MOMEN AHA
Tulisan terbaru ini berjeda hampir 3 bulan dari tulisan terakhir saya. Sesuatu yang super ngaret karena saya berharap menghasilkan tulisan 1 minggu sekali mengingat mahalnya biaya mengurus blog ini tiap tahunnya huhuhu. Keluar duit 1 jutaan setahun kalau jarang nulis kan berasa boros ya, pembaca?
Lama sekali saya ingin menulis dengan topik ini tapi gak ketemu-ketemu rangkaian berpikirnya (et dah mengapa lu jadi ribet gini mau nulis doang deh Vi? Dulu perasaan nulis-nulis aja perkara orang tersinggung pikirin belakangan??) Jadilah ide saya ini cuma nyangkut di kepala saya proses berulang-ulang berbarengan dengan materi pelatihan saya yang juga gak maju-maju banyak muter-muter di kepala doang.
Kebetulan pagi ini saya baru saja selesai doa pagi, sebuah rutinitas kedisiplinan yang saya jalani karena sudah saya anggap bagian dari pekerjaan. Supaya menghemat waktu, saya sengaja melaksanakan doa pagi di atas treadmill ha ha ha. Kalau treadmill ini bagian dari kedisiplinan saya yang lain. Bukan karena mau memiliki berat badan ideal saja tapi ini bagian dari memberi yang baik untuk otak saya. Penjelasannya di sini.
Di penghujung doa pagi terjadilah MOMEN AHA, bagaikan Archimedes yang menemukan solusi volume. Pendeta Josua Tumakaka menyebutkan sebuah ayat:
For God hath not given us the spirit of fear; but of power, and of love, and of a sound mind.
2 Timothy 1:7
Saya terpantik sekali dengan kata a sound mind ini.. koq jarang saya dengar ya? Untungnya waktu di treadmill pas selesai. Jadi saya begitu selesai ikut doa pagi mencari tahu lebih dalam definisi a sound mind. Bertemulah saya istilah latinnya a sound mind adalah Compos Mentis. A sound mind yang diterjemahkan dalam Alkitab Bahasa Indonesia sebaiknya sih ketertiban berpikir ya. Bukan cuma berhenti di ketertiban saja sehingga dimaknai pembaca Alkitab cuma sebatas tertib antri, tertib berlalu lintas.
APA ITU COMPOS MENTIS?
Bertitik tolak dari istilah latin untuk a sound mind yaitu Compos Mentis, saya jadi menemukan fakta bahwa compos mentis adalah tingkat kesadaran tertinggi manusia di dunia medis. Pengukuran kesadaran manusia secara kuantitatif memang masih menggunakan Glasgow Coma Scale, tapi untuk kualitatifnya ada enam dari yang tertinggi yaitu Compos Mentis sampai akhirnya Coma. Pengkategorian kesadaran secara kualitatif ini ada beragam versinya. Yang saya gunakan di tulisan ini yaitu dari tertinggi Compos Mentis (sadar sepenuhnya) – Apatis (sadar tapi enggan berhubungan dengan sekitarnya) – Delirium (kesadaran menurun, motorik terganggu) – Somnolen (penurunan kesadaran ditandai dengan mengantuk yang sulit dibangunkan) – Soporo Koma (dah lah kalau sudah ada koma komanya ga usah dijelaskan ya) – Semi Koma – sampai akhirnya Koma memang hanya saya temui di tulisan dalam berbahasa Indonesia. Kalaupun ternyata versi internasional yang mungkin lebih ilmiah akan saya temui nanti di masa depan, tidak akan mengubah banyak konteks penulisan ini.
Kondisi compos mentis alias sadar secara penuh bisa saya capai paska saya 2 bulan pertama rutin kontrol di poli jiwa. Saya sendiri 1.5 tahun di poli jiwa. Jadi setahunan saya di poli jiwa sudah jauh lebih baik tapi saya disiplin menyelesaikan pengobatan di poli jiwa supaya terukur, terbukti, teruji saya beneran sehat mental gak kambuh-kambuh lagi. Selama saya di poli jiwa ada peristiwa hidup yang cukup memukul mental saya dari dimaki-maki orang, tante saya bunuh diri sampai mama saya meninggal tapi ketiga peristiwa tersebut ga menggoyangkan kondisi saya yang sudah compos mentis itu menjadi apatis apalagi delirium. Sebelumnya per 2010 saya berada di kondisi apatis: sadarrr tapi asyik memasang jarak yang jauh dengan sekitar sambil diam-diam berharap kapan Tuhan ambil nyawa saya entah ketabrak keq, kena penyakit akut keq, pokoke gak usah lama idup.
KALAU BISA APATIS MENGAPA PERLU COMPOS MENTIS?
Itulah isi kepala saya rentang 2010 sampai 2020. Di mata orang lain saya bisa berfungsi secara normal tapi kondisi otak saya pelan-pelan sedang ada semacam gangguan kelistrikan lah kalau kata orang PLN. Pernah mengalami sistem kelistrikan di rumah atau kantor anda yang lampunya bisa meredup atau kedip-kedip sendiri? atau AC tak kunjung dingin dan malah gampang rusak? Itulah yang terjadi di kepala saya. Orang awam menyebutnya depresi. Padahal penggunaan istilah depresi gak bisa sesederhana itu sebenarnya. Perihal ini kapan-kapan saya jelaskan deh.
Di masa otak saya ada gangguan, saya pakai acara mengambil beragam keputusan signifikan dalam hidup: keluar dari pekerjaan lalu merintis wirausaha lah, menikah lah, operasi rahim lah dan sebagainya. Hal tersebut saya lakukan semata-mata karena saya asyik menyangkal bahwa sebenarnya ada yang salah dengan saya sambil tepuk-tepuk diri: kan ada Tuhan? masa saya perlu ke psikolog? Saya sebenarnya terlalu sombong sebagai sarjana Psikologi merasa saya gak butuh psikolog ataupun psikiater.
Belajar Rendah Hati
Di rentang 2010 sampai 2020, di 1 tahun penghujungnya saya berdoa sungguh-sungguh minta kepada Tuhan supaya saya punya buah roh. Doa itu saya lakukan karena saya sedang merasa di atas angin: penghasilan bulanan berlimpah, daripada ga berdoa ya udah lah doa minta kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri ada di dalam diri saya daripada orang di sekitar hidup saya jadikan sansak melulu.
Orang-orang ini memang tidak mengalami kekerasan berupa bilur-bilur lebam sampai ia bisa melapor ke polsek terdekat, tapi seringan mulut saya membaret-baret hatinya. Saya yakin di masa itu, orang-orang di dalam hidup saya bagai berjalan di lahan penuh ranjau darat. Salah langkah bisa meledak.
Di masa berdoa itu apakah terjadi perubahan di diri saya? Kagak. Namun saya tidak menyerah. Saya yang temperamental terus saja berdoa saya penuh kasih, saya yang gak bisa lihat orang lambat bekerja kebanyakan bengongnya, tetap saja berdoa saya punya kesabaran, saya yang selalu mau ambil keputusan cepat, tetap saya berdoa saya punya pengendalian diri.
Sama seperti orang kebanyakan, saya berpikir mengandalkan keimanan saja cukup padahal kesehatan jiwa yang sumbernya adalah kesehatan otak perlu selaras antara medis dan iman. Penyakit lain yang ada hubungannya dengan kesehatan otak seperti stroke pasti kita langsung berikhtiar bawa pasien ke IGD dong? Sambil apapun sesuai keimanan kita lakukan. Bukan cuma berdoa memandangi pasien yang bergejala stroke dan gak segera meluncur ke rumah sakit kan? Bukankah iman tanpa perbuatan itu mati? Bukankah kita juga percaya Tuhan bisa pakai para tim tenaga kesehatan untuk memulihkan otak kita? baik itu stroke maupun gangguan psikologis?
Sampai di satu titik ada faktor pendorong kondisi saya jadi anjlok ke posisi delirium. Ketika itu saya baru pemulihan operasi pengangkatan myoma di rahim, baru mendapatkan pencerahan apa penyebab tidak punya anak. Kondisi delirium pada manusia itu gelisah, disorientasi dan sebagainya. Kaya kalau anda demam, mimpi jadi ngaco-ngaco dah. Di kondisi ini menyuruh orang doa ya begitu sulit. Memang cuma 4 hari ya terjadi di saya. Namun buat saya itu sudah menjadi pengingat dari Tuhan bahwa saya tidak perlu membawa diri dalam pencobaan yang bisa membawa saya jadi koma.
Saya masih ingat setelah beberapa bulan ketika kontrol di poli jiwa bilang ke psikiater saya : koq saya sekarang bisa sangat tenang ya dok?? Padahal ada kejadian luar biasa di tim kerja saya? Padahal sempat ada kejadian kematian pasien? Padahal saya super sensitif kalau ada orang yang komen soal infertilitas? Obat ada, tapi perubahan karakter seperti itu kan ya karena mukjizat adanya ya.
Luar biasa tepat ketika saya dengan rendah hati melangkahkan kaki ke ruang psikiatri tepat itu pula doa saya dijawab Tuhan. Kasih, sukacita, kerendahan hati, kemurahan, penguasaan diri, damai sejahtera, kesabaran berlimpah di dalam otak saya sehingga membagikannya kepada orang lain ya begitu mudah tanpa syarat. Lah koq cuma 7? Yang dua kadang ingat, kadang lupa. Ya udah sik namanya juga manusia haha.

Bukan Lomba Mendang Mending
Mungkin kalau akhirnya anda tahu apa yang terjadi dengan saya di tahun 2010 sampai dengan 2020 akan berkomentar: ah cuma gitu doang! masalah gue mah lebihhh gedeeee, gue baek baek aje. Tetep semangat idup gue. Ya, saya turut berbahagia bahwa anda sehat mental. Kesehatan mental tidak pernah menjadi ajang membanding-bandingkan siapa yang paling menderita. Mengapa? Reaksi manusia berbeda-beda karena ada 4 faktor:
- Faktor protektif bisa dipagarilah melalui keimanan, atau apapun aktivitas spiritual Anda. Bisa juga dari talenta ataupun kecerdasan anda. Ingat kecerdasan gak melulu bisa berhitung. Ada beragam dimensi. Saya tulis terpisah soal kecerdasan
- Faktor perpetuasi menyangkut kondisi sekitar entah itu ada tidaknya dukungan keluarga ataupun komunitas sekitar. Belum lagi kalau ada kondisi keuangan yang mengganggu.
- Faktor presipitatif adalah peristiwa pencetus yang terjadi saat ini atau ada pengalaman menyakitkan lain yang terjadi. Sekalipun kita sama-sama mengalami ketegangan di era Covid 19, ada pemicu stres hebat yang secara khusus hadir di dalam hidup saya.
- Faktor predisposisi ada:
- Faktor genetik. 4 anak dalam 1 keluarga bisa mewarisi beragam kode genetik bawaan dari orang tuanya. Ada yang mewarisi attention deficit disordernya, ada yang mewarisi anxiety disordernya, ada yang gak kebagian keduanya, ada yang mewarisi gangguan auto imun tubuhnya. Ya udah disyukuri, disadari, dan dijalani aja pembagian warisannya ya kan. Kalau bagi warisan tanah pada semangat mengapa pembagian gen gangguan psikologis pada enggan? Bahwasanya ternyata warisan genetik dari ortu tersebut perlu disadari dan dicari solusi. Lah situ mau dapat warisan tanah juga ada pajak waris yang kudu dibayar tunai di kantor pajak koq.
- Faktor kepribadian. Ini tidak sebatas introvert versus ekstrovert yang sekali lagi dimaknai secara salah kaprah oleh orang awam. Teori kepribadian manusia beragam tapi yang ilmiah ya masih big five personality theory di situ bisa dilihat juga seberapa terbuka orang tersebut terhadap pengalaman baru, seberapa stabil emosinya, seberapa hati-hati orang menjalani hidup dan seberapa neurotiknya orang tersebut.
- Faktor trauma. Nah hanya karena istilah ini lagi naik daun bukan berarti kita gegabah menggunakannya. Untuk trauma di masa kanak-kanak salah satu tolok ukurnya adalah skor Adverse Childhood Experience.
Banyak amat tulisan saya ya :/ Baca ini saja okey:

Dari Delirium ke Compos Mentis
Singkat kata singkat cerita, tepat 1 tahun saya lulus dari poli jiwa. Saya secara konsisten bisa di posisi compos mentis alias kalau pakai ayat Alkitab di atas adalah tertib berpikir di dalam Kasih Karunia Kristus.
Dengan kondisi saya saat ini, besar harapan saya tepat di usia 40 tahun alias tahun depan, saya bisa melanjutkan cita-cita saya sejak SMP yaitu menjadi psikolog. Saya sudah terbantu dengan program pemerintah melalui BPJS Kesehatan saya bisa ditolong ke psikiater selama lebih dari setahun berobat rutin tanpa putus, sekarang saya membantu orang banyak entah bagaimana jalannya. Amin.

Done… makasih tulisannya mba vivi, udh 2X ngulang bacanya😀
aku yg selalu dibilang Apatis sama orang sekeliling (walau mungkin mereka jg ga terlalu paham yg dikatakan Apatis itu bagaimana)
aku yg msh bingung sama diri sendiri apalagi saat mengukur penjabaran istilah introvert & extrovert,
Auto nyari big five personity