From Bitter to Better

Judul di atas diusulkan oleh editor saya. Yoii, terkenal belum, tapi editor sudah ada. Editor ini 10 tahun yang lalu cuma sebatas mencari kesalahan kurang satu huruf atau kurang tanda baca, per 2014 merasa perlu mengecek apa tulisan saya bisa salah dipahami orang atau tidak demi kebaikan saya. Si editor ini memang seolah-olah seperti warganet maha benar itu loh yang suka komen di IG orang lalu dipasang embel-embel ‘sekadar mengingatkan‘ agar terkesan sopan. Coba perhatikan kembali kalimat sebelumnya: _memang seolah-olah seperti_ jadi aslinya ya dia bukan seperti warganet maha benar. Walaupun pada akhirnya saran yang diberikan si editor memang benar membuat tulisan saya jadi lebih mudah dipahami semua orang, tetap saja sebagai orang yang sudah menulis blog sejak masa kejayaan Multiply, harga diri saya agak terbanting dikomentari oleh editor yang display picture untuk blognya sendiri adalah foto seolah-olah tidak menatap kamera dengan latar belakang blower AC. Sungguh tidak bercita rasa sekali pemirsa.

Sampai di sini kalau Anda sedang punya waktu luang dari mengejar omzet atau sudah buntu menyusun menu makan enak sesuai sisa saldo setelah potongan cicilan, silahkan terus membaca. Nah, setiap tahunnya saya selalu menulis semacam refleksi tahunan. Kebiasaan ini sebenarnya sudah saya lakukan sejak alm bapak saya meninggal dan biasanya tulisan itu muncul di 31 Desember. Memang sejak 2004, hari suci buat saya adalah pergantian tahun karena saya isi dengan menulis apa yang rasakan di tahun tersebut. Si editor yang saya sebutkan di atas, sempat di suatu masa malah mengajak saya bakar-bakaran di hari suci versi Vivi. Antara ga enak dan mencoba open minded, saat itu saya berakhir diam-diam kesal sebenarnya di tahun itu. Bukan karena ikannya ga matang-matang tapi karena saya memang sekaku kanebo kering jika menyangkut hari suci versi Vivi. Trus di mana kah tulisan-tulisan refleksi tahunan tersebut? Dihapus dari blog ini sesuai masukan editor. Pembaca favorit saya pasti diam-diam menyumpahi si editor. Hahaha padahal ya realitanya begini: beliau meminta saya mengubah sedikit tulisan-tulisan refleksi tahunan saya tersebut agar tidak salah persepsi, reaksi yang saya lakukan adalah ‘DELETE ALL’. Pola yang sama ketika si editor mengomentari masakan saya, karena itu tidak saya masakkan apa-apa lagi selama beberapa lama. Namun sebelum menghapus tulisan-tulisan tersebut, saya baca sekilas kemudian merangkumnya di sini.

BITTER

Isi tulisan saya ini sebenarnya cuma rekapan dari yang sudah pernah saya bahas sebelumnya dengan ada beberapa landasan teori Psikologinya sedikit. Jadi sekali lagi sudah saya ingatkan, ga usah maksa melanjutkan membaca tulisan ini. Sebelum baca tulisan ini, anda harus dengan urut membaca tulisan lama. Begini cara membaca runut supaya bisa mikirnya juga rapi:

  • Sejak 2010, akumulasi semua kepahitan saya mulai nambah sehingga di satu titik yaitu Oktober 2017 saya mengajukan untuk mengakhiri hubungan di konser Naif. Baca deh di tulisan tersebut saya sama sekali tidak menunjukkan bahwa saya menghadiri konser dengan keinginan untuk berpisah. Mengapa saya bisa bikin titik 2010 belum bisa saya ceritakan dulu di sini. Namun sekadar gambaran di 2010 itu sendiri saya sudah membawa tabungan kepahitan dari masa kecil dan remaja.
  • Ternyata apa yang saya alami, dialami juga oleh Om Piring. Jika anda tidak mengenal om Piring, itu adalah kewajaran. Om Piring lebih aktif di Twitter dan menulis blog di wordpress. Beliau kemudian mulai menulis buku. Saya membaca bukunya langsung ulas di blog tahun 2018. Buku Om Piring jadi mega seller di Gramedia dan akan jadi film. Sekadar catatan, untuk orang awam non Psikologi, hati-hati membedakan mood depresif dan depresi sebagai gangguan kesehatan mental yang terdiagnosis oleh profesional. Yang kuliah s1 Psikologi aja suka salah koq.
  • Butuh waktu untuk menyusun kata sekaligus mencari tahu apa yang terjadi pada saya sehingga saya akhirnya menulis di sini. Menulis itu sebenarnya bagian dari salah satu terapi saya. Itu membantu saya merefleksikan apa yang saya rasakan. Terima kasih untuk komentar menguatkan yang kalian kirim di WA ya. Ada orang yang menyalurkan emosi yang dirasakan dengan bermain game, ada yang nyanyi, ada yang joget tiktok, ada yang melukis, ada yang curhat berulang masalah sama via telepon. Nah saya memilih menulis. Orang punya regulasi emosinya masing-masing yang dia pilih aman dan nyaman untuk dirinya. Selama itu tidak merusak diri dan merusak barang/ mahluk hidup lain ya masih batas normal.
  • Saya lalu berkesimpulan, saya perlu membuat garis imajiner tentang usia ketika akhirnya saya divonis ada tumor jinak di ovarium. Jadi usia 36 adalah awal dari babak kedua.
Landasan teori mengapa saya hanya menargetkan 70 tahun

BETTER

Di babak pertama hidup, saya adalah orang cenderung bitter. Di babak kedua ini saya jauh lebih better kaya biskuit. Saya tetap tidak suka ngobrol. Itu sudah saya jelaskan di tulisan lama saya dan saya belum berminat mengubah hal tersebut. Mengapa? itu semata-mata untuk menjaga kondisi mental saya yang sudah baik. Setaralah di tengah pandemi ini saya konsisten menolak salaman dan lepas masker di depan orang. Yang jelas saya sudah bisa tertawa tentang apa yang pernah terjadi dan saya bersyukur bahwa apa yang alami bisa menguatkan banyak orang di luar sana. Mereka memang tidak menuliskannya di blog, tapi banyak yang japri kepada saya. Saya tetap sering merasakan kesal, bosan ataupun muak sesekali tapi saya sudah tidak berlarut-larut dan tidak membiarkan emosi tersebut yang bermain-main di kepala.

FROM BITTER TO BETTER

Hal yang mengubah saya dari bitter jadi better adalah karena saya mulai bisa secara jujur mengungkapkan apa yang saya rasakan selama ini. Tentu saya bisa bicara terbuka karena saya berada di lingkungan yang mendukung saya untuk apa adanya. Lingkungan seperti ini memang nyaris tidak bisa diakses orang pada umumnya. Lingkungan yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.

Luka-luka batin yang sebelumnya selalu saya tekan-tekan ke bawah alam bawah sadar sampai saya perlu mengkompensasinya dengan tidak bisa berhenti bekerja itu akhirnya ada namanya selain muncul dalam bentuk penyakit. Namanya apa? Ada saya tuliskan di bawah.

Proses penemuan saya ini ternyata juga dilakukan oleh dua orang ahli Psikologi di belahan bumi lainnya. Bagaimana saya bisa menemukan dua doktor di bidang Psikologi ini? Ya dari Twitter, masa dari WAG Family University. Tentu saja seperti kejadian om Piring, mereka menulis buku dan diundang TedX. Vivi? ya coming soon saja..

Emotional Agility – Dr.Susan David

Pertama adalah Dr.Susan David yang menulis soal Emotional Agility. Saya sebenarnya mau baca bukunya lebih lengkap tapi karena keterbatasan budget, saya banyak-banyak mendengarkan podcast dan video dia yang membahas bukunya. Dr. Susan David mengutarakan bahwa kita cenderung memilih dua jalan ketika menghadapi emosi negatif:

  1. mengunci emosi negatif dan memaksakan diri untuk berpikir positif. Bahkan sering kita juga memaksakan positive thinking ini kepada orang lain. Coba hitung berapa banyak orang tua yang bertanya kepada anaknya ‘gimana hari ini?‘ setelah pulang sekolah, yang benar-benar siap mendengarkan jawaban anaknya ‘aku seteres‘. Kebanyakan orang tua akan langsung ‘ah gitu doang koq stres sih‘ atau malah tergopoh-gopoh untuk melakukan hal-hal supaya anak kembali ceria. Pelan-pelan anakpun belajar bahwa jawab singkat padat dengan kata ‘OK‘ atau ‘biasa‘ adalah cara yang menurut mereka aman.
  2. Terlarut di dalamnya. Saya di masa bitter sempat terlarut dalam emosi negatif. Apakah saya salah? menurut dr.Susan apa yang saya rasakan di masa-masa itu benar adanya. Hal yang perlu saya lakukan adalah menyadari bahwa emosi itu hanyalah data, bukan pengarah hidup.

Padahal emosi yang sekarang dilabel negatif seperti sedih, kecewa, iri, cemburu sebenarnya adalah emosi yang wajar untuk manusia rasakan. Tidak ada yang salah dari merasa iri, tidak ada yang salah dari merasa kecewa. Tidak perlu dipaksa-paksakan untuk mencoba bahagia kalau yang dirasakan adalah putus asa yang tiada tara.

Dr.Susan David menjelaskannya dengan baik bahwa Emotional Agility bukan cuma sebatas menerima emosi yang kita rasakan tapi juga melabel emosi yang kita rasakan secara tepat. Hanya dengan begitu, kita dapat membedakan dan menyelidiki secara tepat apa sumber penyebab emosi yang kita rasakan. Jauh beberapa bulan sebelum saya menemukan Dr.Susan (masa transisi di tahun 2019 sampai 2020) saya sendiri sudah menyadari bahwa :

pada dasarnya ada dua emosi yang saya rasakan ketika saya memilih jalan ini: saya merasa iri karena hidup orang lain menggelinding lurus – lurus saja dan saya merasa marah kepada orang yang saya dukung bahwa dia bertindak biasa saja bukannya malah ekstra luar biasa setelah apa yang saya lakukan untuknya.

Isi kepala Vivi dari 2010 sampai 2019

Proses pelabelan emosi yang saya lakukan ini tidaklah mudah karena butuh kejujuran diri sendiri setelah sepanjang babak pertama hidup, saya tahunya bersender pada moral keagamaan. Saya terlalu takut mendengarkan suara saya sendiri bahwa saya iri dan frustasi. TERNYATA, ketika saya jujur saya pelan-pelan jadi tahu menyampaikan apa yang saya rasakan kepada orang terdekat tentang apa yang terjadi selama ini. Lihat kata kuncinya ada 2: pelan-pelan dan menyampaikan kepada orang terdekat. Rekonsiliasi itu butuh waktu diskusi yang panjang + berulang dan saya hanya membicarakan hal mendalam pada orang terdekat yang mana cuma 1.

Baru setelah saya dengar podcast Dr.Susan David, masa 2010 sampai 2017 yang penuh dengan mencoba berbagai usaha adalah sebuah proses yang justru bagus dialami karena:

we want people to be agile. we want people to be innovative, but innovative has intimate relationship with failure, collaboration has intimate relationship with conflict.

Dr.Susan David podcast with Mylett Show.

Tanpa jatuh bangun, tanpa jenuh merana, maka selepas 2018-2020 tidak ada kolaborasi yang kuat antara saya dan tim kerja di Sahabat. Saya pasti masih melihat Sahabat cuma sebagai pengisi waktu untuk melupakan rasa frustasi. Energinya jadi pahit.

The radical of our emotions even the messy and difficult ones is the cornerstone to resilience, thriving, and true authentic happiness.

Dr.Susan David di TED Woman 2017

Dr.Marc Brackett – Permission to Feel

Mas Marc sebenarnya menyampaikan hal yang sama dengan Mba Susan (n.b: di Fak Psikologi UI, sekalipun kamu doktor atau profesor, kamu tetap disapa mbak. Poreper young pokoke). Kesamaan mereka adalah dalam hal bahwa hanya dengan melabel emosi yang tepat, akan menemukan cara penyelesaian yang tepat pula. Bedanya Mas Marc membuat rangkaian pengajaran sistematis untuk hal ini.

Pertama Mas Marc mengenalkan R-U-L-E-R. Prinsip pengenalan emosi ini menjadi terstruktur, sistematis dan bisa diajarkan kepada siapa saja. Dulunya saya berpikir bahwa saya yang bisa menganalisis apa yang saya rasakan semata-mata karena saya cukup kuat (baca: cukup cerdas) dalam hal intrapersonal (jangan kebalik dengan interpersonal). Dengan R-U-L-E-R, anak-anak bisa belajar langkah apa saja yang harus diambil ketika ada jet coaster emosi.

Saya tentu berharap jika akhirnya mood meter dikenal luas, tidak cuma saya yang bisa melabel emosi dengan tepat. Namun juga anak-anak. Hal seperti gambar di bawah ini pelan-pelan bisa berkurang.

Ini opini pribadi ya, mungkin bisa disanggah oleh Mas Marc yang 20-an tahun meneliti kecerdasan emosi, menurut saya, beberapa orang yang memang kecerdasan intrapersonalnya tinggi akan cepat menerapkan materinya Mas Marc ini. Sementara untuk yang biasa saja, ditambah dibesarkan oleh keluarganya juga tidak belajar tentang kecerdasan emosi ya akan agak lambat proses belajarnya.

Mirip lah dengan kecerdasan yang lain seperti kecerdasan interpersonal, kecerdasan mekanik. Selain terlahir berbakat di bidang tersebut, lingkungan menstimulus. Apalagi ini soal memantik kecerdasan emosi. Sulit. Lebih mudah kita menyapu semua ganjalan di dada ke dalam bantal bukan. Jika di masa bitter, rata-rata keseharian saya di rentang 2012 sampai 2019 adalah iri dan frustasi, di masa better saya mencoba menerapkan mood meter. Mood meter ini bagian dari R-U-L-E-R tersebut. Berikut penjelasan apa itu R-U-L-E-R dan hubungannya dengan mood meter:

Untuk memudahkan memahami langkah menjadi cerdas secara emosi, saya akan mencontohkan diri saya sendiri berdasar kejadian beberapa waktu yang lalu:
SAYA MERASA DIBOHONGI

Jika orang pada umumnya menunjukkan reaksi emosi marah, kesal, atau kecewa. Reaksi saya justru ketika itu adalah MALU. Lah koq malu? Karena seperti ada diri saya yang sedang menertawakan saya karena terlalu naif dan dungu. Kebetulan saat itu ada hal yang saya kerjakan tidak membuahkan hasil sesuai harapan. Saya semakin tambah malu. Sepanjang hari itu beberapa kali saya post hasil mood meter saya. Bergeser dari malu (-4,-3) lompat ke terpukul (-1,4) lompat ke merasa sepi (-4,-4). Di tengah kondisi tersebut, saya tetap membantu tim kerja yang membutuhkan saya untuk mengerjakan printil ini dan itu. Namun 100% saya tidak bisa menghasilkan ide kreatif. Saya sampai balik nonton drakor yang sudah pernah saya tonton. Saya berakhir menangis berderai-derai air mata di depan adegan yang bukan untuk ditangisi. Ini sebuah kemajuan besar karena saya bisa melabel apa yang saya rasakan. Dulu saya cenderung cuma pakai satu kata ‘terpukul’. Setelah saya menelaah ga semua soal terpukul. Ada rasa malu, ada rasa marah, tapi saya terlalu gengsi untuk menyebutkan bahwa sebagian besar yang saya rasakan adalah MALU.

Setelah bisa mengenali kondisi emosi saya saat itu, saya bersabar dan memberikan ruang kepada diri untuk bangkit-semangat-drop-bangkit-drop lagi-semangat-drop sedikit-lalu tenang. Percayalah semua bentuk emosi ini ada fungsinya dalam kehidupan manusia. Setidaknya saya yang memproduksi konten minimal dua hari sekali.

Perhatikan salindia di atas, ketika anda di zona biru, mood yang ada membantu anda untuk menunjukkan empati ke orang lain. ketika anda di zona merah, di situ anda bisa berdebat dengan penuh energi. Saat saya menulis tulisan ini tentu saya ada di zona hijau. Saya tahu persis yang saya rasakan adalah damai (4,-4). Lihat lagi di paragraf di atas ketika saya merasa malu, saya merasa butuh segera bangkit karena saya perlu memikirkan ide kreatif. Ya tentu tidak bisa sekonyong-konyong melompat karena di masa itu saya berputar-putar di zona biru. Memburu-buru diri ke area kuning hanya akan membuat saya menunjukkan emosi yang hanya akan saya sesali.

Setelah R, ada U. Alias Understanding. Apa penyebab saya sampai seperti merasa malu? Apa sebabnya ada orang yang memutuskan untuk berbohong kepada saya? Tiap manusia punya alasannya sendiri melakukan sebuah perbuatan. Saya memilih untuk tidak menjelaskan secara rinci di sini tentang U karena hal tersebut sangat pribadi.

Lanjut ke Express. Ketika hal tersebut terjadi, apa yang saya inginkan? Saya cuma ingin saya bisa di titik nol. Tidak perlu terlalu hepi, tapi juga saya tidak butuh diri saya terlalu lama merasa malu dan down. Dalam express ini saya mencoba mengambil langkah meta-moment. Saya menunda sebentar untuk bereaksi atas tindakan seseorang tersebut lalu membayangkan sisi terbaik saya. Di kepala, saya melihat bahwa saya adalah orang yang selalu berempati tinggi & asertif. Lalu saya memikirkan strategi supaya membantu kita memunculkan emosi dengan lebih baik sambil mempertimbangkan apakah orang tersebut dapat meregulasikan emosi dengan sehat juga?

Tolong digarisbawahi ya. Menunda sebentar reaksi bukan berarti menahan marah. Kita berhak marah, kita berhak kecewa, kita berhak merasa malu atau cemburu. Namun kita juga perlu mempertimbangkan apa yang orang lain rasakan ketika menunjukkan ragam emosi tersebut. Cukup lama saya dalam posisi TUNDA ini (lihat gambar no 3 di bawah), kemudian saya membayangkan posisi 4 kemudian yang lebih butuh banyak waktu adalah posisi no 5. Setelah saya yakin pilihan yang saya ambil, baru saya akhirnya memilih untuk asertif. Saya pun bilang:


Ketika saya mendapati bahwa anda tidak menyampaikan hal tersebut, saya sebenarnya merasa malu kepada diri saya sendiri karena terlalu lugu. Saya sekaligus merasa sedih bahwa reaksi anda terhadap yang saya rasakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan. Saya sebenarnya berharap anda berempati sedikit kepada saya bukan malah menyampaikan hal seperti seolah-olah saya lebay.

Ketika orang tersebut mendengar apa yang saya sampaikan, saya bisa lihat bahwa ia menerima ganjalan saya sekaligus juga bisa berempati secukupnya. Namanya juga manusia. Kalau sampai bisa mempukpuk dan memberi kehangatan di hati sesuai ekspektasi apa gak saya berakhir, ‘Jesus, is that you? Am I in heaven now?

Urusan express and regulate ini saya masih berlatih. Ada orang-orang yang saya lihat, mau saya menampilkan diri the-best-of-me dan berstrategi menyampaikan yang saya rasakan, orang ini akan cenderung blunder sendiri alias terlalu bitter. Been there done that. Sebagai orang yang bertahun dalam bitter, saya bisa paham dengan orang-orang yang masih dalam awan kegelapan. Kepada orang-orang ini saya memilih diam saja. Langkah puncak dari menjadi cerdas secara emosi adalah dengan reflect and plan. Ini tuh kalau rangka kerja Agile pasti tahu perlu ada momen untuk berhenti sejenak sebelum melanjutkan. Saya masih perlu belajar urusan refleksi dan perencanaan selanjutnya karena saya seringan ketika saya sudah berstrategi, tapi orang di sana tetap tidak mau kalah merasa paling benar, hal yang saya lakukan adalah mengakhiri pembicaraan

Better 2021

Setiap akhir tahun, saya selalu merasa tahun tersebut saya sudah melakukan usaha terbaik dalam hidup. Begitu juga 2020. Nyaris menutup usaha, suami di-PHK, penghasilan tinggal 1/3 dari yang biasa didapatkan, dioperasi, tapi saya melihat 2020 ini saya jauh lebih sehat mental dan jauh lebih bisa mengekspresikan emosi saya dengan dosis yang tepat. Gembira gak norak, sedih cuma dua tiga hari.

Namun seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu punya kekhawatiran bahwa ada hal yang terjadi di awal tahun. Balik lagi cerita soal saya membuat refleksi tahunan sejak 2004 (alm bapak saya meninggal), sejak saat itu lah saya selalu mencatat kejadian-kejadian yang membuat saya terpukul selalu di awal tahun. Saya bisa mengingat apa saja momen tersamber gledek saya di tiap tahunnya tapi saya tidak tuliskan di sini. Bisa jadi itu kan cuma kebetulan seperti pemahaman orang, setiap kali cuci mobil selalu hujan. Saat ini saya sudah deg-degan menghadapi Januari-Februari-Maret-April, bakal ada kejadian apa yang membuat saya terpukul dan terpuruk. Untungnya karena sudah cukup berpengalaman dan ada sekill tambahan dari R-U-L-E-R ini, saya berharap saya bisa meregulasikan dengan baik. Tahun depan saya 37 tahun. 33 tahun lagi waktu saya di bumi jika Tuhan mengijinkan. Ada hal-hal yang saya ingin menyerah, ada hal-hal yang masih membuat saya bergairah. Marketing dan regulasi emosi salah satu yang membuat saya ingin latih cobakan.

CATATAN, langkah yang dijelaskan panjang lebar di atas bukan untuk diterapkan ketika anda adalah korban kekerasan dalam rumah tangga ataupun korban kekerasan berbasis gender online. Mengapa? pelaku KDRT dan KBGO cenderung melakukan segala cara untuk menyetir pikiran sehingga justru anda yang merasa bersalah dan layak dihukum. Itu sudah tanda-tanda anda butuh bantuan profesional baik dari segi hukum maupun dari segi psikologis. Akhir kata, silakan tulis di komen atau japri hasil latihan anda sendiri untuk menjadi cerdas secara emosi.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s