Membuat Sedikit Surga di Bumi untuk Sesama

Di bawah kolong langit yang sama, milyaran orang di bumi pelan-pelan merasakan simulasi neraka dari sumbangsih spesiesnya sendiri: Suhu menaik, napas nyedot polusi, bisnis dan jualan sepi. Namun saya percaya kemanusiaan itu tidak pernah gagal membuat bumi ini terasa sejuk di hati di tengah kenyataan hidup yang banyak kelabunya daripada merah jambunya.

Maka yang saya mau lanjutkan dari pelatihan KETEK ASEM 2022 adalah empati. Sebelum membahas soal empati dan latihannya, izinkan saya mendongeng dulu bagaimana proses berpikir sampai urusan usaha kecil aja mengapa kudu ada budaya kerja. Bukankah budaya kerja itu cuma ala-ala kerja kantoran di sekitaran SCBD? Baiklah saya akan memaparkan nyaris mendongeng. Bukankah saya dikenal sebagai orang yang ingin menyampaikan 1 hal berputar-putar ke timur ke barat baru ke inti buminya? Persis seperti proses penggalian emas di Freeport lah.

Setiap kali dengerin Vivi, slalu ingatlah Freeport

Sekapur Sirih

Baru saya sadari beberapa bulan ini, pengalaman saya bekerja menjadi guru untuk remaja berkebutuhan khusus (rata-rata murid yang saya tangani selama 5 tahun bekerja bukan cuma mengalami kesulitan belajar tapi memang ada gangguan kepribadian bawaan) lalu berlanjut terjun ke wirausaha sedikit banyak meningkatkan kemampuan saya mengurus sumber daya manusia. Sebuah minat yang sebenarnya tidak saya sadari saya miliki sampai saya kuliah di Psikologi UI. Saya yang sebenarnya ingin menjadi psikolog klinis dewasa aslinya lebih cepat nangkap kalau urusannya dengan Psikologi industri dan organisasi.

Apakah sebenarnya saya sebenarnya bertalenta di bidang sumber daya manusia? Yah lumayanlah. Kemampuan saya dalam berbagai hal baik itu penjualan dan pemasaran, riset dan pengembangan, juga cuma rata-rata gak pernah paripurna koq. Cuma seperti kata sebuah kata mutiara:

Namun saya yang sebenarnya penyendiri dan terlalu enggan berbasa basi, inginnya cuma berurusan dengan sedikit tim kerja saja. Jadi Rumah Steril dan Sahabat Pet buat saya sudah cukup menyedot energi. Makanya saya tadinya mau menghindari tanggung jawab urusan manusia di Sobat Satwa. Sayangnya, situasi kondisi toleransi sepanjang hampir 40 tahun saya hidup selalu dengan pola:

bukan tentang aku inginnya gimana tapi seberapa Tuhan menaruh beban di pundak saya.

Vivi 2023 terjemahan asal-asalan dari Galatia 2:20

Tolong jangan salah mengerti dengan hubungan saya bersama Tuhan ini. Saya bukan ingin bilang Tuhan itu gak ngotak dengan beban kerja saya, tapi Tuhan bagaikan personal trainer yang selalu meyakinkan kliennya untuk menambah beban barbel dan kali ini barbelnya bertuliskan *urusan SDM SOBAT SATWA*. Tentu saja, saya lempar balik ke arah Tuhan sambil ngedumel : enak aja nyuruh-nyuruh beban ditambah! Lihat nih aku luka di sini, luka di sini! (pamerin segala trauma psikologis yang saya alami sejak 2010 sampai 2020 ke Tuhan) Kalau ditambahin beban ya cedera taukk! Tuhan pun mengizinkan saya 1,5 tahun memulihkan diri di poli jiwa. Sayangnya jika memilih Tuhan sebagai personal trainer hidup saya, barbel yang sudah saya lemparkan kepadaNya, digelindingkan kembali ke saya tepat ketika saya merasa cedera psikologis satu per satu pulih.

Itu lah mungkin kalian mulai menyadari lapak sudah dibuka sejak Oktober 2020, tapi sepanjang 2021 saya memasang jarak dengan urusan Sobat Satwa dan cuma mau ambil peran perlengkapan sebatas mandorin tukang perbaiki ini itu baru di pertengahan 2022 saya mengangkat diri sebagai koordinator SDM. Saya masih memulihkan diri saya sendiri. Hanya orang yang sehat yang bisa menuntun orang lain. Apakah di tahun 2022 itu hidup saya berjalan dengan riang gembira? Tidak juga. Dalam 1 tahun tersebut saya memanen lebih banyak cerita duka daripada cerita suka tapi karena saya sudah lebih siap menambah angkat beban ya saya melaksanakannya dengan damai sejahtera. Makanya kemudian di 2022 ujug-ujug ada piknik tapi pakai ada seminar singkat, ujug-ujug ada kontrak, ujug-ujug SOP pekerjaan dibuat detail walau baru dari divisi kebersihan (ini hasil saya ngajar murid-murid yang kurikulumnya harus saya susun sendiri loh. Lumayan ada gunanya kan jadi guru).

Baru di awal 2022, saya mikir apa culture company yang dibangun di Sobat Satwa? Kalau perusahaan rintisan (baca startup) menerjemahkan budaya perusahaan sebatas meja bermain, sofa empuk untuk kerja, dan ruang tidur, saya merasa hal paling mendasar dari budaya kerja ya dari cara berbicara dengan sesama manusia. Alasannya?

  • Biaya pengadaan lebih murah. Pelatihan paling rutin setahun sekali kan lebih efisien daripada gaya-gaya beli meja bermain ujung-ujungnya ga dipake juga.
  • Kedua, yang akhirnya menguasai KETEK ASEM bisa meneruskannya kepada orang di sekitar juga menciptakan nuansa surga di bumi tanpa keluar banyak dana.

Tadinya saya ingin menyusun materi pelatihan soft skills ini dengan beragam sesuai trend sekarang. Kalau lagi ramai bahas mindfullness ajarin juga, kalau lagi ramai bahas mental health ajarin juga. Cuma saya jadi teringat seseorang di sekitaran akhir 90an. Eh dua orang ding.

Tenang dongeng masih berlanjut, topik pelatihan masih lama masuknya. Ingat Freeport. Di tahun 1997 alias kelas 1 SMP, saya si anak tunggal yang selalu ingin kebebasan dalam berpikir ini pamit kepada alm bapaknya untuk berpetualang mencari gereja yang cocok. Buat awam, Protestan itu 1 gerejanya banyak. Buat orang Protestan, tidak bisa sembarang masuk gereja hanya karena jaraknya yang dekat. Bercermin dari dirinya sendiri yang memutuskan masuk Kristen ketika kuliah di tengah keluarga yang mayoritas Muslim, alm bapak saya akhirnya membiarkan saya mencoba beragam gereja (baik itu dengan cara mendatangi sampai menyimak beragam siaran di Radio Pelita Kasih) sampai akhirnya: Pak saya bergereja di sini aja. Sebuah organisasi gereja ter-nyeleneh di masa itu. 13 tahun di gereja tersebut, moto gereja ini konsisten: mempersiapkan jemaat yang kudus, misionaris, dan siap ke surga. Alm bapak saya pernah nanya, ‘mana ada orang yang siap ke surga?‘ Dasar saya gak kalah sengit nyamber ‘ya kalau modelannya kaya bapak masih ngerokok ya ga akan siap Pak..

Saya menjadi orang yang cuma fokus dengan kesucian diri sendiri, enggan berurusan dengan orang-orang yang berpotensi membuat saya malah jadi gagal masuk surga. Sampai-sampai saya memilih gak jadi nikah daripada pemberkatan kudu di luar gereja ini. Bayangkan 1 moto sederhana bisa membuat 1 jemaatnya kaku bagai kanebo kering. Ga salah motonya, salah indoktrinasinya. Perkara sibuk mencari keselamatan diri sendiri-sendiri ini membuat saya terbiasa melihat orang didepak dari gereja perkara berpacaran tidak sesuai definisi kekudusan ataupun salah setel setingan microphone. Sebuah situasi yang membuat orang selalu waspada dan menghakimi satu sama lain.

Setelah 13 tahun menjalani keagamaan dengan ketat, saya pindah ke gereja motonya Melalui Kasih Karunia Kristus menjadi Terang dalam Kebenaran dan Kasih. Ini agak sulit memang dijelaskan dalam bahasa awam beda dengan gereja yang pertama. Jemaatnya pun terhadeuh hadeuh kagok kagok karena gak ada lagi pelarangan ini itu, mau pemberkatan di gereja lain pun silakan. Bebas. Gereja lain?

cuma curhatan orang di Tiktok koq

Dari kedua tokoh ini saya belajar, tetapkan 1 budaya perusahaan, terapkan itu sampai kapanpun gak usah kepantik trend masa kini. Itu lah saya tahun lalu mengajukan kembali buat Ketek Asem diterapkan di Sobat Satwa. Mau segeli apapun, akan menancap kaya apapun. Jadilah saya mengajukannya kepada bapak pimpinan. Apakah ketika saya menetapkan ini tidak mendatangkan pro kontra? Ya tentu saja. Baru 1 tahun kan saya terapkan di Sobat Satwa. Orang-orang yang sebenarnya ragu tapi gak apatis bahwa budaya perusahaan ini bisa diterapkan ya masih hadir hari ini karena tahu toh yang ingin diterapkan bukan perilaku yang buruk. Orang yang enggan diatur dalam ketek asem ya memutuskan untuk pergi begitu saja sambil meninggalkan utang di klinik. Nah saya sedang menjadi pasif agresif kepada orang tersebut karena saya ngomongin orang itu kepada kalian gak ke mukanya langsung. Pada prinsipnya dia hanya mau agresif kepada siapapun tim kerjanya dan orang harus memahami perilaku ini. Saya? Ngomongin dia dengan alasan sebagai contoh materi pelatihan. Haha.

Mengapa Ketek Asem Lagi?

Mengapa saya bersikukuh mengajukan ketek asem kepada pengelola Sobat Satwa? Sederhana. Mari kita buat budaya kerja yang menciptakan surga dunia bagi sesama walau cuma delapan jam saja melalui KETEK ASEM. Puji Tuhan Alhamdulilah jika Anda dari keluarga yang hangat sehingga setiap kali pulang kerja, selalu ada yang menyapa, bicara penuh welas asih, mendengarkan dari hati ke hati bukan cuma sekadar ‘pinjam seratus agar silaturahmi tidak terputus‘ tapi sebaik-baiknya keluarga, tidak dapat dipungkiri kita punya kepribadian yang berbeda ataupun mengalami kejadian luar biasa di pagi hari sehingga mendadak dari suasana hati dari merah jambu jadi kelabu yang mana itu manusiawi. Tidak perlu menekan-nekan rasa sedih dengan jargon ‘harus bersyukur’. Sedih, kecewa, takut, marah itu ada fungsinya dalam manusia untuk menjalani hidup.

Regulasi kemarahan, kesedihan, dan ketakutannya yang perlu diatur ketika bekerja. Mengapa? Hanya karena kamu marah ketika ada rekan kerja yang memberi masukan tentang cara kerja kamu, bukan berarti kamu terus menerus bersikap agresif (ataupun pasif agresif kepada orang-orang tersebut), hanya karena orang punya cara kerja yang lebih lambat dari kamu bukan berarti kamu kudu ngedumel panjang kali lebar ke orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, hanya karena ada rekan kerja yang tidak bisa dibilangin sekalipun sudah diberitahu berulang-ulang, bukan berarti submisif dan menekan-nekan kedongkolan sambil ‘ya namanya kerja kan ibadah. begini ya ku telan aja‘ Ibadah boleh saja, tapi tak perlu sampai menyiksa jiwa. Di sini lah Asertif itu hadir.

Wah sulit! Gagal lagi dan gagal lagi. Aku ini loh sudah coba asertif masih disahutin juga sama rekan kerjaku? Loh namanya juga hidup. Banyak gagalnya ya coba lagi. Kalau berhasil-berhasil itu namanya Dora.

Idealisme Ketek Asem ini memang di saya pribadi masih banyak bolongnya. Saya sendiri dinilai kasar dalam hal memimpin alias saya masih suka agresif kan. Simak deh tulisan saya di atas. Saya penyendiri. Itu bagian dari kepribadian saya. Kemudian saya dibesarkan di tengah keluarga yang modelannya:

Namun toh saya memilih menerapkan KETEK ASEM ini sekaligus menjadi pengingat agar saya sewaktu-waktu bisa diingatkan oleh kalian misalnya: ‘saya tahu saya tidak teliti, cuma saya tidak nyaman kalau kalimat yang Vivi gunakan adalah makanya cari pakaiii mata‘ atau ‘saya merasa dikecilkan perannya di pelatihan ini karena draft dari atas ke bawah penggunaan katanya adalah saya melulu‘. Di sini lah pedihnya membentuk sebuah budaya perusahaan. Gak bisa dari inisiatif manaher SDM nya, harus dari pendirinya. Kebanyakan pemilik usaha cuma mau memperbarui kinerja tim kerjanya, sementara dia masih kemasan yang lama.

Ayo Latihan Asem

Nah setelah latihan asertif ini, mari kita berlatih empati masih dengan 2 kasus yang sama. Saya baru nemu bagan panduan ini yang menurut saya bagus sehingga bisa melihat empati bukan sebuah tindakan klemar klemer tidak berenergi. Justu empati ini sangat ilmiah sekali karena konsep empati selalu dipakai orang-orang IT kalau mereka mau membuat sebuah program komputer baru walaupun saat ini alat yang digunakan memang bukan Peta Empati lagi.

Akhir Kata

Atas dasar kerja tenang pakai asertif empati, saya saat ini . Saat ini atas landasan empati ada:

  • untuk tim medis ada Ngobat : Ngobrol Jumat
  • strategi 1 on 1 session sebelum akhirnya ada SP 2
  • Buddy program

Lalu untuk kerja tenang, saya sedang mengajukan:

  • sedang mengajukan keringanan biaya pelatihan Emotional Agility sehingga ke depannya ada penelaahan lebih mendalam dari ketek asem ini.
  • pembuatan buku perusahaan.

Terus bagaimana soal peningkatan kualitas kerja? Bagaimana dengan peningkatan skills dsb? Tenang aja. Ketika landasan kerja tenang pakai asertif empati sudah kuat, pelan-pelan kebuka koq ide-ide baru. Tidak pernah ide baru yang sehat muncul dari lingkungan kerja yang penuh tekanan enggan beropini karena ada yang dominan saling teriak, atau sikut satu sama lain.

One thought on “Membuat Sedikit Surga di Bumi untuk Sesama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *