Hidup Bersama Orang Tua di Usia Dewasa Muda

Di awal kepala 2, saya begitu naif bahwa kekompakan saya dengan orang tua akan bertahan selamanya bahkan bisa di bawah atap sampai maut memisahkan. Namun, di penghujung kepala 2 saya akhirnya menyadari bahwa manusia berkembang termasuk anak-anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang nyaris tanpa trauma ala keluarga Cemara. Jadi untuk bisa terus menerus di bawah naungan kedua orang tua hanya akan berakhir dengan gesekan yang tidak dapat dihindarkan.

Hidup bersama orang tua mungkin menghemat uang, tapi selalu beresiko menghabisi kesehatan mental. Dibaca pelan-pelan: beresiko. Jadi jangan ujug-ujug: gak koq kami hidup sekeluarga baik-baik saja. Itu tandanya termasuk beruntung. Di luar sana, banyak rumah yang jadi saksi bisu gesekan antara anak dan orang tua karena mereka sama-sama sudah dewasa. Rumah orang tua memang sesuatu yang bisa kamu kunjungi tapi bukan untuk kamu jadikan tempat tinggal terlalu lama. Karena ketika kecil, rumah terasa hangat, orang tua adalah jangkar. Namun seiring berjalannya waktu, nilai hidup, gaya hidup dan mimpi semakin bergeser dari orang tua.

Terlepas dari bagaimana cara orang tua membesarkan, kita cenderung masih mencintai orang tua tapi pembicaraan diantara anak yang berusia dewasa muda dan orang tua yang berusia dewasa akhir selalu berujung menjadi sumber konflik. Kalau coba berusaha mempertahankan pendapat, akan datang rasa bersalah: Mengapa aku jadi pembangkang? Bukankah dulu aku juara 1 sebagai anak yang paling nurut? Kalau coba mengkompromikan, pelan – pelan kita tidak mengenali diri kita sendiri: kita menjadi pribadi yang mereka inginkan, bukan yang kita harapkan.

Setiap harinya, anak usia dewasa muda dan orang tua dewasa akhir yang hidup dalam satu atap akan seperti bermain tarik tambang emosi. Kamu ingin membalas pengasuhan mereka dengan mengurus orang tua tapi kadang juga butuh ruang untuk tumbuh, menghela napas, dan menjadi diri sendiri. Yoyo nya berputar antara rasa bersalah dan frustasi, antara tanggung jawab dan ingin melarikan diri. Tidak ada yang membahas ini secara terbuka atas nama berbakti.

Solusi idealnya memang perlu keluar dari lingkungan yang familiar tersebut lalu menjalani kehidupan yang membuat kita tidak ragu menetapkan identitas kita seperti apa. Sayangnya, struktur ekonomi di Indonesia memastikan bahwa penghasilan begitu ngepas sehingga solusi hidup ya hidup bersama orang tua karena gaji sudah digerus oleh uang transport. Belum lagi, negara tidak melindungi lansia; yang pensiunan ASN sekalipun, karena gaji pensiun tak seberapa. Diharapkan orang-orang usia pensiun harus tetap menghasilkan uang sendiri untuk bertahan hidup sampai menghadap Ilahi. Selamat merayakan Indonesia ke-80! Merdeka!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *