Tulisan-tulisan yang pernah tayang di blog ini inspirasinya ya karena kelas Bimbingan Menulis Mba Julia Suleeman. Di tahun 2002 ketika saya menjadi mahasiswa baru Psikologi UI, saya bingung mengapa perlu belajar menulis yang mana setiap tulisannya tidak harus ilmiah? Bisa cuma sekadar cerita sehari-hari. Ternyata menulislah yang banyak menyelamatkan jiwa saya. Melalui menulis, saya bisa mengartikulasi dengan baik apa luka masa lalu yang saya alami.
Ketika mengikuti kuliah tersebut, saya menulis hanya sekadar untuk menyelesaikan tugas. Saya tahu tulisan yang saya kumpulkan tidak niat padahal saya merasa saya berbakat menulis karena selalu rutin menulis di agenda sejak SD (ya sekalipun puisi klise dengan pilihan kata terbatas ya). Lalu saya ingat, Mba Julia menulis komen rutinnya : saya bisa lihat kamu tidak minat mengerjakan ini sepertinya kamu memang tidak tertarik menulis.
Saya membaca kolom komen itu dengan penyangkalan : SUKA NULIS KOQ!! Namun terlambat. Mata kuliah Bimbingan Menulis ketika itu sudah selesai. Jadi saya tidak bisa menunjukkan apa-apa. Saya meluncur ke komputer lab dengan satu tujuan : membuat blog di Multiply! Seluruh dunia harus tahu saya berbakat menulis!!! Tentu saja tulisan-tulisan saya di Multiply tetap jelek haha. Bahkan ada yang berkomentar bahwa tulisan saya cuma sekadar diari yang diposting online, tidak memberi manfaat dan dikomentari sebagai tulisan lebay.
22 tahun paska mata kuliah Bimbingan Menulis, bertahun-tahun tidak ada apresiasi positif atas tulisan-tulisan saya, saya tetap menulis. Ternyata kuliah bersama Mba Julia memantik saya untuk terus menulis dengan keyakinan bahwa saya berbakat menulis walau tidak akan menerbitkan sebuah buku.
Saya kemudian bertemu kembali dengan Mba Julia di ruang sidang skripsi karena saya menyampaikan penelitian kuantitatif bahwa remaja Kristen Protestan yang religius cenderung melihat kelompoknya lebih baik. Bukan cuma beda agama, beda aliran pun dipandang rendah. Buat yang tidak tahu, Mba Julia istri pendeta. Jadi beliau bukan sedang menyidang saya dari sudut kuantitatifnya karena beliau dari Psikologi Eksperimen tapi beliau juga memberi komentar sebagai istri Hamba Tuhan. Menarik kannn. Tentu saya ingat pertanyaan beliau :
Kalau seorang Kristen religius pasti dia paham betul Yesus adalah Kasih, bagaimana bisa ia menganggap rendah orang yang berbeda kelompok (denominasi) dengannya?
Ketika itu, saya sudah siap dengan pertanyaan yang paling mungkin muncul selain soal pengambilan data dsb. Tebak apa hayo jawabannya? Ga akan saya jawab di sini. Seharusnya pakai nalar aja bisa dijawab sih ga usah pakai skripsi dengan nilai B+ sih.
Setelahnya, kami masih beberapa kali berinteraksi karena setiap kali saya mau mencoba beasiswa, beliaulah yang menulis rekomendasi. Mengapa tidak ke pembimbing akademik? Mba Eka, P.A saya meninggal beberapa tahun setelah saya lulus.
Setelah di sidang skripsi beliau yang bertanya antara Psikologi dan Kekristenan, di 2021 saya yang berganti bertanya kepada Mba Julia paska kematian bapak Pdt. Stephen Suleeman: Mbak, apa yang sebenarnya paling tepat kita lakukan untuk individu LGBTQ? Kita tahu mereka normal di mata DSM V, tapi pemeluk agama Kristen terus menerus memojokkan mereka?
Kali ini jawabannya tidak saya rahasiakan : selalu kembali kepada KASIH karena Yesus adalah KASIH. Mengasihi itu memang selaras dengan ilmu Psikologi yang selalu mengutamakan EMPATI. Sebenarnya saya ingin sekali bertemu dengan Pdt.Stephen cuma karena ketika itu ada Covid19, saya cuma bisa berbagi cerita soal kepedulian saya individu LGBTQ dengan adiknya yaitu Mba Julia. Hehehe.
Ketika saya mendengar Mba Julia sakit, saya meluangkan waktu sesekali mengirimkan pesan WA karena saya tidak mau mengganggu aktivitas beliau cuci darah. Hal yang paling haru adalah ketika beliau kembali menulis referensi untuk saya menjadi Psikolog di UI. Sayangnya saya gagal ujian profesi. Saya pun menyampaikan kabar sedih tersebut kepada Mba Julia.
Komunikasi kami yang terakhir adalah ketika Mba Julia menginformasikan bahwa dia sudah 4 minggu 1 hari di RS Tzu Chi. Saya bertanya kepada beliau untuk mencari tahu sekiranya bisa menjenguk. Namun Mba Julia tidak kunjung membalas. Pesan yang muncul malah zoom doa bersama dan tak lama pengumuman berpulangnya. Saya sedih sekali membacanya.
Mungkin.. sama seperti saya membuktikan bahwa saya minat menulis dengan bertahun-tahun ngeblog ga ada yang baca, saya akan buktikan ke Mba Julia di surga sana bahwa saya akhirnya lulus profesi Psikologi UI. T.T
