Beberapa waktu banyak warganet mengutip adegan di bawah ini untuk mereka taruh di media sosial:

Sebelum membahas dialog di atas dalam kaitannya dengan doa, paham kan mengapa BUAT SAYA film lebih banyak mengajarkan spiritualitas dan mempertanyakan tentang hidup dibanding cuma sekadar menyimak kotbah atau pidato orang? Nonton film buat saya itu seperti menghadiri sebuah ibadah yang perlu dipilih secara seksama, disimak secara khusyuk, dan memberikan jejak ingatan sampai beberapa waktu lamanya. Film ini misalnya yang memberikan saya kehampaan 2 hari 2 malam:

Akibatnya, saya jadi agak jarang milih nonton film hari-hari ini. Di usia menuju kepala 4 saya seperti sudah kebanyakan dicekoki kebijaksanaan yang membuat saya memilih jalani stok kebijaksanaan yang ada daripada menyerap sari pati pencerahan hidup melalui film yang baru #NontonAjaRibetYha.
Balik ke dialog di atas, awalnya saya dalam hati mikir, ‘orang gila mana sih berdoa ke Tuhan minta kesabaran, keberanian dan kekompakan dalam keluarga? Di mana-mana minta uanggg dan kelulusan aja lahhh. Lepas dari itu perjuangkan sendiri dengan komunikasiiii tingkat tinggi!!!’ Kemudian saya sadar, saya lah si tokoh yang dibicarakan itu.
10% Kebijaksanaan Salomo
Saya ingat ketika remaja, di saat semua doa yang dipanjatkan alm ibu agar saya dapat jodoh yang kaya dan takut akan Tuhan, saya menyisipkan doa : ‘Tuhan, kebijaksanaan Sulaiman memang cuma Tuhan kasi 1x tapi bolehkah aku minta 10% nya?‘ Dulu di pikiran saya kalau bijak saya bisa lebih jernih menilai orang, mengidentifikasi pembual lebih cepat dsb dst sehingga saya tidak gampang dibohongi orang. Entah mengapa saya merasa perlu punya itu? Apakah setelah itu saya langsung punya kebijaksanaan?
Oh tentu saja tidak. Saya ingat di kepala 2 dan sepanjang kepala 3 saya banyak mengambil keputusan gegabah semata-mata karena kebijaksanaan itu antara tidak saya gunakan atau saya gunakan secara kebablasan. Koq bisa berkesimpulan begitu? Contoh nih ya. Iya saya memang beneran akhirnya bisa cepat menilai aslinya orang seperti apa tapi saya perlu belajar hal tersebut baiknya pengetahuan seperti itu disimpan untuk diri sendiri saja atau ditulis di diari bukan malah diberitahu ke anggota keluarga orang tersebut karena :
- Orang yang mendengarkan seringkali butuh penalaran logis untuk bisa memahami dari mana pencerahan tersebut saya dapatkan
- Ini Indonesia, di mana orang-orangnya komunal, jadi merasa perlu menjadikan keluarganya sebagai bagian dari identitas. Jadi ya bisa tersinggung.
Kalau pas saya tidak pakai ya ketika saya mengambil keputusan adalah ketika saya memutuskan sesuatu di saat marah atau sedih. Welly si Terwelu kesukaan saya yang gak berdoa meminta kebijaksanaan Salomo saja paham:

Namun harus saya akui, ide saya minta hikmat kebijaksanaan Salomo, seperti dialog di atas, membawa saya bertemu dengan orang-orang yang tanpa mereka sadari sungguh saya syukuri meningkatkan level kebijaksanaan saya sekalipun tidak dalam permusyawaratan. Kebijaksanaan tersebut membuat saya bisa berempati kepada keluguan orang lain berpikir tanpa menjadikan saya besar kepala.
Ah, bisa jadi ini bukan karena doa? Bisa jadi memang kemampuan observasi dan kecerdasan intrapersonal + interpersonal situ memang tinggi paripurna? Ya udah sikkk sekali-kali gak usau pakai logika lengkap dengan penjelasan teoritis tapi cocoklogi kepada kebaikan Tuhan yang Maha Esa.
Berbuah Roh Secukupnya
Di suatu masa ketika saya sempat mengalami masa berkecukupan dari gaji bulanan, saya kehabisan ide mau berdoa apa ya? Jadilah saya berdoa bahwa saya bisa punya kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri. Mantab ada 9. Sangking niatnya saya sampai membuat tato bunga bakung di lengan sebagai simbol buah Roh tersebut tapi hanya 7 kuntum. Mengapa kurang dua? Kayanya hidup jadi menjemukan deh kalau saya bisa menguasai semuanya.
Ketika saya mulai mendoakan itu apakah terjadi? Tentu saja tidak terjadi seketika. Saya adalah orang yang beranggapan kesetiaan dan pengendalian diri tidak diperlukan dalam hidup. Sampai setelah berbulan-bulan atau malah hampir 1 tahun mendoakan hal tersebut, ada sebuah peristiwa yang ujug-ujug saja datang dan bagai melatih apakah saya sudah seperti yang saya doakan. Tentu saya sempat meledak-ledak, tentu saya sampai balik badan sambil bilang persetan dengan kesetiaan tapi toh apa yang saya doakan akhirnya berbuah kenyataan. Terbukti ketika peristiwa tersebut agak terulang sedikit, saya luar biasa penuh pengendalian diri bukan sekadar menekan-nekan kemarahan. Saya ingat koq hari itu adalah Hari Kedua Natal yang ketika itu malah nangis terisak-isak di pinggir hutan UI. Bukan karena saya tidak sabar, bukan karena saya merasa dipermalukan tapi karena saya tahu: SEMUA SUDAH SELESAI. Bahwasanya di hari itu saya menetapkan diri mengeluarkan 1 kemampuan rahasia (hazeeek) saya sadar betul saya mengucapkan itu bukan karena dikuasai keegoisan, bukan karena kuat hebat saya pamer kekuatan. Jadilah semua yang kuikat di bumi, ku yakin terikat di surga.