Pernahkah engkau mendengar tentang disonansi kognitif? Itu lah yang kualami beberapa pekan ini, Ibu. Sebuah kondisi disonansi kognitif yang memang telah lama tersusun satu per satu dan ketika sudah sampai puncaknya, aku perlu menerima kenyataan bahwa aku tidak akan pernah mendapatkan jawaban.
Ini adalah pekan ketiga setelah kematianmu. Tepat di waktu seperti ini, tiga minggu yang lalu, aku harus menerima kabar tentang kondisimu yang kritis. Sejam sebelum info tim medis, aku sudah tidak tenang. Dengan jantungku berdegup, aku berlutut dan glossolalia terlama dalam hidupku. Apakah karena kita memiliki kontak batin sehingga tanpa perlu ada pernyataan medis aku sudah merasakan ada yang tidak beres? Jika kita memiliki kontak batin seperti gambaran umum hubungan ibu dan anak perempuannya mengapa banyak hal yang aku bingungkan sejak 12 tahun kita memilih hidup tidak di satu atap yang sama?
Aku jadi bertanya apakah aku selama ini mengenal ibu atau aku cuma mengenali gambaran idealku tentang ibuku sendiri? Seperti kicauan Adjie Santosoputra:
Ketika kita mencintai seseorang, barangkali kita sebenarnya enggak pernah mencintai senyatanya orang itu. Kita hanya mencintai asumsi, gambaran di pikiran kita mengenai orang itu.
Adjie Santosoputra – 2022
Jika aku diizinkan menoleh tentang perjalanan hidupku selama 12 tahun terakhir, maka aku bangga pada diriku sendiri karena aku jauh lebih tenang, aku jauh lebih ramah, dan aku jauh lebih nyaman dengan diriku sendiri. Banyak pemikiranku 12 tahun yang lalu sudah kutinggalkan karena kuanggap usang dan beracun. Beragam pola pikir dan gaya hidup baru muncul juga di hidupku. Sesuatu yang aku tidak pernah tahu apakah aku diapresiasi atas itu, Ibu?
Tiga minggu ini, mungkin sampai tiga tahun ke depan, atau tiga puluh tahun yang akan datang, aku masih menyimpan satu dua pengandaian. Andai aku lebih mengalah. Andai aku lebih tegas. Entah aku bingung harus memilih pengandaian yang mana.
Tahukah ibu ada satu hal yang tidak bisa kulepas dari indoktrinasimu. Aku tidak pernah bisa percaya pada manusia lain. Aku selalu siap membangun tembok tinggi dan tebal antisipasi bahwa orang akan melukaiku. Aku tidak tahu apakah 1 hal ini akan luruh atau menjadi semakin pekat seiring berjalannya waktu.
Beberapa hari yang lalu bulan purnama. Aku memotret dan sudah berpikir mengirim ke WA seperti biasa setiap kali kita melihat purnama dari kota berbeda. Sekarang, aku hanya monolog : hari ini purnama. Tanpa ada yang memahami betapa sebuah purnama meninggalkan jejak kenangan berkesan.

Satu pemikiran pada “Solilokuiku tentang Ibu”