Pertengahan menjelang akhir Januari saya sudah mendengar kabar dari @lyndaibrahim (di Twitter tentu saja) mengenai pameran busana Didi Budiarjo. Saya langsung bersemangat untuk datang tanggal 25 Januari sampai kemudian saya menyusun berbagai acara dan lupa bahwa itu adalah hari terakhir pameran. Saya baru menyadari dua hari kemudian. Sedih itu pasti karena buat saya menghadiri pameran ini adalah wisata mata untuk dua hal sekaligus. Museum dan pameran busana. Dua hal yang saya nikmati secara utuh. Namun untunglah pameran tersebut diperpanjang
Mid-late January I read of @lyndaibrahim’s twit informed about fashion exhibition of Didi Budiardjo. I was so excited to come on January 25 until I arranged various events and forgot that was the last day of the exhibition. I realized two days afterwards. I was so dissapointed (to myself) as for me attend this exhibition and visit a museum are giving eyegasm. Two things that I enjoy religiously. I am so grateful for the extra time of the exhibition.
Saya mengenal karya Didi Budiarjo bersama Sebastian Gunawan, Biyan dan Obin melalui majalah Dewi. Dulu ketika SD saya sering meminta ibu membelikan majalah bekas Dewi. Ibu saya sendiri bingung bagaimana saya bisa begitu menikmati tiap hasil foto pakaian tersebut. Ibu lebih memilih Kartini atau Femina yang menurutnya lebih banyak cerita. Sementara saya ketika itu lebih menikmati Dewi. Tentu saja kami hanya mampu membeli majalah bekasnya bukan yang baru. Saya ingat sekali ketika Dewi menayangkan hasil sketsa Donal Bebek dalam pakaian khas Indonesia dan Didi termasuk salah satu kontributor. Selebihnya waktu saya menelisik majalah tersebut untuk menikmati detil pakaian melalui foto. Saya bahkan dulu sudah mengkhayal bahwa di usia 30 saya akan memakai baju bermerek dari atas sampai bawah seperti sosialita-sosialita yang saya lihat di majalah tersebut. Lumayanlah di usia 30 (tepatnya minggu lalu) saya memakai satu setel Marks & Spencer. Bukan beli. Malu lah sama para pemberi utang.. Baju satu setel tersebut adalah pemberian Oma Bolly, guru sekolah minggu di Bapindo. Dengan padu padan, jreng, jadilah dari atas sampai ke bawah barang bermerek (warisan). Hihihi.
I know Didi Budiardjo’s piece of artworks together Sebastian Gunawan, Biyan and Obin through Dewi magazine. When I was in elementary school, I often ask my mum to buy a second hand Dewi magazine. My mother was confused how I can be so entertained only by looking at every single picture on it. My mother prefers Kartini or Femina as there are more articles inside. While I was satisfied to see fashion pictures. Of course we only afforded to buy the second hand instead of the new edition. I remember when Dewi magazine issued Donald Duck sketches in Indonesian traditional outfit. Didi was one of the contributors. The rest of my leisure time was browsing every page of the magazine to enjoy the details of clothing through photos. I even had already imagined myself in 30 would wear designer clothes from top to bottom like socialites I saw in the magazine. Not bad..at the age of 30 (exactly a week ago) I wore a set of Marks & Spencer from head to toe. I did not buy. It was a gift from Oma Bolly, Sunday school teachers in Bapindo. With my edgy mix and match, voila, I could wear branded items. Lol.
Balik lagi ke busana, saya menikmati bagaimana designer tersebut mendapatkan ide dan menuangkannya dalam sebuah karya seni. Saya masih pemuja Sebastian Gunawan sih, tapi pameran Didi Budiarjo ini sayang dilewatkan. Hujan deras dan kepadatan aktivitas diperjuangkan selesai cepat demi mlipir ke pameran ini.
Back to fashion, I enjoy how 1 designer get an idea and put it into a work of art. I still devotee of Sebastian Gunawan anyway, but this Budiarjo Didi exhibition unfortunately missed. Heavy rain and tight schedule did not prevent me to stop by
Memang saya akui kemampuan saya menikmati sebatas melihat dari dekat dan memotret (dengan kemampuan sekedarnya). Ini mirip dengan bagaimana saya memuja hasil keramik F Widayanto. Punya nggak ? Tentu saja tidak. Sanggup beli ? Belum. Bahkan partner saya bingung semua pakaian tersebut kapan bisa dipakainya dan bagaimana supaya bisa muat di tubuh saya. Hih.
I had to admit I only able to look closely and take pictures (with modest abilities). This is similar to how I adore ceramic of F Widayanto. Do I have their artworks? Of course not. Am I able to buy? Not Yet. My partner even confused how all the clothes can be worn, when will I wear it and how that can fit in my body. Ugh.
Atelier
Ruangan pertama pameran Didi Budiarjo adalah Atelier. Ruangan yang menjelaskan tentang dari mana ide Didi Budiarjo dituangkan dalam kolase. Ide ini bisa didapat dari buku maupun kehidupan sehari-hari yang ia temui. 2 gadis pemandu tur mengarahkan kami sehingga kami tidak berjalan dalam kelam hanya sekedar menyapu tiap ruangan tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi.
The first room : Atelier. This room describes how Didi Budiardjo’s idea grew and poured in a collage. His idea can be obtained from books and his daily life. 2 tour guide led us so that we did not walk in darkness just swept every room without understanding what is actually happening.
Prelude
Ruangan ini menggambarkan pernyataan tegas dari Didi : setiap busana adalah putri saya. Semua pengerjaan terukur dan rapi
White
jeprat jepret jeprat jepret. Kurang lebih begitulah yang saya lakukan begitu melangkah di ruangan ini. Semua karya unggulan dalam warna putih tersaji di sini
Boudoir
Sulammm.. Saya sangat mencintai sulam. Mungkin karena tidak bisa membuatnya mungkin karena permainan warnanya. Yang jelas saya menikmati blazer disulam.
Faith
Ruangan ini membuat saya ingin berdoa rosario.. Hehehe.. 3 gaun ditampilkan dengan sentuhan iman percaya Didi. Katholik. Jadi harap maklum jika satu gaun memiliki jendela di dada dengan ornamen Bunda Maria, 1 gaun dengan salib di dada dan 1 gaun dengan tenunan Bunda Maria
This room makes me want to pray the rosary .. LOL .. 3 dresses displayed with the touch of his faith : Catholic. It is understandabky one dress has a window in the chest with ornaments of Mary, 1 dress with a cross on the chest and 1 dress with woven of Mary and Baby Jesus
Voyage
Di ruangan ini Didi mengkombinasikan kain yang merupakan koleksi Museum Tekstil sebagai latar dan rancangannya. Memang tanpa padu padan seperti ini, koleksi Museum Tekstil menjadi tawar. Harap dimaklumi jika mungkin ada koleksi yang salah ruang ya
In this room Didi combines Museum of Textile collections with his artworks. Indeed, without a fierce match like this, Textile Museum’s collections began to sour. Please forgive me if I put his artworks in wrong room
Gula Kelapa

Gula Kelapa menampilkan 1 rancangan Didi yaitu kebaya Veronica Tan yang dipakai ketika pelantikan Basuki menjadi Gubernur DKI. Selebihnya adalah koleksi batik kuno dengan motif yang sudah punah.
Brown Sugar offered 1 of his kebaya : kebaya belongs to Veronica Tan which she wore on Ahok’s inauguration as a governor of Jakarta. The rest of the displays are his antique kebayas and batiks
Orient
Ruangan ini menampilkan koleksi Didi Budiarjo yang mendapat sentuhan Tiongkok.
This room displays his collection with chinese style
The East
Koleksi ini diambil dari era 90an dengan latar pemotretan di India. Coba yang mana Karenina ? Hahaha. Latar ruangan ini mengingatkan saya ketika menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menikmati hasil foto busana di majalah Dewi.
Nocturne
Hitam memang tidak pernah salah. Bisa anggun. Bisa seksi. Bisa misterius
Black can not be wrong. It turns into elegance. It turns into sexiness. It turns into mystery
Paradisaes
Sayap dan jaket bulu yang terinspirasi surga
Celestial
Satu gaun yang penuh diisi kristal Swarovsky, satu gaun dengan manik seperti ombak air. Dipasang dengan memutar sehingga seperti berada di bawah lampu disko
Backstage
Ruangan ini memang posisi asli belakang panggung ketika di tahun 90an Didi Budiarjo mengadakan peragaan busana di Museum Tekstil. Era belum ada AC dan tentu saja dengan lebih banyak orang.
Finale

Ini adalah contoh maket panggung berputar hasil buatan Didi Budiarjo sendiri untuk peragaan busananya. Dia menggambarkan secara rinci di mana model harus berdiri termaduk di bagian mana dia muncul. Sayang saya tidak memiliki waktu cukup untuk melihat hasil maket ini dalam video karena tim sudah mulai membereskan perlengkapan pameran.
Saya sendiri berpikir mengapa saya menikmati setiap karya seni yang dibuat oleh orang-orang penikmat kesempurnaan. Sebelumnya saya pernah berjuang untuk melihat pameran F Widayanto. Mengapa berjuang ? Karena kebanyakan pameran dilaksanakan di Jakarta dan perjalanan Depok – Jakarta bukanlah hal yang sederhana dengan kemacetan saat ini. Namun toh saya memperjuangkannya untuk melihat. Beda dengan tawaran bertemu teman di mall misalnya. Saya pun sering merasa ingin menginap saja di pameran tanpa perlu pulang.. Mungkin karena saya tidak memiliki kreativitas seni.. mungkin karena saya bukan orang perfeksionis seperti mereka sehingga saya pun tidak bisa berhenti mengagumi setiap hasil karya yang ada
This is an example of a rotating mock made by Didi Budiardjo for his fashion show. He described in detail in which the model should stand included at the part where he appears. Unfortunately I did not have enough time to see the results of these models in the video because the team already started clearing the exhibition equipment. I myself think why I enjoyed every artwork created by people connoisseurs of perfection. Previously I’ve struggled to see the exhibition F Widayanto. Why did I struggle? Because most of the exhibition held in Jakarta. Depok – Jakarta is not a simple matter with the current traffic jam. And yet I fight to see. I even feel to stay alone in the exhibition without the need to go home .. Maybe because I do not have artistic creativity .. maybe because I am not a perfectionist like them so I could not stop admiring each existing work
3 pemikiran pada “Pertama Kali : Kesempatan Kedua dari Didi Budiarjo”