Intonasi & Pilihan Kata yang Salah Kaprah

Saya sampai bertanya kepada Tuhan apa yang perlu saya pelajari ketika secara berturut-turut 4 orang dalam 7 hari membuat saya terkaget-kaget. Ada kesamaan dari ketiganya : intonasi bicara yang hadeuh salah banget ini masuk nadanya.

Jadi secara beruntun orang-orang ini menggunakan nada bicara atau pemilihan kata yang membuat orang lain (khususnya saya) terkaget-kaget sehingga dalam hati ingin berbicara : wow merasa paling penting sekali ya anda? Selengkat asik nih? Tentu kepada ke-4 nya selengkat itu hanya terjadi dalam benak saya saja. Selebihnya dengan penuh perhitungan saya berkomunikasi dengan mereka. Iya komunikasi aja perlu berhitung.

Gini Doang, Gue Bayar Sekadarnya Ya!

Buat saya, mereka ini bermental menjadikan orang-orang yang terlihat lemah di sekitarnya cocok dijadikan budak. Instingnya langsung pengen bayar murah kalau perlu gratis. Mereka dengan intonasi bicaranya terkesan memerintah sehingga orang bukannya tergerak menolong malah tersulut untuk mengabaikan. Memanggg orang-orang ini biasanya datang dari kelas ekonomi menengah ngehe dan dari kelompok masyarakat tertentu. Namun kalau dulu mungkin saya agak terintimidasi dengan orang-orang ini karena merasa kere hore, sekarang saya tetap ga semapan mereka tapi cukup ahli menunjukkan komunikasi non verbal ‘saya-tidak-suka-dengan-perilaku-anda-mundurlah-atau-saya-akan-mengaum-habis-ini’ mirip mirip kaya kucing mendesis, saya melihat dengan tatapan tajam tidak berkata-kata sama sekali, bedanya dengan kucing saya mendesis dalam hati.

Oh Aku Berhak Balik Badan. Aku Kan Selalu Punya Alasan!

Orang-orang ini bisa dengan lantang percaya diri berkata-kata, berbicara dengan intonasi saya-lah-mahluk-ideal- selalu menjaga keseimbangan antara kerja dan keluarga. Selamat ya. Ambil pialanya sana. Untuk orang-orang seperti ini, saya bahkan tidak menyediakan celah sedikitpun untuk komunikasi non verbal. Saya langsung pasang di kepala nol respon atas apapun pernyataan dia di masa depan. Gak cucok aza. Dia orang baik untuk keluarga, nusa dan bangsa. Butuh waktu lama memang untuk saya sadari bahwa mereka hanya menggunakan keluarga sebagai tameng. Besok mamanya, besok lagi anaknya, besok lagi ipar tiri pakdenya.

Apapun Masalahnya, Orang Lain yang Nanggung Salahnya

Ini emang dosa pertama banget manusia sapiens kayanya. Demen banget nyalahin ular lah, nyalahin partnernya lah. Kayanya harga diri dan pakaiannya otomatis terkoyak-koyak kalau mengakui tulus ‘iya ini kesalahan saya, maaf ya‘. Gak perlu disambung tapi kan. Nah yang bikin orang pengen slepet balik biasanya disampaikannya pun dengan nada nyolot tanpa dosa. Saya paham sih orang yang cenderung menyalahkan orang lain ketika ada masalah karena kepercayaan dirinya akan seketika amblas ketika mengakui kesalahan. Ya belajarlah untuk menerima kenyataan dan langsung merasa tidak berharga. Kita selalu bisa tetap bisa mengakui kesalahan dan bertindak secara perwira.

Apapun Diskusinya, Aku Suka Perdebatannya!

Saya tidak tahu dengan anda, tapi entah mengapa saya secara rutin bertemu dengan orang-orang yang memang menikmati perdebatan. Saya sendiri dibesarkan dalam keluarga yang kudu wajib pandai membaca situasi sehingga ketika saya melihat bahasa tubuh lawan bicara saya ada ketidaksetujuan, saya pun mencoba kalem. Namun orang-orang yang memang memperoleh energi dari adu argumen, membaca bahasa tubuh bukanlah keahlian mereka. Ketika lawan bicara memilih diam, dia melihat sebagai kemenangan : tuh-kan-emang-pemikiranku-gilang-gemilang-kaya-masa-depan-anaknya-Bill-Gates.

Saya mah dari lubuk hati terdalam bawaannya ingin menghakimi ke-4 orang tersebut dengan:

Itulah ke-4 tipe gerombolan yang dimasukin neraka cuma bikin penuh, dimasukin sorga bikin gerah

Vivi Alone 2023

Namun siapa saya merasa yakin bisa menggolong-golongkan manusia mana yang cocok masuk surga mana masuk neraka? Apakah ketiga perilaku itu bisa berubah? Ya bisa lah. Percayalah aslinya mereka sebenarnya merasa frustasi karena mereka merasa tidak didengarkan atau merasa dihindari oleh orang lain tapi karena nada bicaranya sudah terlanjur dengan nada tinggi menukik bagaikan pemain bulu tangkis siap smash, maka sepanjang hidup mereka gak ada yang ngasitahu. Tarulah kalau ada yang percaya diri untuk menyatakan keberatan atas cara bicara mereka, maka butuh 3 sampai 4 kali pengalaman ditegur orang untuk hal yang sama baru mereka tercerahkan. Koq gitu? Iya kalau ditegur sekali, manusia cenderung menyalahkan penyampainya tapi kalau sampai 4 orang berbeda memberi masukan untuk perkara yang sama maka pelan-pelan mereka sadar:

Perilaku manusia itu pada dasarnya terbentuk oleh tiga hal:

  • Pengalaman masa lalu
  • Nilai-nilai yang ia anut
  • Level kemampuan regulasi emosi

Pengalaman Masa Lalu & Nilai yang Ia Anut

2 hal ini menurut saya koq lagi-lagi kuncinya dari pola pengasuhan di keluarga. Jangan langsung memicingkan mata menyalahkan broken home sebagai sumber masalah seorang individu berkomunikasi. 4 perilaku di atas sangat bisa datang dari keluarga baik-baik yang penuh kasih sayang, rajin beribadah, berpendidikan tinggi dan tidak memiliki catatan kriminal. Namun, hanya karena seseorang dengan bobot, bibit, bebet paripurna, bukan berarti individu tersebut menguasai cara berkomunikasi empatik loh. Berkomunikasi empati itu minimal sadar dengan nada bicara yang dipilih dan bisa membaca situasi atau bahasa tubuh seseorang.

Bayangkan jika ia dibesarkan dalam keluarga baik-baik, ketika mengomentari calon presiden saling sahut satu sama lain, saling potong satu sama lain nyaris gak ada yang mendengarkan tapi abis itu mereka bisa melanjutkan hidup seperti gak ada apa-apa? Makaaaaaaa, begitulah ia berpikir orang-orang di luar sana akan bersikap. Pada kenyataannya, orang lain bisa jadi memilih diam ketika ada perbedaan pendapat. Mana yang benar mana yang salah bukanlah inti tulisan ini dibuat. Namun bagaimana menemukan titik temu sehingga ada solusi semua tenang, semua menang.

Level Kemampuan Regulasi Emosi

Lagi-lagi ini kuncinya dari cara ia dibesarkan. Tolong jangan langsung meletakkan beban untuk mengajarkan regulasi emosi kepada ibu mentang-mentang ayah bekerja tak jemu-jemu. Ibu yang bisa menghasilkan keturunan untuk keluarganya belum tentu sebenarnya sudah selesai dengan dirinya sendiri. Seringkali rasa frustasi ya dilimpahkan ke anak. Lalu individu yang masa kecilnya adalah sasaran tembak frustasi ibu apa jadinya ketika dewasa punya regulasi emosi yang payah. Ya nggak juga lah. Perjalanan hidupnya kan panjang. Seiring berjalannya waktu, ia bertemu orang-orang yang memberi pelajaran dan pencerahan.

Titik awalnya dimulai dengan adanya kemampuan menganalisis diri bahwa ada yang salah dari tindak tanduknya. Bisa jadi masukan datang dari orang lain. Mungkin awal-awal ada kecenderungan penolakan karena apapun terjadi manusia enggan bercermin diri tentang kekurangannya. Namun ya kembali lagi ke individu tersebut apakah ia ingin menghabiskan hidup di bumi menjadi ganjalan atau menjadi penghiburan untuk orang lain. Saya selalu ingat drakor kesayangan :

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s