Setelah membahas soal myoma, ini ada kelanjutannya. Seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, Myoma ini semacam wujud dari kumpulan kepahitan saya. Tentu saja orang-orang terdekatlah yang bisa membuat kita terluka. Namun setelah bertahun-tahun saya cenderung menyalahkan mereka, saya mulai memahami cara saya mempersepsi kalimat/ tindakan mereka lah yang berkontribusi banyak dalam membuat saya tenggelam dalam kepahitan. Setetes demi setetes berkembang jadi tumor jinak bernama myoma.


Sebentar ya ini cuma cocoklogi saya, jangan memukul rata bahwa perempuan dengan tumor pasti karena kepahitan. Sekali lagi ini cuma cocoklogi saya terhadap kondisi saya pribadi.
27 April 2020 saya kontrol karena obat esyma ditarik untuk direview ulang di Eropa. Vonis keluar: operasi. Saya menangis. Saya melarikan diri ke drakor. Apakah bisa langsung operasi di bulan April? Tentu tidak. Pandemi membuat saya bukanlah di kondisi darurat untuk operasi.
Lalu jiwa saya yang selalu ingin masalah cepat selesai membuat saya kembali kontrol di 2 Juni 2020 tapi tetap saja belum bisa karena pandemi yang tak kunjung reda. Bagaimana rasanya berdisiplin diri selalu pakai masker dan cuci tangan sepanjang 2020 sementara penanganan pandemi tak kunjung menurunkan angka padahal saya mau operasi segera? Saya tetap dalam damai. Ini sesuatu yang bukan saya banget. Dulu saya bisa terbawa marah dan kesal karena saya merasa rencana saya tidak tepat waktu cuma karena faktor X. Sekarang saya bisa senyum santai saja. Tidak merasa perlu menyalahkan pemerintah ataupun masyarakat yang terkesan ogah-ogahan mengatasi pandemi ini berakhir. April ga jadi operasi, Juni ga jadi operasi, yo wis lah.
Bagaimana saya bisa berubah sedrastis itu? Saya juga tidak tahu. Saya ga ikut pelatihan motipasi atau pelatihan kesehatan jiwa. Itu terjadi begitu saja.
Saya selalu bilang ‘sikap itu bisa berubah, tabiat dibawa sampai jadi arwah‘ Tabiat saya tetaplah datang tepat waktu, rajin, dan mandiri tapi sikap saya yang berubah. Contoh nih: kalau dulu saya bisa tinggalkan R ketika dia tidak kunjung bersiap, sekarang saya menunggu dengan DAMAI. IYA DAMAI ini perlu ditekankan. Dulunya saya mungkin bersedia menunggu demi menghindari pertengkaran tapi saya menelan kepahitan. Itu salah satu contoh.
Contoh kedua adalah keberanian saya melawan orang yang berbicara nyolot dengan saya mau itu saya yang salah apa saya yang benar. Biasanya saya cuma menekan-nekan perasaan lalu mulai nangis dan menyimpan dendam. Sekarang, ada yang nyolot, saya juga tidak takut bersikap tegas. Ini semata-mata untuk menunjukkan saya terbuka dengan kritik tapi saya juga bukan sasaran empuk untuk oleh orang-orang yang bawaannya merasa paling benar dan tidak mau mengalah. Cukup 36 tahun saya selalu memilih damai-damai padahal dendam, sekarang saya berani menunjukkan apa yang saya rasakan
Ketika saya kontrol di bulan Juni saya juga menerima kenyataan R di-PHK dari Warung Pintar. Di buku rekam medis saya cuma ditulis operasi bisa dilakukan setelah pandemi. Sementara per Juni angka pandemi naik-naik ke puncak gunung.
Untunglah di bulan Juni kami ada kesibukan media streaming untuk ibadah daring gereja plus mulai membuka cabang Sahabat Pet di BSD. Jadi kepala sudah penuh dengan kesibukan. Nah R memang tidak melamar pekerjaan setelah PHK. Saya tahu R itu sebenarnya di bumi ini jarang cocok kerja sama orang kecuali sama saya dan beberapa orang ex-Peentar. Saya cukup cerdas untuk mengimbangi logika berpikirnya sekalipun saya suka terngantuk-ngantuk kalau dia bahas… mobil. Lagian pembagian kerjanya jelas: R idenya saya operasionalnya. R tidak bisa mengerjakan printilan, saya tidak cukup pintar menelurkan ide kecuali untuk hal sepele.
Dalam proses menunggu itu di bulan Juni saya membuat janji dengan dr. Anne, dr Gizi RS UI. Targetnya supaya saya lebih langsing menjelang operasi. Tentu ada nakal-nakalnya tak sesuai aturan tapi dari 70 kg (Juni) saya bisa turun ke 63 kg (Okt). Memang ga drastis ya turunnya karena kalau disiplin bisa lebih dari itu tapi toh saya masih bisa ngemil nasi padang, buat saya win win solution sih ini.
Jadi setelah PHK, ketika R punya keinginan melanjutkan mimpinya membuat rekam medis untuk hewan, saya pikir : hayuh aja lah. Saya bukan tipe pasangan hidup yang akan meredupkan sebuah mimpi dengan pertanyaan : kalau bikin itu, gimana biaya operasi gue? Ra ra ra. Dum dum tak. Wis lah kerjain proyek mimpi dulu aja. Hehehehe.
Juli-Agustus-September sibuk sendiri. 5 Oktober 2020 mulailah Sobat Satwa. Ada yang bersedia modalin lalu R yang dipercayakan menjalankannya. Mengapa R? Bukan saya? Saya sudah cukup mumet dengan Rumah Steril dan Sahabat Pet.
Setelah saya merasa cukup menyiapkan segala sesuatunya, saya kembali kontrol ke RS BUNDA hari Rabu, 14 Oktober 2020. Karena saya belum yakin bisa operasi ya saya kontrol pakai kocek sendiri daripada buang-buang energi urus surat jalan BPJS di Faskes 1 Bahar Medika. Rogohlah kocek Rp.750.000 kalau ga salah sudah dengan USG ya.

Ternyata saya bisa segera operasi. Hore! Saya memang tidak takut operasi ini. Buat saya lebih cepat operasi, lebih cepat saya bisa melanjutkan hidup. Kamis, 15 Oktober 2020 saya urus surat rujukan di Bahar Medika lalu Jumat, 16 Oktober 2020 nongol lagi di RS Bunda Margonda. Langsung di hari itu saya dibawakan surat SWAB dan tes darah. Sayapun atur jadwal via WA untuk SWAB dengan RS UI yang ekspres dan pakai surat dokter Rp.1.275.000. Mengapa swab? Syarat operasi di tengah pandemi ya kudu SWAB baik pasien maupun pendamping. Mengapa RS UI? paling cepet satset

Nah ini yang saya serem. Dimasukkan alat di hidung dan leher. Hih. Hasil SWAB saya terima Sabtu pagi karena milih ekspres. Lalu sambil ke RSUI menjemput surat keterangan dokter, saya tes lab di Prodia Rp.1.372.000. Saya tidak tahu kalau di RS Bunda ada lab juga.

Sabtu Sore, 17 Oktober, hasil Prodia sudah keluar semuanya. Saya print dan kumpulkan bersama hasil SWAB ke Poli Kandungan pada hari Seninnya 19 Oktober. Dari situ akan dibuat janji pertemuan dengan dokter anestesi. Saya pikir janjiannya kapan gitu. Eh ternyata Selasa jam 8 pagi teng. Buset deh. Saya terhuyung-huyung mengantuk karena janjian sepagi itu. Kemudian dr. Resi menjelaskan bahwa tindakan bius pertama akan dari punggung. Epidural kalau tidak salah. Hmm. Saya akan merasa kesemutan di kaki lalu baru bius benerannya. Berasa kucing mau disteril.
Mumpung sudah di RS Bunda saya tanyakan ke suster apakah bisa konsul terakhir dengan dr. Chandra. Ternyata bisa. Ya sudah lah sekalian deh. Oh ya konsul 16 Oktober dan 19 Oktober sudah free ditanggung BPJS ya. Bayangkan kalau itu tanpa BPJS, hari Senin saya keluar biaya berapa. Swab dan tes darah memang tidak ditanggung BPJS.
Nah ketika konsul dengan dr. Chandra, beliau menanyakan apakah saya mau upgrade perban dan upgrade painkiller dari paket BPJS. Semua saya setujui karena saya butuh diri saya segera pulih untuk balik mengurus jualan. Upgrade perban dan pain killer ini mengingatkan saya dengan Rumah Steril. Di Rumah Steril juga gitu. Kalau ada tambahan band aid bayar lagi, kalau ada tambahan pain killer bayar lagi. Sekarang sistem harga tersebut sudah saya hapus sih dari Rumah Steril biar ga ribet.

Jadwal operasi ditentukan hari Selasa itu yaitu: Kamis, 22 Oktober 2020 jam 5 pagi. Pagi banget ya.. Bayangkan di hari Selasa itu setelah bertemu dua dokter, saya langsung urus SWAB R karena pendamping butuh SWAB. Sebenarnya jiwa medit dan jiwa mandiri saya merasa R tidak perlu lah ikut jaga di kamar. Namun segala hal kan bukan tentang saya melulu, kalau R lebih tenang ikut mendampingi ya masa saya tolak-tolak cuma perkara 1.200.000? Rabu SWAB R keluar. Lalu Kamis dini hari kami pun meluncur ke RS Bunda.
Jam 05.00 administrasi
Jam 05.20-06.20 serahkan obat yang sudah saya beli, ganti baju, EKG, pasang infus (sakitnyo), suntik antibiotik, tensi, ambil darah, pasang kantung pipis.
Jam 06.20-07.00 masuk ruangan untuk diinfuskan pain killer yang saya beli pribadi dan antibiotik.
Jam 07.00 masuk ruang operasi, bius lalu abis itu auk ah gelap saya sudah tidak tahu apa-apa.
Ternyata operasi jam 8 dan selesai jam 9.40. Di situlah R ditunjukkan myoma saya dan ditanyakan apakah mau dilakukan analisis patologi untuk mengetahui apakah myoma tersebut tumor yang jinak, tumor yang ganas atau tumor yang akan berulang muncul. Biayanya Rp.1.650.000. Di luar BPJS. Sesuai dugaan, R ACC. Sebagai orang yang apa-apa butuh data pasti dia tidak akan melewatkan momen-momen seperti ini >.<

Saya mulai bangun jam 10.30. Bangun tertidur bangun tertidur. Baru 11.30 saya pindah ke kamar. Saya merasakan mual luar biasa dan entah mengapa saya malah nahan muntah bukan minta obat muntah sekalian. Antara mau sok kuat atau kelewat medit padahal obat itu sudah termasuk paket bpjs. Akhirnya saya minta obat tersebut 1x padahal saya punya jatah 2x dan berakhir malam-malam muntah, abis muntah plong sih rasanya. Saya bisa makan salad buah dari Najla itu loh.

Beberapa kali ditanya apakah saya merasa nyeri, saya jawab dengan mantab tidak sama sekali. Ya segitu tokcernya pain killer dari infus dan dari koyo yang ditempel di atas perban jahitan. Itu sebabnya Kamis malam saya sudah bisa transfer-transfer urusan Rumah Steril, Jumat pagi saya sudah bisa atur ambalan mana yang kudu dipasang di tembok. Semuanya modal pakai HP Pocophone 2 termasuk menulis blog ini.
Hari ini, Jumat 23 Okt 2020, saya menerima kabar dari dr. Chandra bahwa semua myoma saya sudah terangkat dan tidak merusak ovarium saya sama sekali. Hore! Minggu depan saya perlu kontrol lalu dua minggu lagi saya mendapat hasil tentang karakter myoma saya. Halah.
Saya merasa seperti membuka lembaran baru dibanding ketika menikah dulu. Momen keluarnya myoma saya ini seperti penanda bahwa kepahitan yang selama ini ada di saya juga hilang.
Sabtu, 24 Oktober 2020 jam 10.30 saya sudah boleh pulang. Biaya yang dikeluarkan? Rp.0 alias gratis. Jadi dana pribadi saya keluar ya cuma yang disebutkan di atas. Kurang lebih Rp.7.150.000 lah yang mana kalau mau hemat 3 juta ga perlu tes patologi dan upgrade pain killer. Mau lebih hemat lagi? Hemat 4.5 juta? Ga usah swab pendamping alias masuk RS sendiri. Toh suster di RS Bunda sangat membantu koq. Saya dua malam di RS Bunda tanpa R jadi kalau butuh bantuan tinggal pencet bahkan membantu ngupasin telur rebus karena saya masih kesulitan. Okie gitu cerita saya, selamat rajin bayar BPJS Kes ya. Kamu ga pernah tahu kapan kamu memerlukannya.
2 pemikiran pada “Operasi di tengah Pandemi”