Jadi untuk memudahkan saya menjalani hidup, target saya sederhana. Tahun depan usia saya 35 th adalah akhir dari setengah perjalanan hidup. Sisanya sudah tinggal menghitung mundur. Cita-cita saya bukan hidup lama ala Chairil Anwar tapi menyelesaikan tugas saya di bumi ini. Dengan hitung mundur, saya merasa lebih termotivasi daripada cuma menunggu. Hidup buat saya bagaikan menghadiri pesta adat. Kalau menunggu selesai, akan benar-benar jenuh. Namun kalau sudah menetapkan : eug di sini cuma sampai giliran salam-salam, beres deh. Sensasi menunggunya jauh lebih bisa ditoleransi.
(^-^)g baiklah lanjut. Belum sampai titik balik di usia menuju hitung mundur, saya harus dengan lapang dada menerima realita : rambut saya rontok mengarah ke kebotakan di sisi kanan, berat badan susah turun dan setiap pagi saya perlu berhati-hati bangun.
Teman curhat saya sekaligus asisten, Bu Yati, adalah orang yang pertama kali saya tanyakan perihal kaki saya. Tentu Bu Yati langsung bertanya apakah itu gejala rematik/ kolesterol/ asam urat? Ya Tuhan, rasanya saya tidak siap jika harus menjadi sakit.
Akhirnya saya memberanikan diri bercerita ke teman SMA saya Anggi. Terbuka bahwa saya merasa sakit itu bukanlah hal yang saya nyaman lakukan. Saya merasa perlu terlalu sehat dan kuat. Bercerita bahwa saya ada merasakan sakit itu seperti memaparkan kepada dunia bahwa saya lemah. Padahal mah dunia ga peduli saya lemah apa gak. Anggi dengan tenang menyuruh saya tes darah dulu. BPJS saja ku tak punya hu hu hu.
Dasar dokter apa-apa harus tes darah. Akhirnya saya pun mengumpulkan keberanian untuk tes darah di Prodia. Bukan karena takut jarum, tapi saya takut hasilnya. Syukurlah hasil asam urat saya bagus. Bodo amat itu ambang batas sehat menjelang sakit pokoknya angkanya okeh.
Anggi pasti di dalam hatinya sayang-sayang sebel sama saya karena dia sendiri yang menanyakan ke rekan dokter yang memang ahli rematik (atau ahli apa ya? lupa eug pokoke serius sekolahan lah gak kaya eug). Kesimpulannya saya mengalami inflamasi di tumit efek kelelahan. Oh memang saya cenderung bekerja tanpa henti. Itu semacam candu untuk jiwa yang sunyi *halahhhh topik psikologis ga tayang-tayang*
Jika seluruh perempuan pengguna Instagram asyik dengan segala rutinitas perawatan kulit muka, saya tidak jauh dari HotInCream hahahaa. Ada langkah-langkah untuk mengatasi cedera tersebut. Selain itu saya perlu mengubah alas kaki. Saya pikir sandal Swallow sudah cukup. Ternyata beneran harus empuk. Tadinya mau pakai karya anak Bangsa tapi saya tidak menemukan yang sol empuk.
Sandal Bata yang comfit tidak cukup empuk. Terima kasih kepada rekan-rekan guru di Sekolah Cita Buana yang 9 th lalu memperkenalkan kepada sepatu sandal Bettina. Akhirnya saya membeli 1. Huahahaha. Dulu saya merasa ‘sepatu nini nini’ Sekarang saya yang sibuk pakai hahaha.
Paling rencananya, satu sepatu lagi saya beli dengan sol nyaman dan hak cukup tinggi sehingga bisa masih cukup pantas untuk acara resmi. Nah atas nama Minimalisme, sepatu-sepatu yang lama akan saya berikan kepada orang lain. Ada keringanan tersendiri untuk selalu sederhana dengan apa yang ada.
Pembaruan 2019:
Setelah satu tahun kaki saya sempat parah karena lari tanpa sepatu. Saya kemudian membeli Heel Cup Gel Support di Tokopedia dan cukup tertolong ketika melakukan perjalanan jauh di Penang. Setiap harinya saya berjalan 11.000 langkah dan tidak merasakan kesetrum parah.
Saya juga pergi ke dokter minum obat radang. Dokternya ya di RSCM Kencana hasil rekomendasi Anggi.
2 pemikiran pada “Plantar Fasciitis dan Penyesuaian Hidup”