Saya pernah menulis bahwa seiring berjalannya waktu, seseorang yang menceburkan diri ke ranah wirausaha mau gak mau kudu bisa 4 aspek. Keempat hal tersebut saya tuliskan terpisah. Namun untuk menjalani ke-4 keterampilan teknis tersebut itu butuh pondasi sebuah ketangkasan mengatur emosi. Memang orang sering salah kaprah emosi sebatas marah, padahal setidaknya ada bahagia, marah, takut, jijik, sedih dan kaget. Ketangkasan ini bukan dimaksudkan agar sebagai pemimpin kita menekan-nekan perasaan yang sedang kita alami atau malah sibuk menyangkal apa yang kita rasakan.
Atur Dulu Emosimu Sebelum Atur Orang Lain
Mengapa kita perlu tangkas mengatur emosi? karena hanya dengan begitu kita bisa mengidentifikasi ketika kita merasa stres, sebenarnya kita sedang merasa malu atau bersalah? merasa marah, takut, jijik, atau sedih? Kita sering terlalu mensederhanakan dengan bilang : wirausaha itu tingkat stresnya tinggi. Jika kita bisa bicara baik-baik kepada diri kita sebenarnya kita merasa apa?




Sedang merasa sedih? persisnya sedih? persisnya lagi merasa apa? Di 7 tahun pertama saya berwirausaha, saya enggan menilik perasaan saya sendiri. Saya cuma berulang kali menyebutkan di blog ini saya merasa sedih, kesepian, dan tertekan ternyata setelah saya pelan-pelan menghadapi diri saya yang paling dalam tanpa tuntutan maupun tanpa dakwaan, saya menemukan bahwa saya merasa menyesal karena memilih jalur wirausaha. Tahu gak penyebab saya merasa menyesal apa? Saya pikir kalau jadi wirausaha maka batas pendapatan adalah langit. Eleuh eleuh. Langit-langit kontrakan Depok kalee. Pada kenyataannya nikah ngutang baru kelar bertahun-tahun kemudian, liburan cuma lintas perkotaan. Di masa itu kemampuan saya cuma sebatas mengendapkan rasa kecele saya jauh ke dalam pikiran sampai saya sering nangis ketika sendirian tidak berani meminta pertolongan (submisif) lalu kalau ada orang lain membuat kesalahan sedikit saja, saya langsung meledak (agresif). Ciri ketidakmampuan mengatur emosi adalah kita dengan mudah melabel orang bukan malah menilik apa yang sebenarnya mengganjal di otak kita: ah dasar Jawa, huh emang gitu gen Z, ya gitu lah lakik.
Andai saja saya bisa jujur lebih cepat, saya tidak berlarut-larut lebih lama yang membuat usaha saya bagai dipimpin anak manja dimodalin bapaknya tapi kerjaannya banyakan sambat. Namun ya sudah lah ya :
selalu ambil hikmahnya kalau gak bisa ambil bunga depositonya..
Vivi Alone 2023
Sama seperti diagnosa yang tepat akan menghasilkan penanganan yang presisi, begitu juga dengan mengidentifikasi apa yang sedang kita rasakan saat ini. Kemudian emosi yang sedang kita alami perlakukan sebagai data bukan sebagai label diri kita:
Mengapa cuma sebagai data bukan sebagai label? Emosi manusia itu dinamis kaya cuaca. Hanya karena seseorang sedang percaya diri dengan usahanya, belum tentu keesokannya masih merasakan yang sama. Bersikap kaku dalam sebuah emosi ‘pokoknya aku mah cuma terjebak di sini makanya kalau ga sedih, kecewa, ya frustasi‘ hanya akan membuatmu menjadi rigid. Padahal untuk menjadi pemimpin yang mumpuni bahkan untuk memimpin dirinu sendiri, kamu perlu tangkas menghadapi emosi: Ya aku sedang merasa tertekan saat ini, it is okay. Istirahat aja dulu. Tenang dulu silakan istirahat seluas-luasnya.
Ngomong-ngomong penggunaan istilah ketangkasan mengatur emosi ini karena saya tidak menemukan padanan dalam Bahasa Indonesia untuk Emotional Agility. Tentu selalu ada pemimpin yang lebih senior dan lebih kuaya, merasa tidak perlu melakukan hal yang saya jelaskan panjang kali lebar ini: Ya elah Vi, gue terlihat tangguh dan membuat orang ga nyaman kerja aja pada bertahun-tahun kerja sama gue koq. Well good for you, Sir. I have my own why and my own value too. (haseekk udah berasa kaya level chief chief kebanyakan cocot di Linkedin belum?)
Balik lagi ketika ada masa kita merasa frustasi, kita perlu belajar menerima. Kalau saya nih ya, saya ga perlu sibuk menengking-nengking, mengusir-usir seolah-olah itu adalah roh jahat menguasai jiwa kita. Dengan menerima, ngajak ngopi sore dan memperlakukan emosi yang berkecamuk di kepala kita sebagai sosok yang manusiawi, kita akan menemukan dia tak se-berkuasa itu atas hidup kita. Saya menjalani kata-kata ini koq.
Kamu Hanya Bisa Berempati kepada Orang Lain Sebanyak Kamu Berempati kepada Dirimu Sendiri
Kalau pondasi pertama adalah memahami pergolakan emosi yang kamu alami dan melabelnya dengan tepat ketika sedang memimpin anak orang (ataupun anak mertua kalau ini konteksnya memimpin rumah tangga) maka kunyahlah sub judul di atas sebanyak anjuran dokter gigi berapa kali kita harus mengunyah suapan makanan. 70×7? Tentu nggak dong! itu kan soal memaafkan. Berempati itu sebenarnya ada pelajaran teknisnya. Diadaptasi dari 4 kuadran yang biasa diterapkan orang IT kalau mau buat produk/ aplikasi untuk orang biasa.
Saya pikir empati adalah sesuatu yang saya pikir terberi pada seluruh umat manusia sehingga mudah saja mengaktifkannya. Ternyata empati bagaikan otot-otot di tubuh manusia: ada tapi kalau tidak dilatih ya akhirnya jadi lemah dan memaksakan menggunakannya secara mendadak bisa dipastikan beresiko cedera. Otot cedera bisa tak kunjung pulih dalam waktu berbulan-bulan, mentalmu cedera bisa membuatmu terpuruk tanpa ada batas waktu kadaluarsa. Ih cuma berempati doang gimana ceritanya bisa bikin kena mental? Ya karena sebelum berempati dengan orang lain kamu sebenarnya butuh berempati kepada dirimu sendiri terutama ketika kamu di titik termalas, titik ternadir, dan titik terkacau dalam hidup. Cara berempati dengan diri sendiri ya di pondasi 1. Kalau kamu sudah bisa berempati kepada dirimu sendiri maka kamu akan seimbang ketika kamu melakukan sebuah tindakan yang benar maupun melakukan kesalahan bukan seperti gambar di bawah ini:
Cara berempati kepada orang lain itu biar gampangnya saya adaptasi dari kuadran nak anak IT ketika mengembangkan sebuah produk/ aplikasi/ sistem untuk sekelompok manusia. Kuadran ini mau saya perjelas sedikit sehingga tampak cakep ditayangkan di sini. Nyusul ya:
Empati ini sebenarnya juga dibahas di buku ketangkasan emosi cuma sebenarnya empati itu pelajaran klasik yang disusun Fakultas Psikologi UI dan diajarkan ke mahasiswa baru se-UI selama 10 tahun sampai akhirnya program tersebut tidak dilanjutkan. Saya menulis, mengajarkan kepada tim kerja yang jumlahnya kurang dari 20 orang itu sekaligus menjalani kata-kata saya sendiri. Saya tidak ingin menjadi motivator omong kosong yang memilih jargon sekadar memberi api semangat kepada orang-orang di dalam ruangan, setelah itu api tersebut pun menjadi redup. Dalam proses melakoni berempati ini, yang terberat adalah berempati kepada orang, yang tanpa bermaksud menyerang, berbicara menyahuti saya.
Sebagai orang yang sebenarnya punya kecenderungan agresif dan otoriter bawaannya gak pengen disanggah apapun kondisinya. Loh kalau saya orangnya begitu mengapa saya kudu repot-repot berempati? Ya orang kalau gak suka, angkat kaki saja sudah? Mengapa saya memilih berempati? Apa karena saya menjalani wirausaha jadi biar tim kerja betah? Gak. Saya sudah berhenti mengambil keputusan dalam hidup demi orang lain. Semuanya saya lakukan demi saya sendiri.
Tambahan ketika kamu berempati kepada orang lain kamu akan lihat bahwa orang lain memberikan banyak hal kepadamu lebih dari yang kamu kira. Ini bukan soal uang, ini bukan cuma soal bertindak supaya menguntungkan kita semata. Ketika kita berempati kepada orang lain, orang-orang merasa didengarkan, merasa dimanusiakan. Mereka pun akhirnya terbuka memberi masukan, ide-ide baru, yang seringkali tidak terpikirkan oleh kita.
Jadi Tangguh karena Teguh dalam Nilai Hidup
Napa dah jadi pemimpin apalagi cuma lapak UMKM pake acara bawa-bawa nilai hidup? Buka usaha, jualan produk, itung profit, jual, beres. Ngapa perlu ada nilai hidup segala seeekkk? Karena nilai hidup ini yang akan kita baca-baca lagi kalau ada orang yang datang kepada kita sekadar nyari topik pembicaraan berujung membanding-bandingkan kita dengan pemimpin usaha UMKM/ pemimpin rumah tangga lainnya. Nilai hidup saya sebenarnya bisa terbaca dari definisi sukses dan kemungkinan hidup saya cuma berdampak ke sedikit orang.
Saya akhirnya tercerahkan mengapa saya bisa tetap tangguh di wirausaha ini ya semata-mata karena wirausahanya masih selaras dengan nilai hidup yang saya pegang, saya masih tetap GRIT belum ada kepikiran untuk QUIT (saya menulis ini justru ketika usaha secara konsisten mengalami penurunan loh). Saya berulang kali gagal bikin kue, saya juga berulang kali menutup usaha apalagi urusan gagal beasiswa tapi saya ya bangkit lagi saja melanjutkan hidup.
Memang nilai hidup saya apa sih? otonomi, kesederhanaan dan belas kasih. Usaha saya ini urusannya kebanyakan dengan belas kasih kepada hewan terlantar dan orang-orang yang pendapatannya terbatas. Ide saya melebarkan usaha di tahun 2024 semata-mata selaras dengan saya yang maunya otonomi (ide belum bisa saya tulis di sini), lalu kalau usaha ini cuma sukses membuat saya bisa piknik antar kota dalam propinsi ya sudah saya senang. Sebenarnya buat saya menyusuri jalan tol lengang itu sudah liburan koq sebenarnya, di masanya saya memang sempat mellow urusan liburan ini karena dibanding-bandingkan dengan orang lain yang bisa liburan ke luar negeri. Kalau sekarang saya akan mengeluarkan kartu:
Balik ke tangguh. Selain bisa bangkit kembali setelah menangis semalaman, orang sering berpikir bahwa menjadi tangguh harus tegar dan tahu kudu ngapain di depan orang-orang yang sedang dipimpin. Saya sayangnya punya definisi sendiri atas definisi ketangguhan. Buat saya, ketangguhan itu merekah secara luar biasa di orang-orang yang jujur terbuka bahwa ia ngaku ga selalu tahu kudu apa. Saya selalu terus terang di depan tim, ‘urusan ini aku belum tahu harus bagaimana, mungkin aku bawa dalam doa dulu ya’.

Wah sepanjang lu doa, orang kan jadi linglung dong gak tahu kudu ngapain? Ya tentu saya sebagai orang yang presisi urusan waktu, memberi gambaran dalam linimasa. Kalau dulu ketika awal pandemi saya cukup sat set kalau sepi begini sampai Lebaran ya udah kita vakum dulu, maka di masa depan saya ya juga akan mengambil langkah yang sama.
Kesimpulan:
Judul di atas tentang menjadi pemimpin yang mumpuni mungkin tidak membawa saya dan kita semua jadi wirausaha terkaya di Indonesia, tidak juga membuat saya populer di ibukota. Namun menjalani 4 peran teknis dan 3 ketangkasan emosi sebagai pemimpin menghasilkan kehidupan saya yang penuh damai sejahtera karena setiap keputusan sudah selaras dengan nilai hidup dan buat saya damai sejahtera itu adalah kemewahan tersendiri setelah selama bertahun-tahun sibuk membandingkan-bandingkan diri ke sana ke mari. Mungkin satu waktu nanti kamu mau coba?