Penantian 27 tahun ini akhirnya mulai ada titik terang: saya diterima kuliah profesi psikologi di Gunadarma. Universitas yang sama yang menerima saya 23 tahun yang lalu (ceritanya nanti di bawah ya). Bergelayutan di atas pohon ketika jam olahraga, saya merasa ada yang aneh dengan orang-orang menjalani hidup paska Mei 1998. Banyak yang memutuskan menjalankan hidup seperti tidak ada apa-apa. Baru setelah saya sebesar ini saya paham dari generasi ke generasi, orang tidak terlatih menghadapi luka, apalagi duka. Orang terobsesi mengejar bahagia. Padahal hidup dalam damai sejahtera itu yang paling kokoh digunakan untuk menjalani hidup ini. Tulisan saya di bawah ini akan panjang lebar, melebihi kemampuan orang Indonesia membaca. Mengutip Anies Baswedan, orang Indonesia itu bukan tidak punya minat baca, tapi tidak punya daya tahan membaca. Jadi tulisan ini akan menjadi ujian apakah Anda punya daya tahan membaca atau tidak (belum psikolog syudah pongah ya kisanak)
2004 : Kupikir Bapak
Ketika saya akhirnya mematikan mesin yang merupakan alat bantu hidup bapak dan menandatangani beragam surat pernyataan kematian, saya dengan kemarahan menghela napas berat : siapa yang sekolahin aku jadi psikolog kalau bapak mati? bukan begitu cara jadi bapak sih pak. Jangan keluar dari gelanggang sebelum tuntas!
Kemarahan orang usia 20 tahun yang seumur hidupnya terlalu berharap kepada bapaknya karena si bapak ini lah yang menjadi tulang punggung keluarga cukup beralasan. Kan sudah dari tahun 1998 dia terus menerus bilang ke bapaknya bahwa dia mau jadi psikolog. Kuliahnya tidak cukup sarjana di Psikologi UI. Perlu lanjut sekolah lagi dan biayanya tidak murah. Di pikirannya ya cuma bapaknya yang terus menerus mendapat proyek konsultan Bank Dunia lah yang bisa membuat cita-citanya terwujud. Namun, manusia berencana, Tuhan bercanda.
2006 : Ya Udah Sih Vi
Saya lulus 3,5 tahun dari Fakultas Psikologi dengan dua tahunnya menjadi Senat Mahasiswa FPsi UI (sekarang disebutnya BEM Psi UI) dan pernah magang di sebuah bank kecil, memberi pelatihan mahasiswa baru, dan perpustakaan. Biasa aja ya prestasinya? Saya memang rajin saja koq. Setan aja minder lihat kerajinan saya. Jadi 2 minggu setelah wisuda, saya diterima jadi asisten mengajar Australian International School Pejaten, juga sebuah kewajaran bukan? Kan. Di masa bekerja sebagai guru untuk remaja-remaja berkebutuhan khusus, saya berusaha mengubur cita-cita jadi psikolog. Gampang lah. Coba beasiswa saja. Sayangnya sekalipun saya mencari beasiswa Master of Special Education, semua gagal. Australia? Inggris? Saya kolektor surat penerimaan Universitas (iya setiap kali apply saya selalu diterima) tapi juga kolektor surat penolakan beasiswa. Kalau gak ada beasiswa, gimana mau berangkat wkwkwk
2010 : Ternyata Bapa
Ternyata selepas saya tidak punya bapak, Tuhan sendiri yang mengadopsi dan mendidik saya. Tuhan tidak pernah terkejut dengan kematian bapak saya, juga dengan keinginan ibu saya pindah ke kota kelahirannya di akhir 2009. Di situ lah Tuhan 100% menggembleng saya. Dimulai dengan keluar dari mengajar yang mana sudah menjadi zona nyaman saya dan nyebur ke wirausaha. Saya tidak pernah mengelak betapa bencinya saya dengan kewirausahaan karena saya merasa terpaksa menjalani ini. Kan saya mau jadi psikolog? Kalaupun ga bisa, saya nyaman koq jadi guru huh!! Koq aku sihh yang kudu belajar ini itu! Yg ngide wirausaha kan bukan akuuuu! *sambil melirik tajam ke anak orang*. Baru saya paham LKS nya sendiri dan LKS saya sendiri sekalipun secara kebetulan kami mengerjakan kewirausahaan yang sama.
Cuma sama seperti saya kalau diberi pengarahan mama saya selalu diawali dengan aksi protes dan kemarahan tapi toh dikerjakan juga, begitu juga ketika saya dituntun Tuhan. Manyunnya saya perlu semua penghuni dunia tahu dengan cara banyak menulis blog, sayangnya warga dunia sibuk semua jadi blog saya ga ada yang baca. Sedihnya, saya tidak bisa ngadu ke mama saya bahkan ketika beliau masih hidup semata-mata karena …
Pada akhirnya terjadi titik balik dari benci jadi cinta ketika saya justru banyak belajar tentang hidup dari tim kerja saya, dari kisah orang-orang di pinggir pasar dan dari interaksi saya dengan beragam klien. Sepertinya Tuhan hapal betul dengan saya: dilempar di mana saja, awalnya menggerutu pasti akhirnya dikerjakan dengan sukacita juga. Dia terlalu mengenal saya yang anaknya penurut banget cuma bawel kaya anjing chihuahua.
Setahun Terakhir..
Dalam perjalanan 14 tahun terakhir diasuh langsung oleh Bapa, saya belajar banyak hal termasuk selalu hidup dalam tenang dan sukacita mau kaya apa masalah berlalu lalang. Saya juga akhirnya paham bahwa Tuhan membawa saya berjalan selama 14 tahun ini semata-mata untuk memperkaya wawasan dan memperdalam empati saya kepada beragam orang kecuali ke … *aduh keyboardnya error*.
Bahkan Tuhan juga mempersiapkan kesehatan mental saya. Itu sebabnya untuk masuk Gunadarma saya bisa menunjukkan surat keterangan sehat fisik sekaligus surat keterangan sehat jiwa dari psikiater Rumah Sakit UI. Surat keterangan sehat mental ini juga diterapkan untuk orang-orang yang mau jadi rektor UI, presiden, gubernur, dan pejabat publik lainnya. Kalau anggota DPR kagak.
Sejujurnya setahun ini saya sudah agak kelelahan mental karena saya mencoba ujian profesi psikologi di UI sampai 3x dan ketiganya gagal. Bawaannya pengen pulang saja ke rumah ibu saya lalu nangis berhari-hari di makam. Percayalah ujian profesi tidak pernah segampang itu karena peminatnya banyak. Kesempatan terakhir di Gunadarma inipun saya jujur tidak mau nggampangin.

Saya berusaha semaksimal mungkin dan sudah siap tidak diterima. Saya bahkan terlibat dalam penelitian Psikologi menjadi asisten untuk menunjukkan bahwa saya tetap up to date dengan ilmu Psikologi.

Bayangkan setahun ini total saya belajar 4x, persiapan 4x, ujian 4x. Di Indonesia itu, orang yang coba sampai 4x untuk cita-cita masa muda setahu saya cuma Prabowo nyapres…

Seminggu yang lalu saya terus mengunyah promag karena saya terus menerus mules menunggu pengumuman. Sebesar-besar saya terus mengelus dada untuk ikhlas dengan hasil terbaik dari Tuhan, jauh di dalam hati saya keukeuh : lulus lulus lulus. Saya terlatih hidup tidak perlu buat target tinggi. Salah satu definisi saya sukses ya jadi psikolog. Kelar ini, saya sudah merasa sukses sekalipun anggaran beras saya sebulan cukup 200.000, bukan 12 juta.
Untuk yang tidak terbayang, minggu lalu kondisi Jakarta cukup tegang paska anggota DPR njoget karena dapat kenaikan tunjangan sampai memancing aksi dan 1 ojol tewas. Jadi di satu sisi, saya mencoba rileks wajar kalau website pengumuman mengalami keterlambatan pengumuman, tapi di sisi lain, lambung saya kelelahan menghadapi psikosomatis. Pengumuman baru muncul 31 Agustus pukul 01 pagi. Hahaha
Ternyata seperti tahun 2002, Gunadarma menerima saya jadi mahasiswa Psikologi; tahun 2025, Gunadarma juga menerima saya lagi jadi mahasiswa. Mengapa 2002 saya bisa diterima di Gunadarma? Sederhana. Di SMAN 28, Gundar membuat try out kalau lulus bisa langsung diterima di Gundar. Saya lulus dan diterima Psikologi. Saya cerita ke mama saya. Dasar si anak SMA belagu: gak ah ma. Tetep maunya UI aja. Masuk Gundar kegampangan. *emang blagu bawaan orok kayanya*. Terus kenapa 2025 ini mencoba Gunadarma? Ya disarankan tim kerja saya. Mereka kan saat ini RING 1 saya. Omongan mereka yang saya dengarkan. Untunglah 2025 ini Gunadarma menerima mahasiswa non Gundar juga hahaha. Akhir kata izinkan saya menaruh gambar yang jadi wallpaper HP saya sejak awal Agustus :

Leave a Reply