Pengalaman ke Psikiater Pakai BPJS Kesehatan

Saya akhirnya memutuskan menuliskan pengalaman saya ke psikiater pakai BPJS KES karena survey kecil di Instagram :

Ig story 16 Feb 2021
Hasil survey setelah 24 jam

Ada 2886 penyimak media sosial saya dari 20.000 an pengikut. Lalu dari 2000 an orang ini ada 381 orang yang ketika di suatu masa menghadapi kasus seperti saya atau masalah psikis lainnya baru tahu bahwa BPJS KESEHATAN menanggung luka batin kita juga. Cedera psikis perlu juga diobati seperti penyakit fisik lainnya karena seringkali cedera psikis adalah awal mengapa orang yang terlihat sehat bisa stroke, serangan jantung, diabetes dan tentu saja bunuh diri.

Saya hanya menuliskan blog ini karena ada

Ada 500 orang memilih untuk membaca tulisan yang pastinya bakal panjang dan lebar ini. Jadi silakan melanjutkan membaca jika anda adalah bagian dari 500 orang tersebut:

22 Januari 2021, saya menghubungi teman SMA saya yang notabene seorang dokter untuk merekomendasikan psikiater/ psikolog di RS UI mengenai kasus yang saya alami: perundungan daring. Di 22 Januari itu juga saya pergi ke klinik Bahar Medika sebagai faskes 1 saya di BPJS KES untuk meminta surat rujukan ke psikiater.

Saya masih bisa merasakan momen ketika saya memasuki ruang dokter umum klinik Bahar Medika. Saya berusaha menata kata-kata saya untuk terlihat kuat tapi hari-hari itu seperti kepala saya dicelupkan diangkat ke dalam air berulang-ulang. Kadang saya bisa cukup sadar bekerja, sering saya hanya berakhir menangis dan stres sendiri.

Untuk orang-orang yang akhirnya tahu masalah perundungan daring memang mereka setuju bahwa yang saya hadapi berat karena ini menyangkut dengan trauma 5 tahun yang lalu tidak diselesaikan dengan konsultasi ke profesional. Saya ketika 2016 sok-sokan merasa bisa mengatasi post traumatic stress disorder saya sendiri tanpa menghubungi teman saya yang sudah jadi psikolog profesional atau pergi ke psikiater. Akibatnya adalah double impact di 2021. Luka lama kembali menganga dan saya tidak siap.

Saya bisa paham soal post traumatic stress disorder dan menyadari bahwa di Januari 2021 tersebut saya sudah butuh psikiater karena saya sendiri memiliki latar belakang Psikologi. Akan tetapi, saya belum melanjutkan kuliah sampai psikolog sampai sekarang. Jadi saya tahu ada luka tapi ya tidak terakreditasi untuk operasi luka tersebut.

Dokter umum sepertinya menangkap air muka saya yang sudah kelelahan secara mental sore itu. Surat rujukan keluar dengan diagnosa : Acute and transient psychotic disorders.

Saya tidak bisa memilih RS Univ Indonesia karena RSUI tipe B. Saya harus memilih tipe C dulu. Tentu saja saya kembali memilih RS Bunda Margonda. RS yang sama tempat saya operasi myoma sekaligus memang psikiaternya adalah rekomendasi dari kenalan saya di Twitter, Mba Merry MP.

Mengapa berbeda antara surat rujukan dengan tebakan saya? Lah itu. Kan sekolah saya cuma sampai sarjana. Aslinya dua diagnosa itu masih di payung yang sama di DSM-V. Apa itu DSM-V? Perlu dijelaskan di sini? Atau google aja sendiri?

Jadwal psikiater baru ada Selasa. Jadi Jumat, Sabtu, Minggu adalah hari-hari terkacau saya karena perundungannya tetap berjalan, saya tetap baca komen-komen negatif yang diarahkan kepada saya tanpa ada yang mendampingi saya secara kuat. Jangankan mengobati trauma 2016, cerita saja tidak bisa saya sampaikan ke sembarang orang. Kombinasi sangking takutnya sekaligus ada perasaan yang perlu dijaga.

Ketika Selasa akhirnya datang, hal pertama yang saya ucapkan ke psikiater adalah: saya butuh kembali bekerja normal.. Saya cuma ingin bisa mikir kreatif.. bukan cuma otak yang bisanya kerja printilan itupun sambil nangis.

Begitulah sebuah perundungan bisa menghantam seseorang. Mungkin buat orang lain, perundungan bisa dihadapi dengan lawan balik aja. Cuma di kasus saya, saya cuma bisa meringkuk pasrah terjun bebas dalam rasa bersalah. Iya. Sangking kacaunya isi kepala, saya merasa saya layak untuk mendapatkan perundungan.

Saya ingat bagaimana dokter Nina bertanya dengan sangat penuh empati sekali, ‘saya tahu ini tidak akan nyaman untuk diceritakan, tapi boleh dikasitahu apa yang sebenarnya terjadi waktu itu?’

Seketika airmata saya pecah. Persis seperti seminggu sebelumnya ketika saya konsultasi dengan psikolog masalah trauma masa kecil saya. Saya merasa didengarkan dan untuk pertama kalinya dalam hidup orang tidak ujug-ujug menawarkan solusi A, B, C, D kepada saya. Penyelesaian masalahnya tetap diserahkan kepada saya tapi saya seperti merasa dapat pencerahan tentang apa saya yang harus lakukan.

Setelah konsultasi tersebut, saya mendapatkan resep obat sekaligus sebuah petunjuk : hilangkan stresornya. Jadilah hal-hal yang membuat saya stres saya hapus. Setelah hari Selasa, saya akui obatnya bekerja. Pola tidur saya sangat terjadwal sekali. Saya bisa berpikir tenang dan terang. Saya sebagai orang yang cenderung berlarut dalam mengasihani diri sendiri, baru kali ini bisa beneran melihat diri saya berdiri tegak. Sebenarnya perundungannya tetap berjalan beberapa hari setelah saya ke psikiater. Namun saya memilih untuk tidak membaca lagi komen-komen negatif tersebut.

Saya sempat lengah hanya minum obat sampai lima hari. Sehingga di sesi kedua kami, saya mendapat teguran dari psikiater:

Trauma dari bertahun-tahun bagaimana bisa tuntas hanya dengan minum obat beberapa hari? | okey okey dok abis ini VV disiplin habisin obat dan datang sesi! Janji!

Merayakan ultah ke-37 setelah sesi ke-2

Setelah sesi kedua, saya pun mulai membuka diri kepada teman SMA dan teman kuliah saya. Juga kepada pendeta dan mama saya. Kata-kata pendeta saya yang bilang bahwa saya sudah diampuni satu kali untuk selamanya tentu hanya akan masuk kuping kiri keluar hidung kanan jika saya tidak minum obat. Apa yang diresepkan ke saya membantu sekali untuk saya selalu berpikir dalam terang. Bukan Vivi yang berpikir dalam murung dan sendu.

Ada satu momen ketika teman kuliah saya yang butuh kepastian apakah sahabatnya ini benar-benar sudah baik atau pura-pura tegar. Dia bertanya:

Kamu bersandar pada siapa jika sewaktu-waktu perundungan itu mulai lagi?

Saya tahu menjawab ‘bersandar kepada Tuhan‘ pasti akan berakhir digetok dengan garpu karena jelas itu bukan jawaban yang dibutuhkan kalau kalian sesama nak Psikologi. Saya untuk pertama kalinya merasa terharu bahwa orang di luar sana yang merasa saya selalu kuat ternyata sebenarnya memang butuh bersandar. Saya pun dengan mantap menjawab : bersandar ke psikiater!

Hahaha. Memang setelah tiga sesi setiap minggunya, saya dinyatakan bahwa sesi dilanjutkan setiap bulan sampai mungkin enam bulan. Namun dokter Nina membuka pintu klinik seluas-luasnya. Jika sewaktu-waktu saya drop karena satu hal dan lainnya, saya bisa datang sekalipun jadwal konsultasi saya belum saatnya.

Kesimpulan:

1. Saya bersyukur bahwa saya memutuskan ke psikiater. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya setiap harinya merasa damai dan bersyukur

2. Benar kata kartu dari Dameria. Depresi tidak menyampaikan realita yang sesungguhnya.

10 pemikiran pada “Pengalaman ke Psikiater Pakai BPJS Kesehatan

  1. Baru tau kalo BPJS bisa buat Konsul ke psiater…
    Makasih ka sharingnya..
    Bermanfaat sekali🙏

  2. i’m happy for you kak! btw kalau aku mau tanya lebih jauh perihal psikiater dengan bpjs ini bisa menghubungi kakak lewat apa ya? thanks before

  3. Terima kasih banyak, Mbak Vivi! Kebetulan aku juga di area depok dan memutuskan kalau yes, i need a professional help. Artikel mbak sangat, sangat informatif. Bless you, mbak 🥺🙏🏼

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s