Pendahuluan
Hari ini, ketika saya menulis soal ini, adalah perayaan 12 tahun saya menulis perdana di wordpress. Saya masih ingat ketika itu tujuan memulai blog untuk membagikan pengalaman saya mengajar anak berkebutuhan khusus. Di perjalanannya, saya tidak banyak menulis soal mengajar. Kombinasi minder kurang jam terbang dan pergantian haluan setir saya yang memilih menulis tentang kehidupan orang (termasuk saya sendiri) dengan gelap (beberapa orang menganggapnya terlalu gelap atau terlalu lebay). Ternyata ada juga kesamaan saya dengan Coki Pardede ya. Dia garap humor gelap (dark jokes), saya garap pengalaman yang gelap dan keduanya menuai protes. Tentu protes yang saya terima tidak seheboh Coki & Muslim. Kan saya level blogger jelata yang tak pernah dilirik orang karena tidak pernah menuliskan hal yang indah-indah.
Orang-orang hanya melihat saya selalu menulis pengalaman pahit saja dan tidak tahu bahwa saya juga rutin menulis dengan manis di.. Google Local Guides. Dengan pencapaian level 8 dan sedang menunggu kenang-kenangan dari Google yang sedang dikirim DHL, cukuplah sebagai obat pelipur lara gagal berkhayal ke Amerika Serikat karena pandemi. Untuk awam, Google Local Guides adalah orang-orang yang rutin menulis ulasan di Google Maps. Saya yang tadinya mengulas restoran atau tempat di blog, memilih mengulasnya di Google Maps sejak 2015. 2020 sebenarnya saya ditawari untuk berkompetisi dengan sesama orang Indonesia yang levelnya sudah 6 ke atas untuk membuat video mengapa saya adalah orang yang tepat untuk mewakili Indonesia dalam pertemuan Local Guides level global di kantor pusat Google. Namun sayang pandemi tak kunjung mereda, kegiatan tersebut dibatalkan sampai waktu yang tidak ditentukan. Anggaplah kegagalan di 2020 ini bagaikan Greysia Polii belum bisa dapat medali di Olimpiade 2016.
Pembahasan
Baiklah cukup untuk pendahuluan, sekarang masuk ke topik tulisan sesuai judul di atas. Saya bersyukur keputusan saya memiliki anak ini justru setelah saya konseling dengan psikiater yang sudah memasuki bulan ke-8. Tentu di masanya saya ingin punya anak secepat-cepatnya semata-mata karena saya ingin terlihat normal seperti perempuan pada umumnya yang beranak di usia pernikahan mereka yang pertama. Namun tahun berganti tahun, manusia berencana, Tuhan bercanda. 2019 saya menerima sebuah kabar: ada myoma. 2020 tentu saja kita ketahui bersama operasi tumor jinak di ovarium menjadi tidak darurat di tengah pandemi. Saya baru operasi myoma di akhir 2020. Lalu ketika di 2021 siap kembali memulai lembaran baru dengan paripurna, dhuar, saya perlu minum obat dari psikiater. Tapi sejujurnya kehadiran pihak ketiga (baca: psikiater), mengubah banyak pola pikir saya selama ini.
Saya secara terbuka menyadari bahwa saya punya kecenderungan depresif. Namun di saat yang sama saya punya tujuan baru mengapa saya bersedia menjalani program hamil ini. Saya yang tadinya ingin punya anak supaya saya punya sekutu dan hiburan karena saya terus menerus sering merasa kesepian dalam pernikahan, sekarang saya mau punya anak bukan untuk pion kompensasi, atau objek pengganti afeksi. Saya ingin punya anak agar saya setidaknya punya 1 individu yang bisa saya bagikan pengetahuan dan pengalaman hidup. Saya juga percaya, dia nantinya akan lebih banyak mengajari saya tentang hidup dibanding pengajaran saya kepadanya.
Anaknya belum ada. Namun namanya sudah saya persiapkan jauhh sebelum saya menikah. Untuk mempersiapkan kehadiran D, program hamil yang saya lakukan paling awal adalah:
Konseling ke Psikiater – Gratis
Saya bersyukur bahwa saya sudah menyelesaikan luka-luka batin saya terlebih dahulu sebelum D ada. Penyembuhan luka batin ini sangat membantu saya sehingga saya bisa memiliki pencerahan kesalahan apa dalam membesarkan anak yang tidak perlu saya ulangi. Oh tentu di masa depan saya selalu akan ada saja membuat kesalahan dalam mendidik D, tapi kan setidaknya saya tidak perlu mengulang jatuh di lubang yang sama. Untuk konseling ke psikiater ini saya dibantu pemerintah alias BPJS Kesehatan.
Konsultasi ke Dokter Kandungan 1: Rp.1,2 juta-an
Saya kembali ke dokter kandungan yang mengoperasi myoma saya 7 bulan setelah operasi. Setelah dinyatakan oleh psikiater bahwa saya sudah bisa mulai program hamil. Padahal seharusnya saya kembali untuk program hamil 2 bulan setelah operasi. Ya gimana mau kontrol ke dokter kandungan, lah wong ketika dua bulan setelah operasi myoma, saya di poli sebelah alias Poli Jiwa hehe. Konsultasi pertama ini menghabiskan biaya Rp.1.216.000 (USG Transvaginal & alat USG TV nya saja sudah 600 ribuan). Konsul 440 ribu, admin 110 ribu.
Selingan Curcol
Idealnya orang sebelum nikah cek kesehatan, vaksin dan sebagainya. Cuma seperti kaum budget pas-pasan pada umumnya, tentu ketika menikah tidak ada pemeriksaan kesehatan sebelum nikah. Ketika setahun nikah tanpa anak pun tidak gentar dengan alasan wah kebetulan memang lagi membangun usaha baru nich. Padahal 2015 itu saya sebenarnya sudah mulai mengasihani diri sendiri mengapa tak kunjung ada anak. Namun atas nama gengsi ingin terlihat tegar dan penuh dukungan kepada pasangan yang sedang membangun usaha, saya tidak pernah membahas hal tersebut. Pokoknya temperamen saya langsung tinggi aja kalau ada berita kelahiran. Ditandai dengan diam seribu bahasa menjawab pendek sekadarnya. Ya elah cuy, di masa masa ituh gue iri sama orang yang bisa hamil duluan sebelum nikah. Setidaknya mereka lebih tokcer daripada awak ini.
Vaksinasi: MMR bayar, C19 gratis
Baiklah ke vaksin. Karena selama dengan psikiater saya ada obat yang rutin diminum dan selama meminum obat tersebut belum bisa program hamil, saya mendaftarkan diri vaksin ke Imuni. Vaksin yang saya ambil adalah MMR (Measles, Mumps, Rubella). satu dosisnya 600 ribu kalau tidak salah. Silakan cek Imuni saja ya harga terbaru. Mengapa milih Imuni? Soalnya dokternya bisa datang ke rumah. Jadi di tengah pandemi saya ga perlu kelayapan ke mana-mana. Mengapa MMR? Ya ini vaksin yang direkomendasikan sebelum nikah. Baru saya kerjakan 2021 di tengah masa saya berkonsultasi dengan psikiater.
Berikutnya tentu saja vaksin lengkap Covid-19 pakai Astra Zeneca. Vaksin dilaksanakan di balaikota DKI. Jauh banget deh dari Depok. Vaksin C19 dengan AZ itu berkesan memang. Bagai menerima simulasi terkena covid gejala ringan. Badan meriang, sakit kepala luar biasa, Saya beneran bersyukur begitu H+2 efek vaksin sudah hilang. Salut saya dengan orang yang terkena Covid gejala ringan menghadapi penyakit ini selama berhari-hari.
Penutup:
bisa jadi tulisan program hamil ini seperti niat awal saya yang ingin membagikan soal mengajar anak berkebutuhan khusus TIDAK BERLANJUT sampai bagian tiga, empat atau lima. Entah karena saya akhirnya anaknya tidak ada atau programnya tidak berlanjut karena satu hal dan lainnya. Namun bagian kedua pasti ada. Topiknya tentang HSG, tes darah, dan tes analisa sperma.
Aku nunggui part selanjutnya. Suka bacain blognya vivi ttg konsultasi ke psikiater dan struggling utk beranak, just bcos kita sama hehe. Sama2 depresif, bitter, dan sama2 pengen beranak bertaun2 tapi susah.
Aaaakkkk aku tersandjung aaaakkkk