Rasanya ini perayaan ulang tahun ke 33 terunik. Tepat ketika Ramot ulang tahun, dia merasakan nyeri di perut bagian kanan. Awalnya dipikir karena kram perut. Kami pun tetap melanjutkan rencana perjalanan ke Cirebon. Dengan kondisi perjalanan yang dimulai dengan terburu-buru karena bangun kesiangan, ternyata nyeri yang dirasakan tidak berkurang. Saya sebenarnya sudah ingin segera pergi ke dokter hari itu tapi Ramot memilih untuk ke dokter di Depok saja. Sabtu begitu mendarat di stasiun Jatinegara berlanjut ke Stasiun Depok, kami meletakkan barang di Iming, berangkat sebentar kemudian menuju ke Klinik Bahar Medika, tempat kami mendaftar faskes 1.
Ok, mengapa saya memilih Klinik Bahar Medika untuk faskes 1? Semata-mata karena referensi tetangga saya ketika tinggal di #pinggirpasar. Bude Ardi beberapa kali setiap sakit selalu ke Klinik Bahar dan dari pengamatan saya buka 24 jam plus selalu ramai, jadilah saya menjadikannya faskes 1 kami. Faskes 1 ini harus didatangi dulu ketika kondisi sakit tidak darurat. Jadi memang harus memilih yang dekat dari tempat tinggal sekalipun KTP kami terdaftar di Jatipadang. Di Bahar Medika tentu saja kami diperiksa dokter umum dan melakukan tes darah. Hasilnya belum cukup jelas untuk memberikan penanganan sehingga dirujuk ke Spesialis Penyakit Dalam RS Bhakti Yudha.
Kami malam itu meluncur ke RS Bhakti Yudha. Di situ kami diinformasikan bahwa loket dibuka dari jam 6 tapi diharapkan mengantri dari jam..4.30. Senin seperti dugaan saya bangun terlambat dan tidak paham bahwa cara mengantri adalah dengan mengisi bangku-bangku yang kosong sehingga saya mendapat antrian bontot. 139. Sebenarnya nomor antrian masih banyak cuma semakin beresiko tidak mendapat dokter. Setiap jam 6.30 RS Bhakti Yudha mengumumkan dokter siapa yang tidak masuk, jadi orang yang sudah mengantri dari subuh harus siap pulang untuk kembali mengantri besok. Saya beruntung dokter spesialis penyakit dalam yang saya pilih masuk hari ini.
Saya memilih dokter Devy semata-mata karena menurut bapak satpam antriannya tidak sepadat dokter Kahar. Ya sudah ikut saja. Saya baru bisa mendaftar di loket jam 9 pagi (membuat saya harus membatalkan rencana olahraga) dan mendapat jadwal dokter Devy jam 10.30. Saya menyempatkan pulang, mandi, cek hewan. Ramot sendiri meluncur dari kantornya di Pesona. Sesampainya di poli penyakit dalam, pemeriksaan hanya berjalan sekitar 15 menit. Ramot perlu melaksanakan rontgen yang mana wewenang tersebut dapat dilakukan oleh poli bedah. Dokter Devy memberikan antibiotik.
Selasa, 19 September, saya pun kembali mengantri dengan takzim. Ritme bangun pagi saya tetap saja payah. Sehingga saya mendapat nomor antrian 91. Syukurlah dokternya ada. Seperti biasa. Saya baru bisa ke loket jam 8.30 dan bertemu dokter jam 12.
Selama sakit Ramot tetap di Peentar karena cuma Peentar yang menyediakan toilet duduk dan AC. Intinya yang membuat kami langgeng sepertinya karena kami sama-sama tinggal di tempat kami bekerja. Ramot di Peentar. Saya di Rumah Steril. Eh ini topik melenceng yang harusnya cocok ditayangkan di bulan November ya. Tunggu sambungannya 2 bulan lagi
Dokter Edi langsung merujuk Ramot untuk daftar ke bagian Radiologi. Tentu saja tindakan rontgen tidak bisa dilakukan hari itu juga. Ramot perlu datang keesokan harinya. Supaya mempercepat proses, saya pun harus mendaftar kembali Rabu subuh untuk antri dokter bedah. Jadi untuk rontgennya Ramot tidak perlu antri, tapi untuk bertemu dengan dokter tetap perlu antri.
Rabu, 20 September subuh saya kembali antri. Bayangkan level kewarasan saya sudah melorot ke angka 30%. Selain karena dini hari masih harus menerima kucing yang datang untuk disteril, saya harus bangun pagi untuk antri. Saya baru bisa mendaftar jam 8.30. Segera kembali ke Rumah Steril. Dokter yang harusnya merontgen datang terlambat yang berdampak akhirnya Ramot ditolak untuk ikut antrian praktek pagi Dokter Edi. Untunglah Dokter Edi Setiyoso ini ada praktek sore. Ya to wong Jowo kuwi dikit-dikit bersyukur. Padahal Ramot sudah sempat marah besar karena berdasarkan waktu dia tidak terlambat. Hoalah. Saya lupa bilang ke Ramot.. menyadur dari alm bapak saya :
ASKES (sekarang BPJS) itu mengajar kita untuk rendah hati dan bersabar. Membaur bersama rakyat. Merasakan kaya apa jadi rakyat kecil – Alm Korsi Sebayang
Memang sebenarnya mengantri BPJS bukan hal yang baru buat saya. Sudah sejak alm bapak pensiun di tahun 1994, saya terbiasa ikut mengantri dari Puskesmas sampai Fatmawati. Tentu itu perubahan drastis ketika alm Bapak masih menjabat, ada poli khusus untuk pejabat teras di RSCM dengan dokternya saya masih ingat betul : Dokter Sibuea. Saya masih ingat di masa itu, tidak banyak pegawai negeri yang mau rela mengurus ASKES. Kombinasi gengsi dan enggan mengantri. Sementara alm bapak saya tidak peduli.
Hari itu saya rasanya perlu pecah menangis selama 10 detik mungkin karena saya sudah lelah harus memecah konsentrasi antara sterilan dan mengurus administrasi poli Rumah Sakit. Belum lagi Ramot yang protes di meja administasi. Kamis untungnya hari libur Nasional (ya to untung maning). Jadi ketika dokter Edy di sesi sore menyatakan tidak ada yang perlu dioperasi malah dirujuk ke poli Urologi Pasar Rebo, saya masih bisa menarik napas beristirahat dulu.
Saya sempat patah semangat membayangkan harus antri subuh. Di sini lah fungsi Whatsapp Group angkatan. Ada teman yang sudah pernah antri BPJS di RS Pasar Rebo. Ternyata RS Pasar Rebo tidak seperti itu. Hari Jumat, 21 September, ketika kami tiba jam 8, kami antri untuk daftar sebagai pasien baru dan jam 11 sudah bisa ke bagian urologi. Hasil USG yang kami bawa tidak cukup menjelaskan sehingga perlu uji urine. Kami bisa langsung ke laboratorium tapi tentu saja hasilnya ditunggu Senin. Di sini Ramot sudah merasakan baikan. Sekalipun Ramot diberi resep obat penghilang rasa sakit, Ramot merasa tidak perlu minum obat tersebut.
Senin tentu saja antrian sudah ramai ketika kami tiba. Melihat hasil urine yang masih dalam batas aman plus Ramot sudah tidak merasa sakit, kami pun memutuskan pulang dan tidak konsul ke Urolog. Memang tidak selesai sih kalau dari segi pemeriksaan. Awalnya dugaan usus buntu, bergeser ke masalah ginjal, berakhir tidak ada kesimpulan karena sembuh sendiri.
Namun saya pikir sudah cukup perayaan ulang tahun seminggu lebih dari Cirebon – Bahar Medika – Bhakti Yudha – Pasar Rebo. Lalu apa penyebab sakitnya? Ramot bisa berteori, saya sih berpikir dalam hati (iya gw mikirnya di hati, napa ga suka hah? hah?). Stres bisa membuka celah kondisi tubuh lemah dan bisa masuk ke manapun. Apa yang Ramot pikirkan di alam bawah sadarnya tentulah saya (pura-pura) tidak (mau) tahu yang jelas kembali mengutip alm. bapak
pikiran itu.. tembok pun ditembusnya.. melayang-layang entah ke mana-mana tahu-tahu sudah sakit (kepala).
mbak Vivi maafkan diriku yang merepotkanmu untuk steril Obon