Ulasan Buku Merawat Luka Batin

Saya sudah lama ngeh ada dr. Jiemi Ardian, SpKJ di Twitter cuma entah mengapa saya tidak follow beliau. Mengapa? Gak tahu juga. Ketika buku ini terbit saya memang belum tertarik membeli mengingat saya sendiri kan toh sedang rutin kontrol ke psikiater. Ternyata setelah mendapat pinjaman dari teman, saya akui bahwa buku ini perlu ada untuk selalu kapan saja dibaca ulang. Awalnya saya agak gimana gitu dengan judul Merawat Luka Batin tapi sekarang saya paham juga bahwa saya perlu cek kondisi jiwa saya dalam perseneling yang sesuai kebutuhan. Saya suka sekali bagaimana buku ini jujur apa adanya:

Sebelum saya ke psikiater, saya sudah dapat masukan berulang kali dari seseorang bahwa saya ke profesional. Hebat kan? Orang yang mendeteksi bahwa ada yang salah dengan saya cuma 1 orang. Saya dengan sengaja berdiri tegak, suka ngobrol dan tangguh di depan siapa saja. Tidak ada yang tahu saya sebenarnya tidak pernah tersenyum tulus.

Di atas adalah foto saya baru balik dari psikiater Februari 2021. Itu adalah foto saya 1 bulan ke psikiater. Lah itu fotonya tertawa lebar? Oh iya, karena di kepala saya ada semacam rambu: ada yang kasi kejutan ulang tahun, masyarakat butuhnya kamu pasang senyum bahagia. Jadi itu lah yang saya lakukan. Aslinya? Saya di dalam hati cuma pengen menarik diri dari orang lain karena saya tidak suka diselamati ulang tahun. Bingung gak lu? Percayalah bapak, ibu, saudara, saudari mencoba menyemangati orang yang dalam kondisi depresif selalu beresiko mendapatkan respon seperti ini:

Saya pernah loh dikomentari orang yang keluarganya 100% bisa dipercaya olehnya, ‘koq Vivi gak percaya keluarga sendiri?‘. Wah jackpot itu orang saya bentak balik padahal usianya jauh di atas saya dan beneran anggota keluarga yang tidak saya percaya itu saya tetapkan sebagai tersangka sampai dia menyelesaikan tugas yang saya berikan tanpa bisa 1 pun terlewat. Percayalah saya segila itu. Kurang lebih begini: saya pikir orang lain yang jahat, ternyata saya yang gila. Dr. Jiemy di bukunya menggambarkan cukup bagus fase yang saya alami:

Di fase 1 saya sempat kepedean tidak disiplin minum obat juga. Tentu saja saya langsung buru-buru kembali ke jalan yang benar. Nah ini sekaligus juga sebagai jawaban mengapa saya yang lulusan Psikologi memilih ke psikiater dulu daripada cukup konseling ke psikolog saja. Ternyata memang obat membantu masalah yang sumber perkaranya di otak. Di buku ini ada koq gambar perbedaan otaknya.

Fase dua dan tiga ini saya jalani secara tekun dan terbukti memang saya bisa melaluinya. Fase tiga itu berbarengan dengan saya menghadapi kedukaan alm mama saya meninggal loh. Saya tetap menangis terisak-isak di ruang psikiater ketika itu tapi saya bisa menjelaskan dengan baik bahwa saya sedang membiarkan banjir bandang kesedihan lewat tanpa sibuk membangun tanggul ketangguhan dan saya tahu kesedihan ini sementara. Ini dijelaskan di buku juga:

Balik ke penjelasan buku dr. Jiemi bahwa fase 3 soal merawat luka, paska saya dinyatakan lulus dari kelas poli jiwa selama 1,5 tahun apa saya langsung lenggang kangkung selalu bisa stabil? Ya nggak lah. Ada masanya saya sedikit sedih selama seminggu cuma perkara kost sepi tapi saya sekarang beneran tulus senyum setiap hari kepada siapa saja. Psikiater saya waktu itu bilang bahwa saya bisa melanjutkan konseling ke psikolog jika diperlukan. Sampai saat ini saya masih belum merasa perlu ke psikolog. Nulis keseharian dan blog sudah cukup banyak membantu saya. Semoga ini cukup memberi pemahaman bahwa penanganan luka batin jangan kaku kudu psikiater saja atau kudu psikolog saja. Semua bisa bersinergi. Yang kacau (buat saya loh ya) kalau anda berurusan dengan pseudo profesional. Terlihat profesional padahal ilmu dan prakteknya tidak sesuai dengan kaidah keilmuan.

Kemudian saya sempat enggan membeli jam pintar karena saya merasa tidak layak punya benda semahal itu (harga benda tersebut tidak sampai 1 juta rupiah). Perhatikan pola pikir saya masih ada sisa-sisa masa kegelapan: merasa gak layak pakai barang mahal. Begitu dicari tahu berapa harga barangnya? Ealah ealah. Saya plong setiap harinya skala stres saya selalu di fase tenang. Bahkan ketika baru-baru ini saya menegur keras seseorang, angkanya tidak melonjak tinggi. Mengapa saya secara tekun sekarang mengukur segalanya dari jumlah makanan, durasi tidur, sampai jumlah langkah ya semata-mata karena ini:

Lihat paragraf terakhir? Saya dari dulu percaya bahwa terkutuklah orang yang mengandalkan manusia. Jadi saya tidak pernah berharap orang lain berubah. Di saat yang sama, saya belajar untuk tidak menggunakan bahasa kalbu. Dr. Jiemi sudah bagus memaparkan bahwa bagian dari merawat luka batin ya berkomunikasi dengan jelas.

Saya menjalani apa yang saya ajarkan ke tim kerja. Berhasil gak? Kadang gak, kadang bisa. Definisi berhasil ini adalah saya bisa menyampaikan dengan tenang, lalu orang yang saya ajak bicara juga bisa mendengarkan dengan baik bukan sibuk mempersiapkan argumentasi. Sering orang lain tersebut saya deteksi sedang bersikap defensif se-empatik apapun saya bicara. Sekarang saya bisa di dalam hati bilang : orang ini masih belum bisa mendengarkan, dia hanya asyik smash atau drop shot ala bulu tangkis. Setidaknya Vivi sudah coba menyampaikan. Vivi gak salah dan dia pun gak salah. Berempatilah kepadanya yang belum bisa berempati ke Vivi. Kalau dulu?? Wah jangan harap saya bisa bertoleransi begitu. Seringan saya berdoa dalam hati bilang ke Tuhan kapan saya mati saya sudah lelah hidup begini. Mau ada orang ndoain saya umur 80 tahun juga saya sudah duluan titip pesan ke Tuhan saya gak betah hidup di bumi. Cuma perkara apa saudara-saudara? Iyak cuma karena omongan saya disahuti/ dipotong sebelum kalimat saya selesai. Ealah ealah (2)

Melalui buku dr.Jiemi ini saya paham orang di atas usia 25 tahun sudah terbentuk pola pikir otomatis hasil dari pengalaman masa lalu dan lingkungan. Jadi saya tidak perlu frustasi bahwa sepertinya pola komunikasi saya yang asertif dan empatik belum membuahkan hasil.

Oh ya saya suka bagian jembatan keledai TUAS yang dipaparkan dr.Jiemi. Ternyata langkah saya untuk mengendapkan segala sesuatunya sebelum menyampaikan kritik atau memutuskan sesuatu selaras dengan TUAS ini. TUAS itu apa? Saran saya beli deh buku dr.Jiemi. Kalau saya kan bisa pinjam ke teman sampai waktu yang tidak ditentukan hahaha. Percaya deh buku ini perlu dibaca-dicobain-dibaca-dicobain gitu terus sampai akhirnya segala sesuatunya bisa di luar kepala

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *