Kebijaksanaan dari Beasiswa yang Gagal

Karena satu hal dan lainnya di 2023 ini, saya kembali membahas kegagalan saya yang lain yaitu gagal dapat beasiswa. Tahun 2023 ini saya kembali gagal dapat beasiswa sekalipun seperti biasa sudah diterima di universitasnya. Namun ada perbedaan ketika gagal beasiswa di sekitaran 13 tahun lalu dengan kegagalan beasiswa 2023. Saya lebih menghadapi kegagalan yang sekarang dengan tenang dibanding dulu. Mungkin saya sudah cukup kenyang makan asam garam kegagalan. Jadi justru kalau ada sebuah kegiatan saya langsung berhasil saya malah akan bertanya kepada sutradara hidup, “tumben skenarionya begini? Biasanya gagal dulu?” Di bawah ini saya akan menuangkan apa saja pencerahan yang saya dapat dari beragam kegagalan hidup yang saya alami.

Saya Suka Menceritakan Kegagalan

Saya itu paling suka menceritakan banyaknya kegagalan yang saya alami entah itu dalam merintis usaha ataupun memberi mendukung kepada pasangan hidup (terlepas bahwa tulisan-tulisan tersebut saya gembok dari pandangan publik, kontribusi saya dalam mempertahankan perkawinan itu cuma 40%. Angka ini naik karena di masanya saya cuma mau 20%, sisanya angkat jari tengah ke udara)

Saya Tidak Suka Gagal dalam Mendengarkan Suara Hati

Saya baru paham mengapa kegagalan berulang di beasiswa baru saya ceritakan saat ini ya karena TERNYATA karena saya merasa paling benci kalau saya sudah merasa tidak mampu, eh terbujuk omongan orang lain, lalu akhirnya gagal total yuk mari balik badan. Ini apa ya enaknya istilahnya dalam satu frasa atau satu kata? Sebenarnya selain beasiswa di 2009 sampai 2012, ada kegagalan dengan pola seperti ini: ambil franchise pindahan di 2012, sewa gudang di 2020. Sumber kekesalan saya ada 2:

  • Saya paling kesal kalau saya kalah dengan suara orang lain, bukan dengan suara hati saya yang paling dalam. Akibatnya saya pengen menyumpah serapah org tersebut tapi seringan saya sungkan (takut disahutin sih aslinya, red.).
  • Kedua saya paling terpantik kalau urusannya uang yang buat saya kebuang. Mencoba beasiswa, nambah franchise, nikah, dan sewa gudang itu ternyata menyangkut pengeluaran tambahan. Jadiii saya bisa marah betul perkara keluar uang (apalagi malah nambah utang) hasilnya buntung.

Et dah Vi? Gitu doang. Uang kan bisa dicari? Kan karena coba selalu ada hikmahnya dalam kehidupan? Dulu, saya mungkin mangguk-mangguk sambil melanjutkan hidup terseok-seok mengasihani diri sendiri. Sekarang? Saya sudah kenyang dengan pelajaran. Gak ada lagi sungkan-sungkanan sama omongan orang. Gak acung jari tengah ke udara tapi cuma telangkup tangan sambil bilang: ‘baik saya endapkan dulu masukan Anda‘.

Dari Mengasihani Diri jadi Pukpuk Diri

Nah kegagalan beasiswa British Council ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Saya menjalani tanpa paksaan. Saya mengerjakan semuanya dengan ringan. Malah, saya belajar suatu hal dalam hidup yaitu menunggu dengan tenang. Aslinya kalau tidak ada perkara beasiswa, ada hal yang sudah akan saya lakukan di kuarter 2 tahun 2023 ini. Cuma karena menunggu keputusan beasiswa, saya urung melakukannya. Akibat dari mengurungkan niat tersebut apa yang menjadi target kerja di kuarter 2 ini saya jadi berpikir, “emang ini perlu ya tetap dilakukan ya kalau gak jadi dapat beasiswa ke Inggris?” atau “Ini apa gak dipindah ke kuarter 1 tahun 2024 ya biar ga keburu-buru?” Yah gitu-gitulah kurang lebihnya.

Lanjut soal beasiswa yang dulu itu, sebagian email ketika saya mengurus beasiswa sudah banyak yang dihapus karena begitu marahnya saya waktu itu. Namun dari email tersisa saya bisa tahu bahwa ternyata saya mencoba beasiswa 2009, 2010, dan 2011. Itu menjelaskan mengapa saya di tahun 2011 memperpanjang paspor tapi berakhir 2011-2016 paspor itu kosong tak terpakai. Beasiswa tidak diterima, lanjut setelahnya setengah mati merintis usaha semata-mata karena keki uang sudah kadung hilang banyak, lanjut kemudian memutuskan mendukung padahal enggan. Mendukung dengan enggan ini gak perlu lah ya apa sebenarnya terjadi. Wis lah.

Kalau anak zaman sekarang pamer berapa banyak surat penerimaan universitas di luar negeri, kalau saya dulu sudah hapus-hapus email penerimaan sambil sambat : buat apa diterima kalau gak ada uangnya?

Sekarang saya sudah biasa banget menerima kenyataan diterima S2 Psikologi di USA dan S2 Pendidikan Berkebutuhan Khusus di Australian National University, S2 Digital Health System di University of Glasgow tapi berakhir cuma gelar lapak steril kucing dari Depok. Saya bukan cerita spesial kaleee perempuan Indonesia gagal melanjutkan pendidikan cuma berharap beasiswa. Belum lagi mengincar beasiswa itu gak murah loh.

Akhir kata untuk yang bertanya-tanya mengapa beasiswa butuh biaya? Sederhananya adalah mengambil test IELTS. Cek saja berapa biaya les dan tesnya. Sungguh bukan harga yang terjangkau untuk 90% rakyat Indonesia. Trus mengapa kalau ragu bisa dapat beasiswa, mencoba berkali-kali? Karena saya berpikir melanjutkan S2 itu akan memperbaiki nasib dengan minim modal karena tidak punya uang pribadi. He he he. Jadi logika saya berpikir iya deh ikutin saran orang, coba aja.

Dulu Aku Nurut, Sekarang Aku Runut

Karena saya cenderung nurut apa kata orang, ada masa saya masih bingung kapan perlu grit kapan perlu quit. Saya kayanya gak bisa menerima realita bahwa seringan kualitas hidup terbaik adalah dengan REST. Saya jadi ingat tetangga di Pasar Minggu yang setiap hari jam 5 pagi membawa kompo dengan kaset olahraga pernapasan dengan musik mengalun pelan-pelan dan pengisi suara memberi komando tarikkk lepassss.. tarik lepasss.. alias taichi. Saya yang cuma beberapa kali melintas saja bisa ikut menyimak untuk mengistirahatkan pikiran dan hanya fokus bernapas. Sederhana memang, tapi tetap tenang dalam menjaga diri dalam posisi hening supaya bisa mendengar suara hati terdalam sehingga pilihan hidup yang kita ambil lebih berkualitas itu baru bisa saya lakukan di usia menjelang kepala.

Sekarang saya belajar untuk berpikir runut supaya kalaupun keputusan yang saya rasa berkualitas tersebut ternyata berujung buntung atau bikin keki, saya berada dalam durasi kekecewaan yang manusiawi: tidak tergopoh-gopoh untuk bangkit berusaha kembali gembira, tidak juga berlarut dalam kesedihan. Itu karena saya sudah memiliki kendali penuh atas apa yang saya putuskan, kalaupun ada orang yang memberi masukan, saran tersebut tidak lagi menjadi acuan keputusan.

Ya sudahlah ya. Semua kengoyoan itu sudah saya bisa ambil hikmahnya bukan cuma sekadar fokus pada pahitnya. Hikmahnya apa? Ya jadi tahu skor kemampuan Berbahasa Inggris di masa itu. Jadi bagaimana? Tulisan ini telah merefleksikan bagaimana saya berkembang menyikapi sebuah kegagalan beasiswa dari menjadikan itu emisi kepahitan menjadi sumber pencerahan kebijaksanaan. Apakah 2023 ini saya perlu mengulang IELTS sekadar untuk tahu sejauh mana kemampuan berbahasa Inggris saya berkembang dibanding dulu? Tentu tidakkk.

One thought on “Kebijaksanaan dari Beasiswa yang Gagal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *