Setelah hampir 2 bulan selalu copot kacamata setiap kali membaca WA, akhirnya saya kembali ke Optik Banana dan ukur ulang mata saya. Minus nambah bonus plus ada. Yah begitulah kepala 4 menyapa saya lebih cepat.
Dalam perjalanan urusan kacamata ini saya ditanya apakah saya cukup berbahagia dengan pernikahan saya sekalipun tanpa anak? Secara mantap saya jawab :
Saya merasa penuh. Saya bersukacita karena saya merasa penuh dan utuh sekalipun pencapaian biasa saja.
Vivi Alone – 2022
Dulu era sebelum ke psikiater saya punya ponten pribadi bahwa saya merasa lengkap jika :
- Bisa punya rumah pribadi
- Bisa jadi psikolog
- Bisa punya obyek kasih sayang bernama anak
Sekarang saya tidak punya ketiganya. Saya masih mengontrak dan tidak sedikitpun saya merasa minder atau masih mengandai-andaikan memiliki rumah yang halamannya bisa dikelilingi. Saya tetap tidak jadi psikolog sampai sekarang. Apalagi urusan anak. Duluu saya suka nepuk-nepuk diri sendiri, ‘it’s okay Vivi. It’s okay‘ lalu berakhir menangis karena mengasihani diri sendiri yang sepertinya kaum papa sekali. Sekarang saya beneran damai sejahtera, sukacita tanpa perlu nepuk nepuk bahu yang sedang mengasihani diri sendiri.
Saya tidak sukses dan saya tidak masalah jika akhirnya sampai mati tidak kunjung sukses. Ini disebabkan karena saya tidak punya definisi dan merasa tidak perlu definisi sukses. Ada lulusan UI seumur saya sudah bisa beli apartemen ke-2? Ada teman SMP yang dulu nilai akademisnya selalu jelek sekarang punya rumah mewah dari hasilnya bekerja di bidang hukum? Ya sudah.

Saya biasa saja dan saya bahagia karena itu saya santai saja sekalipun saya merintis usaha, nyaris bangkrut karena pandemi, tidak diliput media, tidak juga jadi pembicara dengan spanduk segede gaban. Saya sudah cukup berbahagia bahwa karena 10 tahun merintis usaha saya selalu punya waktu mempelajari hal baru. Menguasai sebuah ketrampilan walau gak jago-jago amat buat saya sudah bikin berbahagia.

Sekalipun secara umum saya merasa bersukacita penuh, saya tidak memungkiri ada waktu-waktu saya merasa kesepian, ada hari-hari saya merasa kelelahan. Yang mana buat saya, apa yang saya rasakan adalah hal manusiawi. Saya tidak perlu menekan-nekan perasaan negatif itu agar hilang. Saya menerima rasa kesepian, rasa kelelahan, keterpurukan itu dengan tenang. Kadang saya berakhir menangis, kadang saya ya jalan kaki saja untuk menjernihkan pikiran.


Orang-orang yang melihat apa yang saya lalui sering bilang saya sangat kuat. Sejujurnya itu doang keunggulan hidup saya: kuat & tekun. Selebihnya tidak ada.

Kadang juga saya kepikiran bagaimana jika perubahan positif yang terjadi pada saya ini tidak diapresiasi oleh orang lain yang mengenal saya di masa lalu? Kicauan Arman Dhani menguatkan saya:

Saya tahu di masa depan selalu ada kemungkinan orang mengungkit lagi tindakan apa yang saya buat di tahun-tahun traumatis. Ingatkan saya untuk menarik napas dalam-dalam dan kembali membaca :
