Tulisan di bawah ini saya tulis 04 Januari 2014. Ketika saya membaca ulang paragraf pertama di tahun 2024, saya jadi sadar bahwa saya mulai menunjukkan tanda-tanda kesedihan berkepanjangan. Namun bukannya berobat malah nikah. Tipikal keputusan khas orang Indonesia: apapun masalahnya, nikah solusinya. Tentu saja paska 2014, banyak tulisan saya yang menunjukkan ketidakbahagiaan saya di dalam perkawinan. Pihak yang salah bukan anak mertua lah. Ga mungkin banget yha khan. Masalahnya tentu saja di penulis.
Namun saya memperbarui tulisan di bawah ini semata-mata bukan mbahas kesedihan saya tapi kerinduan saya akan PULANG. Kata PULANG adalah kata favorit saya dalam Bahasa Indonesia. Bisa dibaca di bawah ini sebenarnya saya sedang berusaha ikhlas bahwa saya tidak akan memiliki konsep PULANG yang ideal (menurut saya). Berikut tulisan 2014:
Memasuki waktu bagian sunyi ketika tidak ada orang yang bisa saya ajak bicara dari hati ke hati (sebenarnya saya menulis di ruangan bersama 3 pria tapi tetap saja berbicara seperti ini ,,, ah sudahlah). Saya lebih suka menuangkan apa yang saya kicaukan dalam bentuk tulisan yang saya tahu kemungkinan orang menyediakan membaca sangat rendah. Dalam kesendirian, saya juga merasakan kesepian tapi ketika tidak ada yang bisa diajak bicara, menulis adalah solusinya.
Baiklah lanjut ke topik tulisan. Selama beberapa kali saya menulis soal pulang. Di sini dan di sana. Lalu hari ini saya berada di kesimpulan final. Pulang itu adalah saya sendiri. Saya tidak bisa mengharapkan ada orang yang bisa dipulangi, punya tempat berteduh yang ideal, atau romantika lainnya. Ketika saya kembali dari perjuangan menjalani hidup ke tempat berteduh dimana pun itu, saya akhirnya berkata ‘saya pulang‘. Terlepas saya sendirian, tidak ada kawan bicara. Saya tetap pulang. Ternyata saya adalah pencipta pulang itu sendiri. Rumah Damarsari yang dulu saya tinggali & kemudian saya menjadi koordinator kost begitu menyenangkan untuk dipulangi semata-mata karena saya yang berupaya untuk membuat tempat tinggal itu bukan cuma terminal. Sapaan dan penataan yang saya lakukan ternyata membuat semua terasa ngangenin untuk dijadikan alasan pulang. Saya adalah pulang. Di manapun saya berteduh saya menjadikan tempat itu nyaman untuk menjadi tujuan pulang bagi mahluk hidup.
Nah selepas 2014, saya semakin rileks dengan realita kehidupan. Terlihat saya bisa bisa menikmati indahnya pindahan sebagai seorang kontraktor. Mong ngoming hal yang membuat saya di 2024 melihat kembali tulisan saya di 2014 tentang kepemilikan rumah semata-mata karena nonton Home Sweet Loan. Rasanya antara ingin membaca novel sekaligus berlapang dada bahwa memiliki rumah sendiri sudah menjadi jauh api dari panggang. Lagian hidup ternyata lebih baik punya tempat yang kita bisa pulang dan merasa tenang.

3 thoughts on “Pulang Itu Orangnya”