Saya super ngefans dengan The Woke Salaryman karena tim kreator bisa membangun cerita singkat padat ngena tentang perjuangan kaum pekerja didukung gambar yang apik. Banyak karya The Woke Salaryman yang bikin saya nangis tersengguk-sengguk karena mereka bisa menulis dan menggambar isi kepala saya dengan presisi.
Saya lupa mana saja yang jadi favorit, yang jelas mereka meluncurkan buku dan sempat ada penandatanganan buku di Jakarta lalu saya terlewat mengetahui karena terlalu sibuk bekerja. Sungguh kealpaan ini membuat saya ingin sekali bisa menghadiri event mereka di Singapura. Hasek. Ke Singapur udah kaya ke Cibinong tinggal mancal bae. Kali ini yang saya mau bahas adalah Aunty Mary dan perubahan karir yang ia lakukan:

Career switch adalah sesuatu yang di era orang tua kita tahun 80an dan 90an adalah sebuah tindakan aneh nan ga ada kerjaan. Saya yakin sampai sekarang pun rata-rata orang masih berpikiran seperti gambar di bawah ini:

Sampai saya lulus kuliah tahun 2006 pun saya yang ketika itu berusia 22 tahun masih berpikir lugu bahwa saya bisa naik ke posisi puncak seperti jingle lagu Akademi Fantasi Indosiar. Baru ketika saya masuk kerja saya akhirnya menyadari saya tidak akan bisa naik semata-mata karena warna kulit dan aksen bicara. Kerajinan dan kecerdasan saya ternyata tidak ada artinya.

Taruhlah saya masuk di perusahaan lokal, tetap saja piramida di atas terpampang nyata. Saya selalu di bawah dan gak sesederhana itu bisa ke tengah. Saya tergantikan. Satu-satunya manusia di bumi yang bilang bahwa saya tak tergantikan itu cuma anak mertua. Ealah ealah. Die lagi die lagi.

Saya pernah loh menerima masukan dari rekan kerja untuk menambah skills sebab lulus dari Psikologi UI tidak cukup. Saya ambil Diploma 1 Pendidikan Berkebutuhan Khusus yang notabene biayanya lumayan karena gurunya bule, semua pengajaran dalam Bahasa Inggris, dan mengacu pada kurikulum Singapura. Ntab. Kartu kredit digesek demi meningkatkan nilai jual saya di mata pemberi kerja. Apakah ada dampaknya? Saya tetap dibayar rupiah sesuai dengan tabel yang digunakan yayasan. Ternyata usaha saya tiada artinya menuju percuma. Mau S2 uangnya tak ada.

Saya suka sekali penggunaan kata took a leap of faith atau kalau dalam Bahasa Indonesia : melampaui garis iman. Ketika saya di awal kepala 3 memutuskan untuk berganti karir, tidak terhitung berapa banyak air mata tertahan di malam hari. Mengapa? Karena ketika saya berganti karir, saya mulai dari nol lalu supaya tetap punya uang, saya mempertahankan karir saya yang lama. Eh gimana gimana? Simpel. Saya kan awalnya guru. Ketika saya berubah jadi wirausaha, saya masih mengajar malamnya. Saya sering berakhir tidur dalam keadaan kecapekan luar biasa tapi saya terus merapal doa : tidak ada yang abadi di dunia ini. Pasti akan berbuah manis. Ada titik terang di ujung sana.
Di sepanjang usia 30an berwirausaha hidup sungguh-sungguh sepi. Siapalah di bumi Nusantara ini yang berwirausaha? Orang-orang seusia saya kan lebih banyak bercerita soal perkembangan anak dan keluhan rumah tangga. Dua hal yang tidak saya miliki. Bercerita ke alm mamakku pun beliau tak kan relate karena di usia 30an, tugasnya cuma mengatur anggaran belanja rumah tangga. Tidak lebih tidak kurang. Beliau tidak perlu memikirkan strategi marketing, mengatur karyawan, apalagi melakukan riset. Namun, beliaulah yang mengajarkan saya berdoa sehingga saya bisa menenangkan diri : Tuhan baik, ini pasti yang terbaik


Dekade kedua dari abad 21 memberi kejutan bahwa tidak ada lagi yang statis. Untuk bertahan harus bersedia dinamis dan lupakan kegemilangan masa lalu. Bersedia dinamis itu selalu melatih kita untuk dengan rendah hati belajar dari nol lagi sekalipun usia terus bertambah. Kita tidak bisa lagi tapi dulu kalau aku di… Bla bla bla.. ajang pamer romantisme masa lalu itu cuma bikin orang dalam hati bilang : lu itu seribu tiga ya di sini gak usah kebanyakan nostalgila.


Setelah 30an berakhir, apakah di usia 40 ini saya merasa cukup berpetualang? Ternyata saya akan melakukan manuver karier untuk kedua kalinya. Melakukan cita-cita waktu SMP. Butuh uang yang besar, butuh mukjizat agar otak saya cukup cerdas untuk lulus ujian SIMAK UI dan teori Psikologi. Butuh ketenangan jiwa karena seperti di awal 30an saya tidak bisa meninggalkan mengajar lalu langsung pindah ke wirausaha, maka di usia 40an ini pun saya tetap harus mengurus lapak sambil belajar dan merintis dari nol menjadi psikolog. Sesuatu yang mungkin buat teman seangkatan, saya terlambat 19 tahun.