TIDAK CEPAT NANGKAP
Baru di penghujung 39 tahun saya akhirnya saya sadar betul saya tidak cepat nangkap dalam hal belajar baru. Seminggu ini ada beberapa pelatihan yang saya ikuti dan sekalipun menyimak dari awal, saya bisa di beberapa puluh menit pertama sudah kehilangan konteks dan kebingungan mengejar materi. Saya jadi ingat masa SMA dan kuliah yang mana kondisi itu terjadi berulang tapi saya ketika itu tidak tahu cara mengatasinya. SMA sebenarnya cukup ketolong dengan bimbingan belajar ya. Saya bingung dengan persamaan kuadrat di kelas, ya kan siangnya ada BTA yang mengajarkan ulang.
Bayangkan ketika kuliah. Jurusan saya yang pilih, tapi ya saya gelagepan juga karena semua buku dalam Bahasa Inggris dan tidak ada namanya bimbingan les. Saya baru ngeh mengapa sekalipun di usia saya yang lebih tua ini, saya bisa belajar lebih baik dibanding dulu ketika kuliah adalah karena sekarang semua materi direkam jadi bisa ditonton ulang. Saya ternyata adalah mahluk audio visual. Membaca ulang catatan yang saya buat sama sekali tidak membantu materi yang sedang saya pelajari. Begitu saya bisa ada akses nonton rekaman lalu berulang kali jeda waktu berhenti, dicerna dulu dengan bikin catatan, sambil baca dulu literatur yang direferensikan, saya jadi belajar lebih banyak. Saya malah sering berinisiatif sendiri menambah ilmu sana sini untuk membuat pemahaman saya solid dan proses nambah ilmu ini bisa saya kerjakan sepanjang tahun. Namun dulu karena keterbatasan pengetahuan saya cuma mengandalkan catatan tulisan tangan, gak punya rekaman suara dosen, gak ada rekaman perkuliahan. Ya sudah lah ya masa 20 tahun itu sudah berlalu coba kita lihat di masa depan kalau bisa kuliah lagi dengan strategi yang sekarang emang cum laude?
Tidak cepat nangkap ini juga urusannya mempelajari hal yang sifatnya gerak atau kinestetik. Saya suka dansa tapi saya minder dan merasa tersisih karena saya gak cepat nangkap dengan gerakan. Saya masih ada kerinduan dansa rutin tapi masih mengumpulkan kepercayaan diri saya yang sudah berserakan di lantai Kantin Prima Rektorat UI belasan tahun yang lalu. Kemungkinan sih kepercayaan dirinya baru terkumpul setelah usia lanjut (ealah sela’ mati, Vi). Itu sebabnya saya enggan olahraga aerobik. Mau itu bentuknya pound fit keq, zumba keq, jumpalitan bersama di trampoline keq. Saya jiper karena saya tidak bisa mengikuti kecepatan perubahan gerakan mereka. Daripada kembali kepercayaan diri berantakan di lantai seperti urusan dansa, mending menghindari olahraga berjamaah seperti itu.
Jadilah beberapa minggu ini (dan dari dulu) olahraga saya yang konsisten lakukan ya cuma berjalan di atas treadmill. Kemudian ada gerakan tambahan berupa angkat beban yang saya tulis sendiri sesuai kemampuan saya sendiri. Buat orang mungkin yang membaca rutinitas olahraga saya : ya Tuhan lambat banget ini mah kalau orang lain di kepala 3 sampai kepala 4 turun berat badan butuh waktu 3 sampai 4 tahun, ini mah bisa 7 tahun (buat yang bingung, koq sampai segitu lama, iya udah telen aja rata-rata orang di kisaran kepala 4 butuh tahunan nurunin berat badan bukan bulanan. Gimana udah mau nangis dalam lumpur?). Saya sih BODO AMAT perihal durasi yang lama ini. Dalam target kehidupan sesuai standar hidup orang Indonesia pada umumnya, saya ga ada yang tepat waktu koq: nikah, punya anak, punya aset, bisa ini itu, wis saya spesialis tepat pada waktuNya bukan tepat waktu. Buat saya yang penting saya tidak gelagepan mengerjakannya karena kalau sudah frustasi, saya lama mogoknya.
Tanggap Ing Sasmito
Kalau kamu dibesarkan di dalam keluarga dengan dominasi aristokrat Jawa, percayalah kemampuan ini wajib adanya dan diharapkan hapal di luar kepala. Dalam telaah Psikologi Barat saat ini, perilaku membaca gerak gerik, bahasa tubuh, pemilihan kata kepada tiap orang, tidak dibenarkan karena tidak melatih cara berkomunikasi efektif. Apalagi kalau urusannya hubungan orang tua anak, dianggap mengeksploitasi relasi kuasa #BeratBenerPembahasannyaIni. Namun apalah daya, hidup di pulau terpadat dunia dengan etnis mayoritas yang menjunjung tinggi budaya konteks tinggi alias high context society, kemampuan itu memang kudu tinggi kalau mau tetap terlihat membaur. Untunglah proses belajar saya dari masa kanak-kanak. Jadi bisa dalam sepersekian detik menangkap apa yang ingin dikomunikasikan orang lain cuma dari bahasa tubuhnya. Cuma saya suka sableng aja: mengharap orang punya level cepat tanggap seperti saya. Orang-orang dari etnis tertentu ya bisa. Kan mereka juga diajarkan seperti di keluarga saya. Orang yang besar di Jabodetabek atau datang dari pulau lain (kecuali Bali ya karena 11 12 dengan orang di pulau padat ini) ya tidak ngeh bahwa cara berkomunikasi itu bukan cuma menyimak kata-kata lawan bicara tapi juga bagaimana pergerakan tangannya, gerakan matanya, sampai tarikan napasnya. Begitu kamu berbicara, kamu perlu memperhatikan pilihan nada bicara, decresendo? cresendo? forte? andante? Mak jan banyak banget faktornya. Belum lagi kamu diharapkan cepat tanggap menyimak ini sedang berbicara di jam apa? jam sembahyang? waktu Indonesia bagian nawarin kopi sore? Gitu lah.