Saya bisa nulis di atas dengan kondisi saya sudah pulih dari rasa frustasi yang saya alami bertahun-tahun di blog ini. Saya pernah di masa merasa bersalah ketika istirahat alias nyaris tidak bisa berhenti bekerja. Sebuah stresor besar muncul sebagai pelengkap penderita, saya akhirnya berakhir hampir 2 tahun di psikiater.
Jadi para hadirin, seriusan saya menulis ini bukan sebuah bentuk keputusasaan tapi semata-mata memberi gambaran bagaimana proses saya tetap penuh damai sejahtera. Ke psikiater memang bisa dibayari, tapi frustasinya, sesaknya, kemarahannya ya dirasakan sendiri.
Titik tolak saya membahas ini dengan acuan film Everything Everywhere All at Once. Sejujurnya saya senyum-senyum sendiri menulis ini. Berasa balik ke era kuliah 18 tahun yang lalu: tugas nonton lalu bikin analisis Psikologinya. Hehe. Apakah ini momen yang tepat untuk mengulangi pernyataan saya bahwa orang Psikologi itu kerjaannya mengamati perilaku orang? Bukan beramah-tamah sama orang? *Udah Vi udah. Masih aja dah*
Evelyn adalah seorang perempuan yang memutuskan pindah ke Amerika Serikat kemakan omongan pacarnya bahwa penghidupan mereka lebih baik dengan buka usaha binatu. Bertahun berjalan, ia mendapati dirinya cuma sibuk menjalani kehidupan manusia paska menikah pada umumnya :

Tidak ada lagu cinta yang menggambarkan paska pernikahan karena isinya soal membayar cicilan dan biaya bulanan. Belum lagi keluarga minta transferan
Vivi Alone 2023
Evelyn seperti perempuan Asia pada umumnya yang dibesarkan untuk mahir dalam mengurus rumah dan membesarkan anak, merasa perlu terus menerus terlihat paripurna di depan orang tua satu-satunya : usaha berjalan baik, tidak lupa menyiapkan makanan, merayakan ulang tahun dan memastikan anaknya berperilaku sesuai adab keluarga. Semua ia letakkan sendiri di bahunya seperti seolah-olah cuma dia yang bisa mengerjakan itu. Suaminya terlihat terlalu tidak kompeten. Kalaupun ada kompetensinya ya.. sebatas jika diinstruksikan, kalau gak dikasitahu ya plenga plengo.
Saya bisa berempati kepada Evelyn. Pindah tempat tinggal itu salah satu peristiwa hidup yang memicu stres (ini ada penelitiannya ya. Memang pindah tempat tinggal itu poinnya cuma 20 dibanding ditinggal mati pasangan hidup yang poinnya 100). Saya ingat betul ketika saya CUMA pindah dari Pasar Minggu Jakarta Selatan ke Beji Depok yang jaraknya 12 km, saya stres dan terpuruk cukup lama. Ketika saya menyampaikan hal tersebut kepada orang yang saya percaya responnnya cuma bilang santai ke saya, ‘cuma pindah ke Depok doang‘. Ketika itu saya cuma terdiam sambil menyimpan dendam ‘j*mb*t sekali pernyataan orang ini’. Sekarang saya paham bahwa jika caranya untuk membuat orang lain nyaman menjalani hidup adalah dengan mengecilkan perkara yang disampaikan, sudah sepantasnya saya menerapkan kata-kata Yesus di kayu salib:
Ampunilah dia karena ia tidak tahu apa yang ia katakan
Penyerapan Bebas dari Lukas 23:24
Bayangkan stres pertama, Evelyn sudah nekat pindah. Kemudian stres kedua, mengelola binatu sebagai imigran. Ini hal yang selalu diukur terlalu over optimis oleh orang awam. Etnosentrisme atau biar gampangnya rasisme itu menyebar dan mengakar di mana mana. Kelompok minoritas cenderung berkumpul dengan sesamanya karena merasa asing dengan lingkungan baru, kelompok mayoritas selalu melihat kelompok minoritas itu berbahaya karena mereka berbeda.
Stres ketiga kalau gak mau disebut frustasi ya ketika dia pikir suaminya yang pegang kendali penuh pada kenyataannya dia yang harus menjalankan orkestra keseharian. Evelyn harusnya ingat kata-kata Margaret Thatcher:

Sebenarnya jika diperhatikan dengan seksama, Waymond memang sepertinya tidak punya peranan penting di wirausaha mereka yang nyaris disita negara tapi Waymond melakukan hal-hal sederhana yang membuat klien nyaman datang ke binatu mereka. Ketika Evelyn memiliki prasangka bahwa klien mereka tidak suka kepada orang Cina, Waymond dengan senyumnya meyakini bahwa si klien tidak seperti yang di kepala Evelyn. Tuh kan bener kata Ibu Thatcher.
Untuk orang yang pernah di kondisi depresif, saya paham betul dengan kecurigaan Evelyn terhadap klien yang ia duga rasis. Saya juga begitu koq. Bukan salah orang lainnya. Memang salah sistem kepalanya ada yang konslet-konslet dikit tapi disangkal terus menerus.
Lanjut!! Evelyn adalah gambaran: ibu yang tidak bahagia dengan mudah energi pahitnya diserap oleh anak perempuannya. Hey, saya lagi gak sedang menyindir hubungan anda dengan anak perempuan yang beranjak dewasa/ ibu anda loh ya. Saya sedang melihat diri saya sendiri dengan alm ibu saya ketika melihat Evelyn dan Joy.
Pindah ke Joy. Apa yang ia bisa banggakan? Kuliah tidak selesai. Pacar bukan idaman orang tua. Apalagi mengharapkan adanya cucu. Dah lah. 11 12 lah dengan saya. Muahaha. Kombo juga koq. Sama seperti alm ibu saya, Evelyn berusaha berpikiran terbuka dengan tetap tersenyum di depan anak dan pasangan anaknya tapi ya itu tadi anak perempuan selalu bisa menyerap bahasa non verbal ibunya. Sementara anak laki kudu ditelpon dulu baru transfer uang. Gak usah lah tersindir kalau ini bukan soal keluargamu ya.
Baik Joy dan Evelyn sama-sama gak jadi apa-apa koq. Memang akhirnya Evelyn bisa ‘melihat’ kalau dia nurut orang tua, dia bisa lebih sukses, terkenal, dan lebih kaya tapi toh ya pada akhirnya yang dia ingin pertahankan adalah kehidupannya dengan Joy di binatu yang usahanya-sih-rame-ya-tapi-koq-profitnya-ga-ada. Oh Tuhan, gue banget inih mah.


Kedua gambar di atas adalah isi kepala Joy yang selalu melihat gelapnya dan Evelyn yang menganggap begitulah-hidup. Isinya sama, cara persepsinya beda. Evelyn gak hepi itu jelas terpampang nyata, tapi dia gak sampai segitunya terpuruk dalam duka. Sementara Joy sebagai orang yang menyerap pahit ibunya ditambah hal-hal yang ia lihat sebagai kegagalan melihat segalanya kelabu. Kondisi Joy ini dari sisi psikologis wajar adanya. Ada hasil penelitian follower media sosial kita gampang terpantik untuk ikut-ikutan kesal kalau postingannya negatif bahkan bisa lebih kesal pembaca daripada si pembuat konten, tapi begitu postingannya sesuatu yang bahagia atau positif, follower nyaris tidak ikut merasakan energi positifnya. Artinya menyebarkan kepahitan sedikit saja dampaknya bisa pekat, menyebarkan sukacita sebanyak-banyaknya dampaknya tidak terasa. (Hasil penelitian nyusul). Bayangkan media sosial saja begitu, apalagi peran seorang ibu kan? Kan.
Ini bagaikan menggambarkan saya sebelum dan sesudah sesi panjang ruang poli jiwa. Saya tetap tidak masuk 30 under 30 nya Forbes Indonesia, saya tetap tidak bisa pasang status WA sedang olahraga golf atau sandaran di kendaraan terbaru, tapi pandangan saya berubah dari menatap bagel gosong ke mata boneka. Evelyn yang menarik Joy untuk sama-sama menerima bahwa gak-pa-pa-gak-jadi-apa-apa, bagai proses transisi saya dari melihat segala sesuatu ada dukanya menjadi segala sesuatu ada hikmahnya. Lompatannya terjadi menurut saya karena dua hal: sadari dan kasihi.

Biasanya orang pada umumnya ingin segala emosi yang dianggap negatif cepat hilang menguap begitu saja. Apalagi orang Asia terlalu sungkan untuk mengungkapkan bahwa ia frustasi, terpuruk, sedih, kecewa, kecele. Joy dan Evelyn beruntung bahwa mereka bisa membicarakan itu seperti saya dan alm. Mama saya 20 tahun yang lalu. Keluarga baik-baik Asia pada umumnya tuh terlihat kompak akur bahagia karena memang yang dibahas ringan-ringan saja. Gak ngomongin seks, tidak ngomongin uang, tidak ngomongin kematian, pokoknya selama semua anak ada di dalam pernikahan, punya pekerjaan dan punya keturunan, cukup sudah.
Bersyukurlah kalian yang memiliki ruang aman untuk dengan jujur bilang bahwa ‘gue malu umur segini gak ada pencapaian apapun yang bisa dibanggakan’, karena itu adalah awal yang baik untuk memulihkan luka. Ruang aman ini gak kudu keluarga ya. Saya paham Evelyn dan Joy cukup beruntung dalam hal ini. Namun, hanya karena keluarga kita tidak cukup memiliki kemampuan mendengar yang baik, bukan berarti kita tidak memiliki kanal untuk mencurahkan apa yang kita rasakan. Nah buat saya, menulis adalah langkah terbaik untuk penyadaran perasaan.
Langkah kedua adalah mengasihi diri kita yang terpuruk, frustasi, dan kecele itu. Memaksa-maksa untuk bangkit berdiri tegar dan berpikir positif hanya membuat kita semakin terpuruk. Temani saja. Kasihi saja. Pemulihannya mungkin tidak segera. Biarkan diri kita pelan-pelan bangkit. Kalaupun baru kuat satu kaki, terseok kembali selalu kasi kesempatan untuk mencoba merangkak lagi. Tidak ada orang di bumi ini yang sanggup mengasihi kita dalam kondisi apapun selain diri kita sendiri. Tips, setiap berhadapan dengan diri kita yang hanya mau melihat sisi gelap hidup, jangan dengan lawan habis-habisan tapi kasihi tanpa syarat sampai akhirnya bisa dideklarasikan secara jelas:

Menyatakan secara lantang bahwa pada akhirnya kita bangga dan nyaman dengan diri sendiri menurut saya sangat perlu dilakukan agar tubuh, jiwa, roh kita sinkron menyadari fakta baru tersebut. Kalau saya ya menulis di blog ini. Kalau orang lain ya terserah regulasinya bagaimana tapi kalau cuma sekadar diam-diam dalam hati tanpa dengan lantang menyatakannya maka (menurut saya loh ya) energi positifnya ga sedahsyat itu untuk menguatkan tubuh kita. Ingat soal postingan Instagram di atas. Menyampaikan sesuatu yang positif aja energi positif yang ditransfer saja sedikit sekali apalagi cuma diomongin dalam hati.
Memang sih Evelyn di film agak gak masuk akal sebagai mamah orang Asia karena meminta maaf kepada anak tapi jika si Evelyn adalah soal diri kita sendiri, wajarlah di satu titik kita tepuk-tepuk diri sendiri sambil bilang : maaf untuk segala kesalahan di masa lalu, mari kita melanjutkan hidup.

Evelyn sendiri menyadari bahwa penyelesaian atas semua kekacauan ini semata-mata dengan penerimaan, pemaafan dan kebaikan yang ia pelajari dari.. Waymond. Evelyn seperti saya memang merasa bahwa ia unggul dalam banyak hal. Memang perempuan yang jarang minta tolong biasanya kerajinan, kesetiaan, pengabdian tidak perlu diragukan lagi tapi satu hal yang dia perlu belajar :



Hanya karena Waymond punya cara lain bertahan di negeri asing dan mencoba mempertahankan kios mereka, bukan berarti Waymond tidak berguna. Pada akhirnya kemampuan berkomunikasi Waymond lah yang membuat petugas pajak bisa berempati untuk memberi tambahan waktu membahas soal pajak mereka. Sesuatu yang saya yakin tidak terpikirkan oleh Evelyn sebelumnya. Akhir kata:
Kita semua baru pertama kali menjalani hidup ini, banyak gak tahunya, banyak salahnya. Bersikap baiklah karena kita semua pemula ketika urusannya jadi manusia