antri manis di Puskesmas. Lagian di masa itu pasien Askes justru ada jalurnya sendiri. Berasa warga VIP padahal mah tetep kere hore.
Karena saya rajin kontrol gigi inilah saya diketahui punya gigi sensitif dari awal. Jadi sekalipun cuma berobat level Puskesmas, odol saya ketika itu sudah Sensodyne sesuai perintah dokter gigi saya. Iya dokter gigi saya ga ada itu anjur-anjur. Pokoknya kudu ganti. Jangan bayangkan Sensodyne semurah sekarang ya. Dulu itu barang improt yang pas tahu harganya dibanding Pepsodent langsung pengen mimisan. Makenya beneran nurut cuma 1 cm semata-mata karena.. muahal. Namun karena biaya berobatnya gratis, saya nurut-nurut aja ganti pasta gigi lagian dipelototin alm bapak saya ketika itu, ‘udah ada solusi supaya bisa makan es grim koq masih muter-muter. Beli saja sudah‘.
Masa pakai Askes juga menjadi penyelamat saya ketika saya kecentilan pakai lensa kontak demi pembuktian diri khas usia 20an bahwa saya adalah pribadi yang cantik. Hahahaha. Tenang 16 tahun setelahnya saya sudah menyadari saya gak cantik koq. Cakap sampah lah pernyataan orang bahwa semua perempuan itu cantik. Sekarang saya menyadari saya itu voicegenic dan photogenic, kasi waktu saya dandan lalu kita kenalan lewat telepon dijaminlah anda akan menilai saya sebagai pribadi yang berwawasan luas dan menarik. Dah cukup sampai di situ, setelah ketemu biasanya anda akan kelabakan sendiri karena sebenarnya saya lebih sering mengamati jadi bukan pribadi yang cocok untuk dikenalkan kepada keluarga anda.
Balik soal lensa kontak di tahun 2004 ketika alm bapak saya meninggal, kebutuhan saya untuk terlihat cantik salah satunya adalah dengan pakai lensa kontak berwarna ketika kuliah. Dulu adanya merek Johnson Johnson. Belum ada yang versi murah ala Shopee. Sebenarnya memang beneran bagus koq di saya. Cocok cocok cantik gitu tapiiii saya tidak menyadari bahwa stok air mata saya sedikit jadi begitu ada benda asing, mau pakai cairan tetes mata khususnya keq, mau selalu di dalam ruangan keq tetap saja mata saya iritasi dengan puncaknya kornea saya agak terkelupas. Ehe ehe.
Bayangkan jika saya cari dokter mata tanpa Askes, sudahlah bayar kuliah pakai surat keterangan miskin, bayar dokter mata masak ngutang ke tetangga? Jadilah saya menggunakan ASKES ke RS Fatmawati karena itu yang terdekat dari Pasar Minggu. Untuk pengobatan mata ada kali saya kudu 3x berobat. Dua kali karena lensa kontak. Mentang-mentang bisa sembuh, saya balik lagi pakai lensa kontak. Tentu kambuh lagi dong.
Dokter Mata yang menangani duh lupa namanya yang jelas beberapa tahun kemudian teman saya PPDS di bagian Mata ya sama dokter ini. Konon kepala bagian mata RS FATMAWATI yang gualak eh tegas. Jadi ketika beliau melihat mata saya yang meringis-ringis kesakitan, dia langsung gedek-gedek kepala. ‘Mata kaya begini semalam bisa tidur? Gimana udah kapok belum pakai lensa kontak?’ Bayangkan pasien dibeginikan. Ini kalau warganet 2020 pasti sudah ngadu di medsos deh hahaha.
Lalu beliau menghadap ke mahasiswa kedokteran yang berbaris menjelaskan kasus saya dalam bahasa medis yang saya sudah auk-ah-gelap-petan-resepin-dokkkk. Kemudian dokter meresepkan obat tetes dan obat minum plus saya ditulisi catatan apa yang selalu harus ada di tas saya setiap kali saya bepergian: air mata sintetis. Yoiiii. Saya itu ada tetes mata yang selalu saya bawa kalau ke pantai atau lama di ruangan ber-AC semata-mata demi asupan air mata.
Setelah usia 20 tahun (apa 22 ya lupa awak?) saya sebenarnya kepikiran untuk mendaftarkan diri secara mandiri ASKES KESEHATAN yang emas agar jika ada apa-apa dengan saya, biayanya murah ehehe. Namun 22 sampai akhir kepala 2 saya jumawa merasa sehat. Ga merasa perlu asuransi toh sakitnya cuma sebatas batuk pilek demam ketularan murid (khas penyakit bu guru lah). Seingat saya ketika itu sekolah saya hanya menyediakan asuransi kesehatan rawat inap. Kalau rawat jalan lupa saya bagaimana.
Kemudian 2012 ketika usia saya 28 tahun mulai wirausaha, saya mulai mikir-mikir, ini kalau ada apa-apa selain menjerit sama Tuhan, saya harus minta duid ke siapa ya? Begitu 2014 BPJS KESEHATAN hadir, saya langsung daftar sekalian urus surat nikah, pindah kartu keluarga dsb. Sempat masanya kelupaan bayar BPJS KESEHATAN di tahun 2014-2015 karena kesemrawutan hidup. Kena denda tentunya tapi saya lunasi bayar. Selalu saya bilang ke pegawai ketika itu, ‘ada apa-apa dengan saya, bawa ke RS modal kartu ini‘.
Tidak lama saya juga mendaftarkan BPJS TK sebagai tabungan hari tua. Memang preminya masih sedikit tapi setidaknya saya mulai mengusahakan duit untuk masa tua saya sendiri lah. Jadi sekalipun bukan PNS, ga ada alasan ga punya dana pensiun. Smart sikit lah awak ini untuk kalangan mileniul.
Nah kartu BPJS KES itu teruji di Sept 2017. R tiba-tiba nyeri perut. Memang pengalaman pertama menggunakan BPJS KES ketika itu berkesan sekali ya. Berasa buang-buang waktu. Entah itu apakah karena kami harusnya memilih RS rujukan yang lebih okay atau memang kami lagi apes saja atau embuh lah. Setidaknya karena periksa gratis itu kami tahu ada lemak menempel di hati R. Lumayan kan. Coba kalau harus bayar.. keluar berapa rupiah tuh segitu banyak konsul.
Lalu ketika R di Warung Pintar, kami sebenarnya sempat ditanggung Manulife. Pernah 1x dipakai R ketika R meriang batuk pilek di awal pandemi. Berobat ke RS MITRA KELUARGA sampai habis Rp.600.000 an. Mahal amat yak. Lalu juga pernah menanggung biaya kontrol saya satu kali ketika divonis Myoma. Juga kurang lebih nilainya segitu. Jadi secara umum pengalaman kami dengan Manulife untuk rawat jalan berkesan. Kami kepengen koq sampai level pegawai pun bisa dapat asuransi Manulife lumayanlah asuransi cadangan untuk rawat jalan. BPJS kan kalau untuk berobat batuk pilek demam suka antriii.
Nah pas myoma saya kembali pakai BPJS. Mengapa gak Manulife? Ya kan R di-phk. Mengapa ga urus Manulife mandiri? Mau bayar premi berapa duit dah untuk pasien yang jelas-jelas terbukti ada tumor jinak di tubuhnya. Perusahaan Asuransi kan gak sebodoh itu wkekekeke. Lanjutt
Memang untuk mempercepat proses BPJS di Faskes 1, saya sudah bawa hasil USG duluan dengan uang pribadi. Jadi semua proses keluarnya surat rujukan cepat. Lalu ketika paska operasi, saya upgrade semua painkiller pakai uang sendiri. Begitu pain killer tersebut habis dan yang tersisa adalah obat dari BPJS, saya berakhir tidak bisa tidur dua hari alias obat pain killernya terlalu cupu pemirsa.
Sebagai warga negara yang baik dan kebetulan ibu rohani saya menjabat di BPJS KES, saya tidak berkepanjangan mengeluhkan obat BPJS paska operasi. Saya sudah bersyukur sekali operasi puluhan yuta itu gratis tis tis. Jadi begitulah kisah saya menjadi pasien BPJS. Dengan segala kekurangannya, BPJS KES membantu banyak orang untuk pemulihan kesehatan. Oh iya jangan salah, dengan BPJS anda bisa antri ke psikolog, bisa juga konsul untuk pola makan yang lebih sehat ke dokter gizi. Jadi ga cuma sebatas pengobatan, tapi pencegahan pun bisa pakai BPJS. YANG PENTING: BAYAR IURANNYA.
Alhamdulillah saya udah make juga untuk banyak keperluan diantaranya spesialis paru, penyakit dalam dan general check-up diurus perusahaan di beberapa klinik dan rumah sakit. Hemat biaya dan waktu.