Mungkin judul di atas sekadar penghiburan, mungkin semata-mata saya butuh penguatan. Tidak mudah menuliskan soal kecenderungan saya yang depresif atau bahasa kerennya : high-function depression. Tentu saja sebenarnya penggunaan istilah ini perlu hasil analisis psikolog. Bukan asal tebak-tebakan. Mengapa saya yang notabene kuliah Psikologi tidak mau konsultasi dengan Psikolog?
- Domisili saya di Depok. Sekalipun Fak. Psikologi cuma selemparan batu, waktu yang tidak mudah diatur. Memang benar, kalau ga niat, waktu jadi ga ada. Baca dulu dong poin kedua:
- Dengan whatsapp group Psiko 2002 yang mana beberapa puluh orang menyatakan bahwa LGBTQ itu perlu disembuhkan dan bagaimana mereka sudah melupakan DSM dan memegang kitab suci mereka erat-erat bahkan di kehidupan profesionalisme psikolog, saya sejujurnya berhenti percaya dengan
teman kuliah sayapsikolog itu sendiri. - Saya merasa situasi saya masih di garis aman toleransi. Haha. Ini nyata apa memang penyangkalan

Oh ya potongan gambar itu berlaku untuk berbagai gangguan psikologis. Entah itu cutting, depresi, ataupun serangan panik. Menyarankan orang untuk bersyukur/ mendekatkan diri kepada Tuhan/ perbanyak ibadah sama sekali tidak menyembuhkan inti masalahnya. Saya bukannya tidak suka anda dekat dengan Tuhan tapi memang ada profesional yang bisa membantu anda untuk melakukan manajemen emosi. Yup, gangguan psikologis itu menurut saya bukan ditekan-tekan lalu dianggap sudah tidak ada. Selalu akan ada momen gangguan tersebut muncul. Tinggal bagaimana kita mengaturnya sehingga orang lain di sekitar kita siap menghadapi imbasnya.
Nah memang milih psikolog itu sama kaya memilih dokter gigi. Syukur-syukur dapat referensi. Ada beberapa orang psikolog yang saya percaya betul akan bisa membantu saya. Cuma kepentok jarak dan biaya. #HalahAlesanMemangGaMauDijadikanPrioritas. Eh tapi ini beneran. 2018 target saya sederhana: utang lunas dan berat badan ideal. Ga ada yang terjadi. Adanya malah saya bolak balik diduga hamil padahal saya gembrot. Oh tenang, pertanyaan soal kapan punya anak sudah tidak menjadi pemicu saya di titik nadir. Kalau itu ditanyakan oleh RING 1 (alias orang-orang yang kenal betul dengan saya), saya paham mereka cuma khawatir, nanti saya tua siapa yang urus. Nah kalau ke rakyat jelata, saya sekarang mengeluarkan jurus sakti: mengulumkan senyum lalu diam seribu bahasa sampai selesai acara. Lumayan, besok-besok orang-orang tersebut enggan ngobrol lagi sama saya karena saya dicap jutek. Bodo amat. Haha. Bantu mbayar cicilan kagak, basa basi ga pake otak.
Jadi sudahlah mari fokus 2019 ini kembali melanjutkan target tersebut:
2019: Utang Lunas dan Berat Badan Pantas
Vivi
Ada video Youtube yang menggambarkan secara singkat soal high-function depression. Ada poin yang terjadi pada saya, ada yang tidak, ada yang sedikit meleset. Orang sering berpikir bahwa orang depresi akan jatuh pada candu dalam obat atau minuman alkohol. Saya tidak senyata itu. Saya meletakkan candu saya dalam gula. Saya dilihat orang-orang di sekitar saya sibuk bekerja dan mengusahakan sesuatu untuk berhasil, orang memaklumi saya terus menerus minum kopi instan manis. Bayangkan saya menutupi depresi saya melalui pekerjaan (bukan games/ apalagi nonton) dan minum kopi tanpa ada yang memarahi atau berusaha menghentikan saya.
Saya justru memperoleh pencerahan dari orang yang juga secara resmi didiagnosa depresi dan pergi ke psikolog. Namanya Om Pir. Buku Filosofi Teras menjadi salah satu buku yang selalu ada di meja saya. Sewaktu-waktu saya berada di titik nadir, saya kembali membaca buku tersebut. Memang kalau anda perhatikan orang dengan gangguan psikologis seringkali menghasilkan karya yang luar biasa. Saya yang beberapa kali di tahun 2018 menangis sendiri atau enggan mengerjakan apapun, bisa melihat bagaimana Yayoi Kusama mengalirkan semua energinya ke dalam berbagai karya. Sementara anak Jakarta sekedar ceprat cepret swafoto #demikonten. Eh tapi terus terang saya senang bahwa lebih banyak orang yang meluangkan waktu di pameran Yayoi Kusama untuk swafoto. Mereka terlihat baik-baik saja. Bukan seperti saya yang seperti mencari teman senasib.
Baiklah ada beberapa orang yang menurut saya berkarya sambil mengatur gangguan psikologis yang mereka alami. Ada @misshotrodqueen, ada pembuat @GoodLifeCookies. Masing-masing dengan perjuangan dan keberhasilannya sendiri. Semoga cerita ini menjadi inspirasi agar anda tidak mudah berucap sok bijak yang berakhir membuat orang dengan gangguan psikologis semakin menarik diri dan enggan mencari bantuan. Untuk para anggota keluarga yang telah rela bertahun-tahun mendukung: beri tepukan bahu kepada diri, yakini bahwa tak ada yang abadi di dunia ini.
5 pemikiran pada “Tuhan Bersama Jiwa yang Depresif”