Apa Itu Rindu?

Saya tidak mengenal konsep rindu alias saya tidak bisa merasakan rindu kepada seseorang bahkan kepada mamak bapak saya yang sudah meninggal bertahun-tahun. Ada sih kerinduan sekadarnya tapi biasanya ditujukan ke sebuah tempat. Seperti setiap kali hujan, saya teringat Singapura (halah pret,, jumawa sudah sejak paragraf pertama…) atau setiap kali saya sedih, saya teringat kota kelahiran saya atau ketika saya butuh waktu menyendiri, saya sengaja ngada-ngadain kegiatan ke Jakarta supaya saya bisa naik kendaraan umum ke mana-mana persis seperti ketika saya muda (hazek,, sok tua,, maklum menurut tim kerja, usia saya ini sudah masuk paruh baya alias setengah jalan masuk alam baka).

Balik ke rindu. Jadi saya benar-benar tidak pernah merasakan rindu kepada seseorang. Jika di bumi ini ada orang yang tidak pernah bisa jatuh cinta dan cinta mati kepada pasangannya, maka saya adalah orang yang tidak bisa menyelami apa itu rindu. Kalau dulu mungkin saya cenderung menghardik orang yang rindu dengan bilang ‘apaan sih lebay amat‘ atau ‘ada apa nelp?’ sekarang saya berusaha berempati seluas-luasnya kepada orang yang bisa merasakan rindu dengan tidak menjadi ketus atau dingin. Sejujur-jujurnya, saya agak kikuk menerima pelukan orang yang merindukan saya sambil dalam hati ‘perasaan cuma ga ketemu 1 bulan? masih denger suara gue kan?‘ atau ‘terakhir ketemu kan baru 1,5 tahun yang lalu?

((baru satu setengah tahun yang lalu))

((baru berpisah sebulan saja))

Buat orang dengan kelekatan wajar, waktu di atas adalah waktu yang cukup lama terutama jika mereka sudah menanamkan di kepala masing-masing bahwa saya adalah bagian dari keluarga mereka atau sudah dianggap orang yang berarti di benak mereka. Buat saya? em,, okay nais inpo gan *sambil berusaha membalas pelukan dengan hangat*. Perhatikan di awal kalimat paragraf ini saya menyebutkan soal kelekatan. Bahasa kerennya attachment. Bukan lampiran surel ya tapi kelekatan dalam hubungan. Ada tiga tipe kelekatan yang mana dalam 1 individu ya gak mungkin cuma satu kelekatan aja. Ada persentase dari masing-masing kelekatan ini. Contoh ya dari seorang individu sebut saja Lily:

Dia kecil sekali dalam hal kelekatan cemas tapi kelekatan sehatnya cuma setengah dan sisanya adalah kelekatan penghindaran. Ini bagaikan berurusan dengan selotip curah alias gak bisa lengket pemirsa..

Gimana mau melekatkan hubungan kalau strategi yang dilakukan untuk bertahan dalam sebuah hubungan adalah penghindaran? Ya selalu ada dua pilihan : gigih mempertahankan dan mengupayakan kelanggengan lalu merasa bahwa sedang mengupayakan sendirian ATAU pasrahkan. Ingat, berpasrah itu jangan diartikan menyerah. Pasrah itu berarti menyerahkan semua kepada Tuhan.

Jadi begini, orang yang cenderung menghindar telah terlatih mengandalkan dirinya sendiri, terbiasa untuk meninggalkan diskusi untuk menyelesaikan konflik, dan selalu mempersiapkan diri untuk ditinggalkan kapanpun waktuNya tiba. Memang orang seperti ini tidak merasakan sedih? Oh sangat bisa tapi kadarnya bisa ia jaga dalam dosis yang menurut ia terhormat. Sedih aja pakai ditakar-takar Gusti.. sudah seperti orang paruh baya membatasi jumlah konsumsi gula. Jadi hanya dari orang ini lah yang mendapatkan pencerahan sendiri bagaimana untuk tidak terus menghindar dari sebuah situasi yang tidak nyaman atau bagaimana ia harus berlatih membangun relasi secara proaktif. Sepele buat orang Indonesia yang komunal nan hangat tapi besar perjuangannya buat orang yang cenderung menghindar alias.. saya.

Akhir kata, untuk siapapun yang merasa rindu bertepuk sebelah tangan dari saya, setidaknya saya mencoba mengingat-ingat peluk/ cium setelah berdoa, setidaknya saya berusaha mengangkat telpon sambil tersenyum (ingat saya tidak mengangkat telp sejak 2004) bukan malah bilang : ‘ngapain nelp?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *