Saya sedang dalam proses belajar materi daring Emotional Agility Susan David ketika saya mendapati topik soal self-compassion alias mengasihi diri sendiri. Saya baru sadar, tidak akan pernah orang bisa mengasihi orang lain tanpa syarat, secara utuh, dan penuh kalau dia sendiri tidak pernah mengasihi dirinya sendiri juga tanpa syarat.
3 P 1 Individu
Wajar jika di dalam diri kita selalu ada 3 P: penuduh, penuntut dan pengasih. Itu bukan tanda kita berkepribadian ganda. Di manapun dan bagaimanapun kita dibesarkan, di dalam diri kita selalu ada PENUDUH yang fokus mencari celah kekurangan kita, PENUNTUT yang selalu mengharapkan kita sempurna tiada tara dan PENGASIH yang selalu menguatkan kita. Sayangnya situasi, kondisi, toleransi membuat kita sering hanya fokus kepada Penuduh dan Penuntut. Pengasih yang ada di dalam kita justru paling sering diabaikan. Dianggap pernyataan-pernyataan dari Pengasih ini hanya kata manis tak bermakna. Proses pemberian porsi kepada PENUNTUT dan PENUDUH ini selain karena faktor pola asuh ya bisa juga faktor kepribadian diri kita. Lalu apakah itu sebuah kesalahan? Sumber masalah? Perlu ditengking? Perlu diusir? Menurut saya sih nggak. Semakin kita menekan-nekan agar Penuntut dan Penuduh ini pergi dari kepala kita demi sebuah kedamaian, semakin mengakar dia di dalam sinaps otak. Belajar dari pengalaman saya selama 1,5 tahun di poli jiwa. Saya berdamai dengan Penuntut dan Penuduh ini.
Saya ambil contoh kesalahan saya minggu ini. Bahwasanya kesalahan ini bisa dijadikan konten oleh orang lain sebagaimana orang menertawakan manusia-manusia yang tidak bisa membedakan jahe dengan lengkuas, saya sudah mahfum. Baru 2 bulan ini saya rutin masak. Tentu tidak dikerjakan sendiri. Ada tim yang membantu. 13 tahun hidup bersama dengan partner hidup, baru 2 bulan ini punya jadwal masak sebulan. Sebelum-sebelumnya saya nyaris menolak masak. Saya tidak tahan dengan komentar partner paska hasil masakan disajikan. Bukan, bukan karena partner saya begundal tidak tahu berterima kasih. Ada masa di dalam hidup, saya tidak bisa menerima kritik apapun dari manusia lain karena PENUDUH dan PENUNTUT saya lebih kencang memojokkan saya, jadi tambahan komentar orang lain selalu ingin membuat saya membalikkan meja makan yang sayangnya dari kayu jati tua. Meja ini bukan cuma tidak rayapan, butuh ganjalan pun tidak.
Balik ke masak. Di pikiran saya bagaimana biar tidak repot, beli sayur langsung untuk 1 bulan simpan di freezer, bukankah sayur bisa disimpan di freezer? Sayangnya saya kurang riset. Freezer sayur dan buah berbeda dengan freezer daging yang saya punya. Hancur lah semua sayur senilai Rp.100.000. Ealah cuma 100.000 ya udah lah Vi lanjutkan hidup. Oh big no no. Di masanya si Penuduh Vivi akan melihat Vivi gak kompeten dan si Penuntut Vivi akan kesal sudah jelas budget makan sebulan tipis mengapa pakai acara membuang sayur seharga 100.000? Dulu, si Pengasih Vivi tidak pernah berkuasa apa-apa kepada Vivi. Dia cuma duduk di pojokan menangis pelan sambil bilang : yo wis gak po po. Pengasih di dalam Vivi tidak pernah cukup lantang menyatakan rasa kasih sayangnya kepada Vivi.
Sambil mengumpulkan sayur-sayur yang saya perlu tuang ke ember daur ulang, saya membayangkan kalau alm mamak saya apa yang akan dia bilang? Urusan masak dan bikin kue, saya tahu betul alm mamak saya pasti akan bilang : ‘yo wis kan dadine belajar to. Biar ga makin dongkol wis uncalne ae. Ojo ketok. Tuku ae sing anyar‘ Tentu saja saya cukup beruntung bahwa pola asuh di keluarga saya memberi ruang untuk membuat kesalahan. Di luar sana ada orang-orang yang teringat orang tuanya akan langsung makin tertuduh karena akan diomongin : ‘heran gitu aja ga ngatri‘.
Jadi si Pengasih Vivi saat ini kekuatannya jauh lebih besar daripada si Penuntut dan Penuduh. Apakah Penuntut dan Penuduh akhirnya hilang dari Vivi? Tentu tidak. Mereka tetap ada. Lagian mereka ga melulu berfungsi jahat. Mereka membantu saya untuk selalu berusaha paripurna ataupun kalau saya mau malas-malasan tidak pada waktunya.
SURPLUS MENGASIHI DIRI UNTUK ORANG LAIN
Nah saya akhirnya baru menyadari di usia begini, selain bahwa kalau saya mau nyetok sayur sekali banyak saya butuhnya kulkas side by side bukan kulkas 2 pintu, saya jadi sadar bahwa hanya dengan mengasihi diri sendiri secara berlimpah maka saya bisa membagikan kasih tersebut ke orang lain. Kalau ke diri saya sendiri penuh tuduhan dan penuh tuntutan, maka kasih yang saya berikan kepada orang lain antara sekadarnya atau penuh syarat dan ketentuan berlaku. Seringan sih ketika kita mengasihi orang lain dengan kondisi kita ga seberapa mengasihi diri sendiri jatuhnya supaya sekadar untuk menyenangkan orang lain. Dia partner hidup gue/ orang tua gue/ yg ngasi gaji gue/ temen gue masa gue ga mengasihi dia??
Prinsipnya kaya masakan. Kalau di acara makan-makan banyak sisa makanan, kita bisa memberikan plastik kepada para tamu supaya bisa bungkus makanan untuk keluarga di rumah. Sama seperti mengasihi diri sendiri. Kalau stoknya melimpah kita santai aja membagikannya. Mungkin orang tersebut tidak merespon kebaikan kita sesuai yang kita harapkan, mungkin orang tersebut tetap menikam kita dari belakang setelah kebaikan yang kita berikan, mungkin orang tersebut tulus baik kepada kita, kepada siapapun itu, apapun latar belakang perbuatannya, kita bisa memberikan kasih dengan banyak dan membagikannya tanpa beban.
Sayangnya untuk bisa memiliki banyak stok mengasihi diri sendiri ini, kita perlu bisa mengatur Penuntut, Penuduh dan Pengasih dalam kita untuk bekerja seimbang tanpa ada yang mendominasi. Bagaimana caranya? Sejujurnya saya tidak tahu apa formula umumnya. Kalau ini cuma sekadar tumis sayur kan jelas bumbunya cuma itu-itu saja. Namun urusan jiwa saya juga gak tahu bagaimana proses yang saya alami ini bisa ditularkan ke orang lain. Sampai saat ini jawaban saya cuma : ke profesional dan benar-benar mengandalkan Roh Kudus untuk memimpin hidup. #PembacaLangsungBubarHehehe. Semoga di masa depan saya nemu ya formulanya seperti saya sedang memformulasikan resep masak santai tanpa kudu kupas-kupas bawang, iris-iris cabe tiap kali masak.
Akhir kata izinkan saya mengutip sebuah epilog film :
Kita semua punya titik terendah.
Seorang tokoh dari Kota M
Kalau orang menyebutnya luka
saya menyebutnya pelajaran.
Sesuatu yang saya jadikan
pegangan hidup saya tanpa rasa
malu. Mungkin setelah kita bisa
menerima itu semua sebagai
bagian dari diri kita barulah kita
kita bisa melihat ke depan.
Karena saya yakin di depan sana
sesuatu yang lebih baik setia
menanti.
One thought on “MENGASIHI: Diri Dulu Baru Orang Lain”