Judulnya gak kreatip banget ya tapi gimana dong memang saya lebih banyak belajar hidup dari pengalaman pahit daripada mendengarkan ceramah motivasi. Saya tidak mens sejak Juli 2019. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam hidup saya sepanjang 35 tahun bernapas. Test pack negatif. Lalu untuk memastikan hasil tersebut saya mengambil tes darah di Prodia 4 Oktober 2019. Biaya test HCG Rp. 600.000 kalau ga salah (bon hilang)
Sabtu, 5 Oktober 2019
Saya memutuskan pergi ke RS Mitra Keluarga bagian kandungan untuk memeriksakan keanehan ini. Habis biaya Rp.445.000 (konsultasi dokter Jolanda Rp.190.000, USG Rp.220.000, Administrasi pasien baru Rp.35.000). Hasil: Myoma sebesar 7.02 cm x 5.71 cm. Vonis: operasi. Mengingat kami masih punya utang yang ga abis-abis itu, tentu saya pamitan ke dokter Jolanda untuk mengurus BPJS supaya bisa operasi dengan biaya yang lebih murah. Dari RS Mitra Keluarga saya langsung ke Bahar Medika untuk mengurus surat rujukan ke Rumah Sakit kelas C. Pilihannya banyak dan entah mengapa saya pilih RS Bunda Margonda. Kayanya karena sempat tersebut dengan teman saya melalui WA. Dia adalah satu dari 3 orang yang tahu kondisi saya paling awal mulai dari hasil test pack.
Setelah dari Bahar Medika, saya iseng meluncur ke RS Bunda Margonda untuk tanya-tanya saja. Klinik BPJS nya terletak di belakang. Tentu saja jam menunjukkan jam 14.30 klinik BPJS sudah tidak menerima pasien. Saya diminta hadir hari Senin.
Hari itu isinya saya hanya menangis – kerja – menangis – kerja. Sebenarnya saya sudah menangis dari beberapa hari sebelumnya karena masalah salah satu lapak harus tutup. Nangisnya lebih ke arah hanya meluapkan kemarahan. Kritiknya saya terima dengan lapang dada. Ketika hari saya divonis operasi myom dan efek tutupnya cabang tersebut masih saya terima (baca: ndengerin orang ngomongin saya di belakang), saya pun tetap tenang. Sebuah prestasi tersendiri karena saya biasanya dendam kesumat.
Senin, 6 Oktober 2019
Saya pergi ke Flona 2019 hari Minggu untuk penyegaran suasana hati lalu ke gereja. Kemudian, Senin pagi saya kembali meluncur ke RS Bunda Margonda. Saya tadinya mau datang siang tapi berubah pikiran ambil yang pagi itu pun detik-detik terakhir jam praktek dokter habis. Saya harus lari dari klinik BPJS ke klinik kandungan di lantai 2 dengan kondisi saya akhir-akhir itu merasa ngilu di vagina. Setibanya di ruang dokter Chandra saya pun menunjukkan foto usg dari RS Mitra Keluarga. Tentu sajalah dicek ulang. Yak ga beda jauh ukurannya. Saya sudah mempersiapkan diri untuk ikut dalam antrian operasi namanya juga pasien BPJS yak. Tim kerja saya di Sahabat bahkan saya beritahu pertama kali soal kondisi myom saya dan kemungkinan operasi. Justru ibu saya belakangan.
Lalu dokter Chandra pun menyampaikan bahwa operasi nyaris tidak menyisakan uterus untuk saya sehingga kemungkinan hamil mendekati mustahil (well bahasa dokter sih : kemungkinannya kecil sekali). Cuma saya sudah terbiasa dengan angka realita sebuah prognosis daripada kecil besar sebuah kemungkinan yang tergantung persepsi tiap individu.
Sebenarnya tidak memiliki anak bukanlah awal kiamat saya. Kecenderungan saya itu kan melawan arus. Kalian merasa punya anak adalah segalanya, saya merasa berani beda adalah segalanya. Saya adalah orang yang tenang saja naik pelaminan modal baju ala kadarnya, tidak nanggap mat kodak propesional dan malah tetap kelarin kerjaan. Okeh lanjut.
Dokter Chandra kemudian melanjutkan ceritanya tentang seminar yang ia hadiri di Bali mengenai obat Esmya ini yang baru saja diluncurkan dan untuk di Eropa cukup membantu memperkecil myoma. Obat ini perlu dikonsumsi 1x shari dan 1 papannya (28 butir) seharga Rp.1.800.000. Mantab yak tanpa ragu saja setuju. Hahaha. Gak pake lah nanya-nanya dulu ke suami bla bla bla pret. Ku tahu yang ku mau. Hahaha. Obatnya saya terima sehari setelah periksa karena obat ini beneran baru jadi kudu PO udah kaya belanja online barang mewah aja. Lalu saya perlu periksa kembali dua hari sebelum 1 papan tersebut habis.
Jumat, 1 November 2019
Saya kembali memeriksakan diri ke dokter Chandra. Kali ini jalur Bayar Sendiri karena pengobatan myoma dengan obat esmya belum ditanggung BPJS. Biaya periksa yang dikeluarkan sebesar Rp.599.490 (Administrasi 50.000, Buku Status Pasien Rp.30.000, USG Rp.204.000, konsul Rp.262.500, tindakan USG Rp.52.500). Ternyata myoma saya berkurang 1 cm. Hore! Pengobatan 1 siklus (3 papan) bisa dilanjutkan dan supaya berhemat saya hanya perlu kembali konsul ke dokter Chandra begitu papan ketiga selesai. Pengobatan myoma bisa sampai 4 siklus tergantung besarnya myoma. Dalam kondisi seperti ini saya pun berusaha memiliki kebiasaan hidup sehat yang lebih baik. Saya tidak tahu apakah pola makan dan berusaha olahraga 30 menit sehari cukup berpengaruh untuk myoma yang mengecil tapi kan setidaknya mencoba sehat sekalipun angan bodi Pevita terlalu muluk. Untuk makanan sudah sebulan ini saya langganan katering di Srikandhi. Makan tanpa nasi berat badan saya cuma turun 2 kg dalam sebulan. Ya sudah santai. Saya sudah terbiasa apa-apa lebih lambat daripada orang pada umumnya.

Minggu, 24 November 2019
Teman-teman kuliah saya mengajak bertemu ternyata khusus untuk menyerahkan bantuan dana supaya saya bisa beli obat. Haha. Saya terharu tanpa menangis terisak-isak. Sesuatu yang sebenarnya banyak terjadi sejak saya divonis Myom.
14 Januari 2020
Setelah menyelesaikan satu siklus pengobatan dengan Esyma, saya kembali kontrol ke dokter Chandra. Di ruangan saya menunggu sambil kutekan, saya tiba-tiba membayangkan apakah dokter Chyntiawati, dokter gigi saya, akan siap menghadapi kondisi gigi saya yang sudah jauh hancur berantakan dari terakhir periksa karena saya menunda periksa padahal gigi ini sudah patah seperti semangat saya untuk sekolah lagi. 2019 itu adalah masa saya pergi ke 3 dokter spesialis dalam 1 tahun. Saya benar-benar perlu memilih dan memilah harus berobat apa dulu. Gigi yang bolong lalu patah, tapak kaki yang nyeri, atau myoma. Tentu saja karena Myoma prioritasnya geser total.
Ketika pasien lain memilih jadwal ulang karena dokter Chandra datang terlambat (perlu tindakan dulu di pagi hari), saya memilih untuk tetap menunggu. Ketika giliran saya untuk periksa, saya sempat gentar karena ini kan semacam pembuktian apakah 2 papan terakhir dari Esyma memang efektif untuk saya. Kali ini pemeriksaan melalui vagina jadi hari ini habis Rp.940.00 untuk periksa. Ternyata myoma saya berkurang 50%. Berdasarkan kategori, ini termasuk kemajuan yang sangat baik. Yipee. Setelah satu periode ini selesai, maka saya libur minum Esmya selama 30 hari. Yipeee lagi.
Saya akan kembali minum esmya 13 Februari selama 3 bulan nonstop (okeh sebenernya ga 3 bulan sih. Tepatnya 3×28 hari). Begitu habis, baru saya kembali kontrol dengan dokter Chandra.
Lalu apakah penyebab Myoma?
Saya tidak tahu dan tidak mencari tahu. Satu hal yang saya tahu myoma di dalam tubuh saya ini semacam reaksi akibat saya selalu menyimpan kekesalan untuk hal sepele kepada orang terdekat. Barulah selama proses sebulan merefleksikan diri, saya tercerahkan bahwa orang tersebut tidak bermaksud mengecewakan saya tapi saya lah yang terlalu enggan terbuka menyampaikan apa yang saya rasakan. Myoma semacam konsekuensi dari kebiasaan saya memilih untuk submisif ataupun pasif agresif setiap kali saya punya ganjalan atas orang berperilaku kepada saya. Detail kekesalannya apa saja sudah sampaikan ke orang yang bersangkutan. Tidak saya tulis di sini karena sudah kami tertawakan
indikasi bahwa masalah sudah menjadi tidak berarti adalah ketika kita bisa menertawakannya
Vivi ntah ngutip dari mana lupa
Melalui mioma ini saya berempati kepada orang yang tidak tahu bagaimana cara berempati kepada saya yang sedang mengalami dilema. Dari yang cuma omongan diulang sampai menagih janji saya untuk menelpon. Mau meminta mereka berempati kepada saya itu setara meminta orang Indonesia berhenti menyebarkan info HOAX dari whatsapp group sebelah: MUSTAHIL.
Kalau dibilang depresi gak juga sih. Lebih ke arah merasa terpuruk karena di saat bersamaan dengan kondisi myoma, ada kegagalan saya dalam usaha . Untuk pertama kalinya, saya belajar menangis lepas. Sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Bahkan ketika pernikahan saya berakhir dengan cicilan saembuh-embuh, saya tidak menangis tapi saya menolak berkomunikasi dengan baik kepada R selama… 1 tahun. Memang komunikasi macam apa yang tidak baik? Ya saya kalau ga nyindir, ya diem seribu bahasa. Wong baru setahun menikah cuma kopulasi 3 kali sudah mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan komunikasinya kan? Kan.
Kembali ke soal nangis, ini terjadi berulang selama bulan Oktober 2019. Saya kehilangan napsu makan dan libido. Lah bisa lagi urus barang di Tokopedia, saya tiba-tiba nangis begitu saja. Saya berterima kasih bahwa R sebagai orang yang di sebelah saya membiarkan saya menangis tidak menambahi kalimat klise semacam ‘ya udah iklas‘ ‘ya udah sabar‘ atau kutip-kutip ayat. Di situ lah saya jadi lebih banyak berdoa supaya R ini sehat dan selalu gemilang.
Tulisan ini mungkin akan diperbarui di masa yang akan datang jika ada kabar terbaru ya. Mungkin ini bukan opini yang disukai kaum mapfin atau kaum menengah ngehe berorientasi luar negeri :
GA SELAMANYA dokter di Indonesia itu jelek atau matre.
Ga melulu harus ke luar negeri hanya karena selebhram ibukota pigi ke sana.
Kalau dasarnya kalian berpikir positif ya kalian akan dipertemukan oleh dokter yang tepat di waktu yang tepat pula.
Belajarlah rendah hati, pasti akan ada yang bersedia memberi rekomendasi.
Namun kalau jiwa ekonomi ngehenya dulu yang ditonjolkan, ya orang segan juga kasi info untuk situ. Gicu.
Bacotan Viviong Selebhram Papan Halma
27 April 2020
Saya tidak bisa membeli Esmya karena sedang direview ulang di Eropa bulan September 2020. Akhirnya saya ke RS Bunda Margonda untuk mendiskusikan dengan dokter Chandra apa yang harus dilakukan. Tentu saja operasi karena menunggu esyma datang ke Indonesia terlalu lama. Apalagi kondisi pandemi C-19 begini. Saya bisa cukup tegar di ruangan periksa. Saya tetap tenang menyelesaikan semua urusan toko yang tentu saja sepi efek covid 19.
Baru setelah sepi, malam saya mulai nangis tidak berhenti. Baru setelah lima hari saya bisa dengan jujur terbuka mengapa saya menangis begitu hebat. Saya tidak takut operasi. Saya tidak pernah takut mati. Namun air mata saya adalah kondisi emosi campuran marah dan malu.
Selama beberapa tahun menunda punya anak dengan alasan bayar utang dulu lah, membangun karir dulu lah, ternyata semua itu bubar jalan mengingat paska operasi, ovarium dipastikan banyak kerusakan. Ga usah wacana ngomong mengusahakan punya anak sama saya lah di akhir operasi. Termasuk soal wacana adopsi. Nope. Tidak ada lagi bahas anak. Jadi begitu lah salah satu alasan saya menangis seharian.
Belum lagi saya merasa malu bahwa untuk kebanyakan perempuan, hamil itu cuma kayak belajar mengendarai motor matik. Pasti bisa lah. Perkara belok kanan sen nya ke kiri itu udah ranah berbeda. Itu alasan kedua saya menangis.
Alasan berikutnya adalah karena saya memikirkan opini orang kepada saya. Dari awal saya divonis myoma, saya tahu ada orang yang langsung mengkaitkan kondisi ini ke peristiwa masa lalu. Bahwa saya secara terus terang menunjukkan ketidaksukaan saya kepada mereka, lalu jadilah myoma. Nah saya makin kejer nangis karena mereka merasa dapat alasan untuk lebih panjang berkotbah kepada saya tentang iklas bla bla bla. Padahal belum tentu orang-orang tersebut sempat kepikir kasi komentar tentang kondisi saya. Bisa jadi mereka sibuk bertahan hidup menghadapi pandemi.
Jadi begitulah setelah pandemi ini saya akan mendaftarkan diri untuk operasi. Lalu kembali melanjutkan hidup. Saya belum punya alasan untuk cepat mati, sekalipun saya merasa kurang bergairah menjalani hidup, saya masih penasaran membuat produk saya terjual di seluruh toko di Indonesia
Kak, boleh diinfo di mana beli esmya-nya? Saya dikasih resep dokter untuk cari obat ini, tapi belom ketemu, hiks. Untuk miom saya juga 😦
Makasih sebelumnya.
Obat ini sudah ditarik dr peredaran. Maaf baru membalas