kebun raya bogor

2016 : Menata Emosi

Saya tidak pernah menduga bahwa di penghujung 2015 saya bisa melihat sesuatu yang baru (dari segi emosi). Secara umum saya adalah orang penyendiri, murung, dan getir. Jadi kalau hati ini keramik gampang sekali retak-retak dan berserakan cuma karena masalah sepele.

Seperti hari ini saya sempat banyak diam karena tetangga protes saya memberi makan nasi kepada kucing kecilnya yang terjebak di atap rumah. Protes karena nasi tumpah dan berantakan adalah wajar karena dia menjaga rumahnya dengan sangat rapi jali. Namun yang membuat saya tertohok bukan soal itu tapi soal kalimat yang diucapkan : ‘gara-gara situ ngasi makan sih’. Hanya karena ‘situ’ yang mana buat saya tidak sopan saya langsung menunduk murung. Ya e lah sist. Ya cuma gimana lagi memang saya ini bisa murung cuma karena dua tiga kata. Contoh lain banyak.

Soal kesensitifan saya ini masih tidak berubah banyak. Dari dulu juga ga kurang-kurang. Namun ada yang menguap menghilang : nangis-kalau-marah. Ini saya sadari ketika saya diprotes klien pindahan dengan memaki-maki tidak karuan pagi-pagi tanpa bisa saya interupsi. *kalau sarap saya mungkin akan memajang no telpon dan foto whatsappnya di sini plus lokasi tinggalnya sekarang untuk kenang-kenangan*. Biasanya saya cuma bisa diam, telpon berakhir, lalu menangis tersedu-sedu. Kali ini saya bisa menyahut balik dengan berteriak setara desibel yang sama dengan si penelpon. Mungkin ini akibat sering diajak argumentasi dengan Ramot. Kalau dengan Ramot mungkin saya memilih strategi: telen-aja-tunggu-saatnya-gw-samber-begitu-cukup-balasan. Kali ini saya cukup cepat menangkis.

Setelah telepon berakhir, memang saya akhirnya menangis tapi itu karena Ramot bertanya duduk perkaranya. Kalau tidak, mungkin saya cuma diam saja menunduk termenung dengan tatapan kelelahan. Itu yang pertama ya : lu belagu, gw juga brani ngelawan. Kenyinyiran gw ternyata bisa disajikan dengan suara menggelegar juga.

Yang kedua saya berhenti senewen karena menunggu. Minggu biasanya saya berangkat ke gereja jam 10 tapi ketika partner baru bangun jam 10 saya memilih tidak berangkat gereja Bapindo tapi ke Asmi. Biasanya saya memendam kesal sampai malam dan tidak pergi ke gereja sama sekali. Namun dengan kondisi saya iklas ganti jam gereja tanpa perlu melangut, saya perlu merasa terkejut karena saya seperti melihat diri saya yang berbeda. Bisa santai menghadapi orang yang ngaret lalu legowo ganti waktu adalah sesuatu yang baru dari saya 😀


Posted

in

by

Comments

3 responses to “2016 : Menata Emosi”

  1. […] menelan ludah setiap kali Ramot komentar, protes ini, protes itu, akhirnya saya pun pelan-pelan mulai cepat menjawab sekalipun seringkali masih berakhir dengan menangis seperti yang terjadi minggu lalu ketika saya […]

  2. […] menelan ludah setiap kali Ramot komentar, protes ini, protes itu, akhirnya saya pun pelan-pelan mulai cepat menjawab sekalipun seringkali masih berakhir dengan menangis seperti yang terjadi minggu lalu ketika saya […]

  3. […] menuruti keputusan Ramot enam tahun yang lalu untuk merintis usaha di Depok. Sepertinya saya sudah banyak menulis tentang bagaimana Ramot tanpa banyak berkata-kata mengupas sisi saya yang lain. Bahwasanya […]

Leave a Reply to Jika Hidup 2016 adalah Film, Maka Film itu adalah My Stupid Boss | kisah pekerja lepas Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *