Saya itu tidak bisa memotret. Mau pakai gawai model apapun, teknologi mutakhir sekalipun, saya cenderung gagal menangkap momen tepat dari sebuah peristiwa ketika memotret. Hari ini misalnya. Saya diminta memotret momen bahagia kebersamaan keluarga setelah sekian tahun tak berjumpa, saya malah menangkap momen betapa subyek foto saya lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar ponsel daripada menunjukkan kebersamaan instagramable. Nah si orang ini malah nangkapnya beda lagi: mengapa semua fotonya menunjukkan perut gue gede banget sik? Di situ lah peran saya sebagai fotografer gagal total.
Ini mengingatkan kegagalan saya terburuk ketika saya menghabiskan 1 roll film hanya untuk menangkap peristiwa pelantikan bapak saya jadi penatua gereja dengan hasil gelap & blur. Rasanya saya tak henti menghukum diri ketika itu mengingat kebutuhan saya agar terlihat mumpuni dalam memotret di mata bapak saya (yeah-yeah alm bapak saya sudah memotret Aceh ketika film masih banyak hitam putih, sudah biasa foto anggrek dari dekat dan dia juga yang membuat album lengkap foto saya 1 album 1 usia. Album itu berhenti ketika usia saya 20 tahun. Usia dia tiada.)
Apakah suatu waktu nanti saya bisa memotret? Sepertinya tidak karena sebenarnya saya bukan orang yang telaten dan takzim menunggu kecuali menanti orang untuk kecele. Entah bagaimana koq saya malah suka merekam video. Awal sekali saya merekam video itu sebenarnya tahun 2000. Masih dengan pita kaset itu loh. Sekalipun sudah mengeluarkan uang untuk jadi keping vcd, video itu saya cuma tonton sekali karena dikomentari : apa sih ini videonya ga jelas? goyang-goyang?
Sama seperti blog ini, youtube saya sebenarnya sudah 10 tahun mengudara tapi ya tidak terkenal karena niatnya hanya untuk mendokumentasikan kejadian saat itu saja. Jika blog ini akhirnya menghapus lebih dari 100 tulisan dari penulis jatuh cinta sampai akhirnya berhenti punya cita-cita, maka video di Youtube masih lengkap utuh merekam gelak tawa saya sepanjang 1 dekade.
Memang karena saya cenderung tidak percaya diri untuk tampil di depan kamera, kebanyakan video tersebut memosisikan saya di balik layar. Semua tangkapan tersebut adalah apa yang menurut saya indah untuk direkam & dijadikan kenangan. Apakah hasil video saya sepanjang 1 dekade itu bagus? oh tentu tidak. Seseorang yang 1/6 waktu rata-rata hariannya menonton rupa-rupa video youtube menyatakan video saya jelek! Video saya ga jelas maksudnya apa. Persis seperti komentar tahun 2000 kan? 2 orang itu memang komentator ter-apaadanya yang pernah saya kenal koq. Mungkin terasa pedas karena dekat. Coba itu komen-komen di video youtube saya, mau bacotnya apa juga saya anggap angin lalu.
Koq saya masih saja unggah video sudah dikomentari hal seperti itu notabene saya ini gampang banget patah semangat? Oh karena orang tersebut adalah orang yang sama mengomentari bahwa tulisan saya lebay 1 dekade yang lalu. Sampai sekarang juga orang tersebut hanya fokus membaca tulisan saya di blog sebatas apakah titik komanya betul. Nah saya mungkin orang yang mudah patah arang, tapi saya juga orang yang kalau berurusan dengan komentator itu :
50% omonganlu gue denger, 50% gue abaikan
Viviong 2019
Lalu alam semesta menunjukkan saya untuk belajar soal audio visual selama 3 hari di Sleman. Informasi lagi-lagi saya dapatkan dari Twitter. Gak mungkin dari Facebook yang… ya gitulah.
Kemah Audio Visual bersama @watchdoc_ID diadakan kembali. Belajar videografi dengan hasil karya yang ada dinobarkan bersama warga secara langsung. Kuota terbatas, jangan sampai ketinggalan! Untuk info selengkapnya langsung klik https://t.co/dNup9dZ64G pic.twitter.com/2e5vP9DCYH
— dibalik bingkai (@DibalikBingkai) November 29, 2019
https://platform.twitter.com/widgets.js
Saya akhirnya memutuskan untuk berangkat. Aslinya saya itu suka menghemat-hemat uang untuk diri saya sendiri karena saya merasa tidak layak untuk apapun. Siapa yang mendanai saya? Lah wong lebih besar biaya pelatihan daripada gaji bulanan. Ya tentu saja melalui Tuhan yang menggerakkan hati nurani seseorang (ahzek).
Cuk icak icuk icak icuk meluncurlah saya ke Stasiun Tugu. Tiba di Jogja dini hari, saya pun melanjutkan perjalanan bersama teman satu pelatihan menuju Sleman. Burung-burung bangau yang menyambut saya ketika bangun pagi semacam memahami angan saya untuk merasakan penginapan dekat dengan alam di seluruh Plataran yang ada di Indonesia. Ga sanggup bayar Plataran yo wis di sini pun sama saja.
Hari pertama adalah hari ketika saya banyak menyebut nama Tuhan sama seperti ketika saya harus membayar gaji karyawan di penjualan yang lesu. Pelatihan ini teori-praktek-teori-praktek gitu terus dari jam 8 pagi sampai malam berlanjut.

Entah berapa gelas teh hangat dan bolak-balik ke toilet antara dingin atau was-was untuk hasil yang jauh lebih baik daripada hasil video saya sebelum pelatihan. Untunglah semesta mendukung. Di hari pertama, saya sudah tahu kesalahan fatal saya selama ini apa dan topik apa yang mau saya buat.

Hari kedua: Action! Menegangkan. Penyesuaian dengan alat yang baru saja dibelikan oleh inpestor sebelum keberangkatan dan tantangan merekam dengan HP ketika orang sedang kirab itu benar-benar membuat sakit kepala.

Apakah tantangannya sudah di situ saja? Soal mengisi suara di video pun saya masih perlu belajar. Terbayang wajah Yan Partawijaya dan Desi Anwar ketika sedang membaca berita. Ternyata bukan soal intonasi saja

Pelajaran yang masih saya terapkan betul dari pelatihan tersebut adalah pentingnya menonton semua rekaman saya sekalipun ketika melihat hasilnya alis saya mengernyit dan bergumam: aji gile bego banget sik nge-shootnya begitu gimana gue editnya malih.
Kemudian sampai sekarang saya masih menulis naskah berbentuk tabel sehingga saya dengan cepat mengetahui cerita A membutuhkan video A1, A2, A3, dst. Begitu terus sampai mendapatkan cerita utuh. Hal ini adalah yang tidak pernah terjadi sebelum pelatihan.

Apakah edit video dengan hp gampang? Ya untuk orang yang sudah terbiasa menggunakan power director di hp cina sejak 2014 ya terasa biasa saja. Paling saya menangis ketika editan terjadi di potongan awal. Karena berbeda dengan di PC, ketika di HP kita perlu menggeser potongan video satu per satu lengkap dengan menggeser rekaman suara dan potongan tulisan. Nyaho.
Akhirnya video saya jadi. Ternyata ditonton langsung oleh orang-orang itu lebih bikin haru dibanding mendapat like atau komen di Youtube. Video sederhana saya setelah pelatihan itu adalah:
Begitu selesai pelatihan, saya langsung memanfaatkan ilmu tersebut untuk merekam kegiatan piknik Sahabat perdana. Sayangnya terlalu singkat dan tidak ada wawancara partisipan supaya membuat video ini lebih menarik.
Berikutnya saya membuat ulasan tentang tali yang kami jual. Ini super bencana. Direkam dengan mengubah settingan video 4K, berakhir crash terus ketika diedit menggunakan Power Director di Pocophone. Mau rekam ulang koq saya sudah kehilangan selera. Ini seperti diharapkan untuk kembali jatuh cinta kepada orang yang gak cinta-cinta amat sama kita. #lahNyapoToIkiCuk
Masih dalam upaya berlatih sesudah kemah Audio Visual tersebut, saya membuat video ini. Sampai tulisan ini diturunkan, tidak ada yang menonton. Ya itu artinya video ini tidak menarik bagi mereka. Tidak apa-apa namanya juga belajar.
Terbaru adalah ini. Lagi-lagi kependekan. Sepatah dua patah kata dari peserta pasti akan membuat video ini lebih hidup. Cuma kondisi psikologis saya ketika membuat video ini sebenarnya juga sedang tidak baik. Ini adalah hasil karya untuk sejenak melupakan sebuah komentar di blog.
Begitulah kisah saya belajar audio visual di tahun 2019. Untuk tahun 2020 saya akan belajar buat cake. Apapun itu saya selalu berminat untuk belajar kecuali belajar hal-hal yang disodor-sodorkan kepada saya misalnya belajar menyetir mobil di jalan Depok. Jangan ditanya kapan saya kembali serius belajar Psikologi secara formal . Seiring hilangnya 100 tulisan saya tentang cita-cita dan idealisme, hilang juga optimisme saya untuk saat ini.
Saya juga sepertinya nggak ada bakat bikin video, Mbak. Hehehe… Tapi ya tetep nekat aja ngambil-ngambil klip terus digabungin, buat merawat kenangan aja. 😀
Btw, itu video-video pascapelatihan keren-keren, lho.
aduh aku terharu banget terima kasih utk pujiannya. Bakat itu cuma awalan koq. Sisanya latihan2 sampai kapok haha