Sembilan bulan hidup di tengah pandemi, saya kembali ke kebiasaan lama saya di era 2004: Nonton drakor. 16 tahun yang lalu saya sempat berbulan-bulan merasakan keterpurukan dan hanya menghabiskan waktu sebatas kuliah + nonton drakor. Itu pun budget kere hore alias nunggu dipinjamkan keping VCD bajakan dari teman saya, Vinna. 16 tahun yang lalu bapak saya meninggal. Kami tidak dekat tapi saya (merasa) kehilangan sandaran. Di situ saya memahami apa itu PTSD (post-traumatic stress disorder) yang mana itu manusiawi terjadi ketika anda kehilangan anggota keluarga terdekat atau kehilangan pekerjaan. Iya manusiawi.. terpuruk, jenuh, muak itu adalah situasi kondisi dalam manusia yang ga perlu didorong-dorong harus segera hilang dari kepala manusia. Kita bukan robot.
Di tahun 2004, ketika drakor saya tergantung selera sahabat kuliah, tontonan saya cuma Full House, Memories of Bali dan Spring Day. Setelah itu saya berhenti nonton drama korea karena saya iri bagaimana semua tokoh utama di film drakor selalu diperebutkan 2 orang yang cinta mati banget bonus bersedia dijadikan keset. Di tahun itu, selain kehilangan bapak saya kehilangan.. teman (kenapa gue jadi kaya ortu batak yg nyebut pacar anaknya dengan sebutan teman sik?).
Lalu waktu meloncat ke tahun 2020. Selama rentang 16 tahun itu saya bebas dari drakor (ini lagi ngomongin drakor apa narkoba..). Di awal pandemi, ketika orderan merosot tajam, sterilan diliburkan, dan saya ga tahu lagi cari cara menambah pendapatan untuk bayar THR karyawan, saya melarikan diri ke drakor. Sebenarnya diawali karena cekikikan lihat meme Clash Landing on You:
menyuarakan pekerja kantoran 😦pic.twitter.com/jlDfPPdObq


Ternyata 2020 ini sekelabu 2004 tapi saya jauh lebih kuat (+ lebih pinter, lebih tenang) dibanding 2004. Kalau kata bu dokter:

Saya masih selektif menonton drakor karena keterbatasan waktu dan tidak mau cerita yang mengharu biru. Berikut adalah beberapa film drakor yang sedikit banyak menggambarkan kisah hidup saya makanya saya suka hahaha. Bodo amat ga obyektif. List akan saya tambah seiring berjalannya waktu. Rata-rata film tersebut menggambarkan:
- Feminisme tipis-tipis: Speak up your mind, girl! Saya bisa kembali menikmati drakor karena tokoh perempuan film yang ada di list bawah ini tidak takut menyampaikan perasaannya. Apa salahnya gertak orang yang mulutnya asal suwit-suwitin? (When Camellia Blooms) Apa salahnya nembak duluan? Ditolak? Guling-guling nangis ya udah melanjutkan hidup (Itaewon Class) Bahwa akhirnya pria tersebut menerima dan malah mereka yang jadi bucin.. anggap aja itu bonus buat kita yang berani ngomong duluan!
- Lawan Patriarki tipis-tipis: Apa salahnya perempuan pencari nafkah utama? Sebenarnya film drakor itu mengkritisi realita di Korea Selatan bukan menggambarkan apa yang terjadi di sana. Bagaimana pria merasa harga diri terkikis karena jadi bapak rumah tangga ataupun berpendapatan lebih rendah dari istri. Padahal mikirin omongan orang itu gak nambah saldo.
- Pembelaan kepada LGBTQ, ODGJ, dan Kelompok SARA Minoritas : Korea Selatan seperti negara Asia pada umumnya masih belum bisa menerima orang dengan gangguan psikologis, individu dengan orientasi seksual berbeda, ataupun kelompok minoritas. Drakor di bawah ini secara lantang memanusiakan orang-orang tersebut sementara kita di Indonesia hanya bisa menertawakan dan risih terhadap orang-orang yang berbeda sambil bawa-bawa agama.

Itaewon Class
Amsyongnya kalau kalian naksirnya abang-abang jualan di warung dengan ambisi gede yaa, dia kelewat fokus ngejar milestone lah, target ini itu lah, seringan kehadiran kalian kelupaan diapresiasi, mau ninggalin aja si mamang, kitanya kadung cinta mati. Namun untungnya kalau kalian punya relationship sama abang-abang dagang tuh :

When the Camellia Blooms & The World of the Married
Kisah ibu-ibu dengan karirnya masing-masing yang sebenernya jauh dari gemerlap dekat dengan Ya-Gusti-Hidup-Kog-Gini-Amat. Udah bersyukur bisa untuk hidup sehari-hari. Bahwa selalu ada luka di setiap rumah tangga yang jika dibiarkan menganga hanya menjadi racun untuk semua anggota.


It’s Okay, That’s Love

Saya terlambat enam tahun menonton film ini. Yah lebih baik telat daripada nggak. Saya suka dengan diskusi-diskusi pada antar tokoh. Ketika mereka membahas Before Sunrise/ Before Sunset, membahas penanganan schizophrenia, persetujuan seks secara gamblang ketika di pacaran dan trauma masa lalu demi pulihnya hubungan mereka. Jadi teringat dengan diskusi saya bersama seseorang di mobil (kami selalu berangan-angan bahwa diskusi spontan kami ini menarik jika ditayangkan di Youtube, cuma selalu cuma berakhir wacana).

Ada drakor yang sebenarnya di luar kesukaan saya tapi saya tungguin: KINGDOM. Semata-mata karena Mbak Tabib itu adalah partner setara dengan putra mahkota. Ga ada cinta-cintaan. Profesionalisme kerja di tengah intrik pulitik sebuah kerajaan ketika ada wabah.
Because This is My First Life
Menonton ini sama seperti Its Okay Thats Love semacam bercermin atas hidup sendiri dan hidup perempuan Indonesia lainnya. Tentang Ruang 19 itu kena banget sih di gue.


Okey segitu dulu list drakor saya. Akhir kata:
Selain di hadapan Tuhan, hanya di depan drakor saya bisa menangisi dan menertawakan hidup
Vivi Alone – 2020
Baru terasa setelah tiada bahwa keberadaannya sangat kita rindukan…